Sebenarnya tulisan ini bukan target utama dari konsep fenomena minggiran, akan tetapi salah satu bagian intergal tentang fenomena baru dunia pendidikan di lapangan yaitu “Pinggiran”. Tentu saja akan mengundang tanda tanya apakah “Pinggiran” tersebut.
Untuk mengobati penasaran para praktisi pendidikan atau khususnya guru Bimbingan Konseling karena akan bersentuhan secara langsung dengan kasus berikut, maka disini akan di kupas sedikit tentang konsep tulisan yang dimaksud. Dan insyallah dalam waktu dekat akan dicoba merampungkan artikel ini secara global. Mohon maaf sebelumnya, kali ini fokus bahasan lebih pada usaha preventif maupun kuratif yang dilakukan karena saya berpikir bahwa kasus ini harus tuntas terlebih dahulu di penangganan dan mencegah lebih jauh berkembang karena lokasi yang lebih luas justru harus segera dilakukan sebelum menimbulkan banyak korban. Jadi lebih banyak terfokus pada metode pembelajaran usaha preventif maupun kuratif dan untuk versi full artikel harap ditunggu di edisi selanjutnya.
Sekapur Sirih Pinggiran
Sesuai janji saya akan mengupas secuil informasi “Pinggiran”. Di Surabaya ada istilah lokal yaitu bernama minggiran yaitu aktivitas taruhan balap sepeda motor tidak resmi. Permainan yang dilakukan oleh anak-anak usia remaja dan lebih banyak di usia sekolah tingkat SMP maupun SMA. Hal ini sering kali tidak tersentuh oleh orangtua atau dikatakan orangtua tidak tahu menahu. Karena aktivitas dilakukan pada jam sekolah (pemicu siswa membolos), hari libur seperti hari minggu, saat jam pulang sekolah dan saat ber-malam mingguan memanfaatkan tempat-tempat proyek pembangunan jalan yang belum kelar. Jika orangtua maupun guru menemukan kondisi siswa seperti di atas, membolos, tidak langsung pulang usai jam sekolah yang ditentukan, dan sering keluar malam maka pesan yang di ambil adalah waspadalah, bisa jadi siswa akan memposisikan diri sebagai jago atau penonton bahkan ikut juga bursa taruhan.
Bagaimana dengan orangtua yang memiliki anak usia SD, jangan terburu-buru senang karena mereka ada yang ikut aktif dalam aktivitas seperti ini. Tiada rotan akar pun jadi sepeda motor dirubah menjadi sepeda pancal. Unik bukan fenomena ini, tentu saja saya yakin kejadian serupa tidak hanya terjadi di Surabaya tetapi ditempat lain pasti terjadi akan tetapi istilah nama yang mungkin berbeda.
Biar tidak terjadi salah tafsir, dianggap bahwa semua pelajar Kota Surabaya melakukan hal ini, saya perlu menekankan pada pembaca, siswa yang terlibat adalah sebagian kecil saja dan masih banyak lainnya pelajar Kota Surabaya mempunyai prestasi yang membanggakan. Cuma disini rasanya tidak etis jika menyebut para siswa yang terlibat dengan sebutan oknum. Baiklah saya sebut siswa yang membutuhkan perhatian, maaf jika dirasa kurang berkenan.
Berkembang dari minggiran inilah muncullah ide kreatif dari siswa yang terlibat dengan mencoba menarik benang merah. Kenapa dikatakan kreatif? Mohon maaf sebelumnya biar tidak terjadi salah paham, istilah kreatif tidak selalu bermakna positif atau baik. Bisa juga bermakna sebaliknya, karena dalam hal ini siswa mengembangkan pola yang berbeda yaitu merubah permainan dari lomba balap sepeda menjadi pertarungan antar manusia. Mereka memplesetkan dengan sebutan PINGGIRAN, modus yang dilakukan cukup unik (lebih lengkap akan saya tulis dalam artikel selanjutnya lengkap bersama literasi ilmiah). Ada panitia khusus yang mereka bentuk mulai bagian mencari korban, menggalang massa, mengumpulkan dana taruhan, mengondisikan tempat yang aman untuk pinggiran, dan layaknya pertandingan tinju ternyata ada yang panitia yang menjadi official “pemberi semangat” untuk petarung. Dan ironis sekali para petarung tidak menyadari bahwa dirinya adalah korban.
Lalu bagaimana?
Mengerikan jika hal ini tersebar luas menjadi virus kemerosotan moral anak didik kita, untuk itu guru Bimbingan dan konseling di haruskan memiliki rasa tanggap. Kali ini saya akan mencoba memaparkan beberapa strategi usaha pencegahan, melalui layanan klasikal di kelas salah satunya. Ada yang membanggakan, di saat saya mencoba menggali data ternyata dalam layanan klasikal ini, terkuak modus-modus baru siswa yang sama sekali tidak diketahui oleh guru. Dan hal ini sangat bermanfaat dibandingkan saya harus mencari referensi dari satu siswa ke siswa lain, internet, teori kuliah, dll. Siswa memaparkan berbagai alasan kenapa kejadian minggiran terjadi, tempat kejadian, motif yang mendasari kejadian, cara melakukan kejadian dengan detail, dll.
Jika ada beberapa dinas pendidikan kabupaten atau kota yang tidak memberikan jam khusus guru BK masuk kelas (layanan klasikal) sungguh amat di sayangkan, karena justru Bimbingan dan Konseling lah yang dapat memberikan peran utama membangun fondasi karakter siswa yang bermanfaat, sehingga harus bertatap muka di kelas. Bertanya dasar hukum untuk masuk layanan klasikal? Silakan di lihat dalam Permendikbud No. 111 Tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling. Guru BK di wajibkan untuk masuk kelas, 2 jam dalam tiap pekan. Saya tidak ingin berdebat dalam hal ini, akan tetapi saya cukup menguraikan saja manfaatnya untuk layanan klasikal ini. Tentu saja akan saya sertakan video salah satu dokumentasi dalam proses layanan klasikal BK tentang minggiran, silakan masing-masing pihak memberikan analisisnya.
Layanan Klasikal BK Kasus Pinggiran
Untuk pemaparan lebih lanjut tentang minggiran, insyallah ditunggu ditulisan selanjutnya. Kali ini saya konsentrasi pada layanan klasikal terlebih dahulu, kritik maupun saran membangun saya harapkan dari praktisi pendidikan dan khususnya para guru BK. Karena keterlibatan bapak/ibu/saudara dalam hal ini sungguh sangat saya harapkan untuk merampungkan tulisan “Fenomena Pinggiran”.
Langkah awal setelah mendeteksi kehadiran “pinggiran” saya langsung terjun lapangan, siswa yang terlibat segera di tanggani dan mengumpulkan data-data yang diperlukan, alhamdulillah ada salah satu teman guru BK yang bernama Ulia Ulfa, SPd, MPdI bersedia membantu. Insidentil layanan klasikal mulai disusun, pemamparan pada anak-anak tentang bahaya pinggiran yang di ambil dalam tema klasikal kali ini. Gayung bersambut, di layanan awal ini data mulai bertambah. Interaksi siswa saat proses tanya jawab, terlihat sekali begitu luwes dalam menguasai konteks pinggiran. Analisis awal yang muncul dalam benak “wah kok mereka familier banget” mungkin mereka telah mengenal lebih dulu dibanding gurunya, walaupun ada sebagian yang sama sekali tidak tahu menahu. Sudahlah benak tersebut coba saya kubur, yakin ini adalah kebetulan. Baiklah saya minta mereka membentuk kelompok berdiskusi, terdiri dari 4 orang untuk masing-masing kelompok. Dengan mendiskusikan bertema “apa itu minggiran menurut pemahaman mereka”.
Pekan selanjutnya, mencoba mengemas dalam teknik yang berbeda. Di awal guru yang hanya berdiri di depan kelas, mondar-mandir bercerita, melihat siswa diskusi dll. Kali ini siswa yang diminta secara spontan masing-masing kelompok untuk maju. Menjadi guru untuk teman-temannya, apakah mengajar? Saya jawab iya. Mereka diminta untuk mengajar di kelasnya membahas kasus pinggiran sesuai dengan konsep yang mereka diskusikan minggu sebelumnya. Skema pemikiran yang mendasari metode tersebut, karena mereka lebih famillier maka akan lebih menyentuh jika mereka sendiri yang berbicara di depan kelas, tentu saja dari sisi positif mereka akan lebih mudah mencerna bahasa sesama. Sisi yang lainnya mereka lebih tahu daripada saya, dll. Sehingga model klasikal satu ini di anggap lebih tepat dibandingkan yang lainnya.
Biar tidak tegang, saya mencoba mengemas menjadi sebuah game. Pemilihan spontan di awali dengan ice breaking. Di depan kelas guru menyanyi balonku ada lima, lucu juga kalau mengingat kejadian tersebut. Sambil jari menunjuk ke arah masing-masing kelompok, dan di saat lagu berhenti maka kelompok yang di tunjuk harus maju menjadi guru. Sorak kegembiraan riuh di saat kelompok yang ditunjuk kena pilihan untuk maju, ada yang membanggakan disini yaitu keberanian mereka untuk berada di depan kelas. Tidak semua orang sanggup untuk tampil di publik, demam panggung penuh kecemasan bahkan hingga gagap tidak mampu bicara dan lain-lain. Tapi lihat mereka, sungguh sangat berani, santai, enjoy, bahkan tampil dengan penuh warna khas mereka yang lucu. Doaku semoga mereka menjadi anak-anak yang bermanfaat kelak bagi nusa dan bangsa, amin.
Berikut dokumentasi videonya, kali ini tersaji hanya 2 video saja. Durasi masing-masing 20 menit akan tetapi karena keterbatasan ruang dan waktu yang tersaji dalam tayangan youtube ini hanya berdurasi 10 menit. Sisa waktunya 10 menit terpotong, akan tetapi file asli masih di simpan, dan masih banyak video lagi yang tidak sempat di upload. Ada pertanyaan yang sedikit menggelitik di benak, kenapa layanan yang sama, penyampaian materi klasikal yang sama, guru BK juga sama, jenjang kelas juga sama, tetapi respon siswa berbeda dalam video ini. Pertanyaan ini pernah dilontarkan dalam group jejaring sosial whatsapps Forum Rembuk BK yang terdiri anggotanya dari dosen PTN/PTS prodi BK, P4TK, LPMP, Praktisi Pendidikan, Pengawas, Kepala Sekolah, Organisasi Profesi BK, dan Guru BK yang kebetulan banyak merangkap jabatan sebagai ketua MGBK. Dan tidak mendapatkan jawaban sama sekali dari masing-masing anggota forum, mungkin mereka masih sibuk.
Respon yang berbeda bukan menjadi masalah, akan tetapi justru membuat data semakin lengkap dan membantu sekali untuk perolehan data yang signifikan. Bagaimana tampilan video keduanya.
Interaksi siswa dalam video ini fokus pada penyebab terjadinya, menggelitik ternyata saat mereka berbicara tentang system pendidikan, sekolah, orangtua, pemerintah, agama, pergaulan bebas, dll.
Sedangkan pembanding pada video kedua lebih banyak bicara tentang proses, akibat, orangtua, sekolah, dll. Tidak ingin memawarnai pola pikir pembaca, silakan di tafsirkan sendiri analisis yang tepat untuk kedua video ini. disisi lain yang dapat disematkan selain usaha preventif maupun kuratif terhadap aktivitas minggiran, menekankan pendidikan berkarakter berani, bertanggung jawab, kritis, serta berahkhlaq. Syukur-syukur berkenan menjawab pertanyaan yang pernah dilontarkan dalam Forum Rembuk BK.
Bagaimana fungsi guru BK ketika peran mengajar digantikan siswa? Guru BK tidak dapat lepas begitu saja, selain perannya menjadi fasilitator layanan, ada yang lebih urgent lagi adalah meluruskan “hal salah” atau klarifikasi jika ada kejanggalan dari presentasi siswa. Pada siswa waktu 15 menit di sesi layanan, guru mengupas kembali hasil presentasi siswa. Menegaskan dengan garis bawah apa pernyataan siswa yang benar, memperbaiki pernyataan siswa yang kurang benar, dan menggali data melalui tanya jawab jika ada hal aneh yang tidak dipahami dengan pernyataan siswa.
Berikut mungkin yang dapat dituliskan sementara, sifatnya masih draft. Tulisan ini merupakan bagian sub-parsial dari artikel pinggiran yang akan disusun, yaitu salah satu strategi preventif dan kuratif. Masukan dari pembaca, tentang kejadian yang serupa di tempat masing-masing akan sangat bermanfaat untuk penyempurnaan penulisan artikel fenomena pinggiran. Mohon kiranya dapat menuliskan dalam komentar kolom artikel dibawah atau dapat menyumbang bahan-bahan serta referensi dengan mengirimkan data di alamat email dwi.atmaja@pnsmail.go.id atau ndorodemang@kemenag.go.id dan email.ndorodemang@gmail.com semoga kebaikan pembaca dibalas kebaikan pula oleh Allah SWT, amin
Salam BK Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar diharapkan bersifat membangun dalam rangka pengembangan keilmuan Bimbingan dan Konseling. Kami sampaikan terima kasih