Rabu, 02 Desember 2020

Ketahanan Nasional dalam Persfektif Islam Wasathiyyah

 

ABSTRAK

Moderasi beragama atau Islam yang rahmatan lil `alamîn menekankan pentingnya  toleransi dan kebebasan beragama dalam kehidupan bersama mensyaratkan tiga hal yaitu learning, unlearning dan relearning  dalam mengimplementasikan nilai-nilai kesatuan wilayah, persatuan bangsa, dan kemandirian bersumber dari NKRI yang dapat meningkatkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara melalui beberapa tataran nilai Islam Washatiyyah  (Niswa)  antara lain Tawassuth, Tawazun, Tasamuh, Musawah, Ishlah, Syura, I’tidal, Tahadlur, Ibtikar dan Tathawwur, Qudwatiyyah serta Muwathanah. Ada banyak pihak yang seharusnya terlibat dalam implementasi NISWA di Indonesia seperti keluarga, sekolah/madrasah, pemerintah, tokoh masyarakat, dan pemilik media khususnya media sosial. Sinergi berarti kemampuan seseorang dalam membangun kebersamaan dan melihat orang lain dari aspek kelebihan. Moderasi beragama yang saat ini dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa dan masyarakat global mensyaratkan perspektif beragam dalam memahami ajaran agama khususnya Islam. Munculnya pemahaman yang cenderung menganggap kelompoknya paling benar dan menganggap pihak lain sebagai salah merupakan cermin perspektif tunggal yang digunakan kelompok tersebut dalam melihat persoalan, jika dibiarkan begitu saja secara berulang terjadi maka akan memunculkan benturan antar perspektif dalam kehidupan berbangsa. Dalam konteks masyarakat majemuk kita perlu lebih memahami ajaran Islam dari berbagai pendekatan sehingga ketika menghadapi persoalan, jawaban dan cara kita memecahkannya tidak terjebak pada model binary opposition, hitam putih semata, sebab ada banyak variabel yang harus kita gunakan dalam melihat persoalan.


 

A.    Pendahuluan

Salah satu implikasi ajaran tauhid Ibrahim AS yang hanif, yaitu tradisi berbangsa dan bernegeri. Ibrahim AS memperkenalkan konsep baladan aminan (negeri yang aman) sembari mengharapkan kemakmuran & keselamatan bagi bangsanya yang disebutnya sebagai anak-anak (wabaniyya) dan keturunan (wadzurriyyati). Dalam ajaran Ibrahim AS tentang keragaman negeri dan bangsa dimana kondisi pasang surut dan dinamika merupakan keniscayaan yang senantiasa dialami oleh suatu negeri dan suatu bangsa.

Umat Nabi Muhammad SAW kiranya  perlu  menyadari  konsep ketauhidan yang diajarkan Nabi Ibrahim AS, dalam teologi Islam dianggap sebagai bapaknya tauhid dan  abul  anbiyaa (Bapak dari  para Nabi). Dan pertanyaan dalam Q.S Muhammad ayat 22 menjadi sangat relevan, mengingat pasang surut atas suatu negeri dan suatu bangsa adalah keniscayaan bagi peradaban manusia, baik mereka beriman ataupun sebaliknya. Fahal ‘asaitum in tawallaitum antufsiduu fil ardli wa tiqaththiu arhamakum (Dan jikapun kalian berkuasa, apakah kalian akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan kasih sayang kalian).

Ungkapan  filosof  eksistensialis,  Soren  Kiekegard (2014), life can only be understood backwards, but it must be lived forwards (hidup hanya bisa dipahami dengan melacak masa lalu, namun hidup harus mampu melangkah ke masa depan). Al-Qur’an telah memaparkan jejak-jejak kebangsaan menggeser jejak-jejak kesukuan, maka tidak sepatutnya kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan  subversif  yang  merusak nalar-nalar kebangsaan yang rasional dan tidak produktif.  Berpikir produktif dan sinergis seluruh anak bangsa dirasakan lebih bermanfaat daripada  menyuguhkan  sikap  menimbulkan keraguan, rasa curiga,  dan  disintegrasi bangsa. Menjadi suatu bangsa adalah problem eksistensial manusia yang cukup dominan dalam bahasan al-Qur’an. Sehingga merawat dan memelihara  eksistensi  suatu  bangsa  menjadi  salah  satu  ciri  muslihun (orang-orang soleh). Kiekegard (2014) menuliskan problem eksistensialis dalam sebuah buku berjudul The Concept of Anxiety (Konsep kegelisahan). Hidup adalah pilihan, namun pilihan ini bukan reaksi atas kondisi sejarah atau produk lingkungan dan namun pada suatu saat secara bersamaan akan mendatangkan kecemasan atau ketakutan dalam diri.

Masih dalam kerangka eksistensialis, mempertegas keyakinan bahwa agama bukanlah instrumen persaingan, melainkan instrumen  kepeloporan. Agama yang hanif tidak hanya sibuk untuk melahirkan pedoman ethis, namun agama menyuguhkan gelora ethos kepada penganutnya. Agama yang hanif tidak hanya memuat aturan, melainkan memuat banyak kebijakan dan inspirasi untuk maju ke depan, keluar dari kubangan nestapa kehidupan. Kebijakan-kebijakan yang dihadirkan oleh  agama hanif, bukanlah  reaksi  idealis yang dilahirkan dari kondisi sejarah dan lingkungan budaya manusia.  Agama yang hanif, meneruskan kebijakan-kebijakan perennial yang menghubungkan anak tangga peradaban. Dalam istilah Kiekegard, menyelami keberagamaan meniscayakan akan munculnya anxiety (kegelisahan) dan ketakutan dalam diri. Al-Qur’an memperkenalkan konsep hampir serupa, yaitu konsep taqwa yang secara umum diartikan takut, menjaga dan memelihara. Muttaqin, dalam pengertian eksistensialis, dapat diartikan sebagai orang yang  mampu mengendalikan rasa takut, menjaga dan memelihara diri.

Dengan menggeser perilaku tidak produktif menuju produktif bagi kehidupan berbangsa dan bernegeri, maka keIslaman kita niscaya menjadi jalan lurus dalam landasan bertuhan, berbangsa, berbudaya dan berperadaban dan menjadi bangsa yang makmur, adil dan beradab, bangsa Indonesia tidak perlu meniru bangsa lain. Melainkan harus mampu mengenali jatidiri bangsa dari masa lalu, agar bisa melangkah mantap menuju masa depan. Sebuah  peradaban tidak muncul dalam satu masa saja, melainkan lanjutan dari peradaban masa-masa sebelumnya. Jika bangsa ini menghendaki kemakmuran semata, maka bisalah berkaca dari negara-negara  berideologi liberal. Jika bangsa ini menghendaki keadilan semata, maka bisalah berkaca dari negara-negara berideologi komunis.

Namun jika bangsa Indonesia bersikukuh mewujudkan suatu bangsa yang makmur, adil dan beradab, maka kita harus menuntaskan kegelisahan akan peradaban bangsa ini sebelumnya, lalu bergerak ke tengah mensinergikan seluruh energi anak bangsa untuk maju menuju kemakmuran dan keadilan dalam waktu bersamaan. Sehingga dalam hal membangun peradaban bangsa perlu meletakan pondasi Moderasi beragama atau Islam yang rahmatan lil `âlamîn. Seperti ditekankan Alquran maupun Hadist, Islam yang rahmatan lil `âlamîn tidak memberikan hak istimewa kepada seorang Muslim  hanya karena dia  memeluk Islam. Faktor  akidah atau  keyakinan bukanlah satu-satunya faktor atau faktor determinan dalam menyemangati umat Islam untuk bertindak konfrontatif atau melakukan kekerasan terhadap umat lainnya. Yang menjadi faktor yang menentukan permusuhan dalam sejarah politik Nabi Muhammad lebih banyak bersifat sosiologis atau akibat kondisi-kondisi sosial, politik, atau ekonomi tertentu. Paham moderasi beragama atau Islam yang rahmatan lil `âlamîn tentang persaudaraan di masa Nabi Muhammad tidak mengenal batas agama.

           Dalam sejarahnya  Islam menganjurkan umatnya untuk menjalin hubungan baik, sekalipun dengan orang yang berlainan agama dan pandangan hidup. Teladan jiwa  persaudaraan terdapat pada pribadi  Nabi   Muhammad SAW sendiri, dalam  diri  beliau terdapat berbagai teladan untuk kaum beriman, secara spesifik Islam yang rahmatan lil `âlamîn menyebutkan kepribadian Nabi yang penuh pengertian dan toleransi serta lapang dada. Keteladanan Nabi dalam berperilaku yang penuh jiwa persaudaraan, pengertian, dan kelembutan kepada sesamanya itu merupakan salah satu wujud paling nyata pujian Allah bahwa beliau memiliki  budi pekerti  yang agung.  Keteladanan  Nabi Muhammad  menjadi  model keberagamaan,  yang  disebut  menghidupkan  prinsip  terpenting dalam  moderasi beragama atau  Islam yang  rahmatan  lil `âlamîn,  penuh  cinta  kasih.

B.     Pembahasan

Untuk mencegah tindak kekerasan, moderasi beragama atau Islam yang rahmatan lil `alamîn menekankan pentingnya  toleransi dan kebebasan beragama dalam kehidupan bersama. Dari praktik kehidupan sosial-politik Nabi Muhammad SAW, yang menakjubkan adalah pengalaman kehidupan bersama komunitas Madinah yang plural, dengan kesepakatan dalam dokumen Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) yang sering disebut sebagai dokumen tertulis pertama di kalangan umat manusia yang  mengakui kebebasan beragama. Eksperimen Madinah itu, men­ya­jikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial politik yang dibangun atas dasar nir-kekerasan, perdamaian dan toleransi, dengan mengenalkan model pendelegasian wewenang dan kehidupan berkonstitusi.

Muqowim (2020) Ide pokok eksperimen  Madinah  ialah  adanya suatu tatanan sosial politik yang diperin­tah tidak oleh kemauan  pribadi, melainkan secara bersama-sama; tidak oleh prinsip-prinsip ad hoc yang dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip-prinsip yang dilembagakan  dalam doku­men yang disepakati oleh semua anggota masyarakat, yang dewasa ini biasa disebut dengan “konstitusi.” Dokumen itu antara lain, memuat tentang “wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama.

Jiwa Piagam Madinah tersebut, sepenuhnya  sejalan dengan dasar agama Islam, bahwa ajaran agama semua nabi – yang merupakan prinsip Islam yang rahmatan lil `âlamîn – pada prinsipnya adalah sama. Prinsip itu juga, menegaskan pandangan moderasi beragama atau Islam yang rahmatan lil `âlamîn, bahwa Tuhan mensyariatkan agama yang sama untuk semua nabi. Semua umat harus menegakkan syariat agama yang sama itu dan tidak  dibenarkan berpecah-belah di dalamnya.  Jadi Piagam Madinah adalah peneguhan Islam yang demokratis atau  rahmatan lil `âlamîn yang meneguhkan paham nir-kekerasan,  toleransi dan perdamaian yang  tidak  dibenarkan untuk dipersepsi hanya sebagai sesuatu yang bersifat prosedural semata, sehingga dilaksanakan hanya jika menguntungkan dan  ditinggalkan  jika merugikan. Paham kemajemukan itu, merupakan akibat alamiah adanya kehendak Tuhan bahwa manusia memang berbeda-beda, dan perbedaan  itu harus diterima secara prinsipil dan penuh konsekuen, yang di antaranya adalah hidup bersama secara damai, dan menegaskan  prinsip-prinsip  nir-kekerasan.

Menurut Muqowim (2020) dimaksud dengan wasathiyyah literacy (melek wasathiyyah) adalah kemampuan seseorang (orang Islam) dalam merefleksikan pengetahuan dan pengalaman beragama  yang telah dimiliki di masa lalu sehingga menjadi ide dan nilai yang menginspirasi dalam melangkah agar menjadi lebih baik di masa depan untuk mewujudkan nilai rahmatan lil-’alamin. Orang yang mengamalkan nilai-nilai wasathiyyah bukan hanya lebih dalam keilmuan (kognitif) atau banyak memiliki pengalaman,  namun dia harus mampu  merefleksikan keduanya (pengetahuan dan pengalaman) tersebut menjadi nilai dan gagasan yang transformatif baik secara personal maupun sosial. Sehingga wasathiyyah mensyaratkan tiga hal agar kita termasuk dalam  kategori literate (melek huruf), yaitu learning, unlearning dan relearning.

Learning berarti belajar tentang nilai-nilai wasathiyyah sebanyak mungkin sehingga seseorang mempunyai pengetahuan dan pengalaman sebanyak mungkin tentang nilai tersebut. Proses ini lebih bermakna  memahami nilai wasatiyah secara kognitif-diskursif. Setelah proses pertama ini dikuasai,  maka proses kedua, yaitu unlearning, perlu dilakukan.  Tahap kedua  ini lebih menekankan pada kemampuan dan kemauan  melakukan refleksi dan dekonstruksi terhadap pengetahuan dan pengalaman yang telah kita miliki tentang nilai wasatiyah tersebut. Hasil dari proses refleksi diri ini antara  lain berupa pelajaran, ide, arti dan makna penting dari pengetahuan dan pengalaman tentang wasathiyyah. Proses kedua ini akan menghasilkan banyak pesan dan gagasan mengenai urgensi nilai wasathiyyah, pentingnya menghidupkan nilai wasathiyyah, dan peta tentang nilai-nilai wasathiyyah yang sudah dan belum diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari baik secara  perseorangan maupun kelembagaan. 

Berdasarkan peta diri tentang nilai-nilai wasathiyyah yang digali dari pengetahuan dan pengalaman inilah, maka proses relearning perlu dilakukan. Proses ketiga ini menghasilkan rencana dan langkah konkret untuk mengimplementasikan nilai-nilai wasatiyah tersebut dalam kehidupan nyata baik dalam konteks individu maupun sosial khususnya di lembaga pendidikan misalnya sekolah dan madrasah termasuk keluarga. Dengan narasi singkat tersebut, orang yang melek wasathiyyah (wasathiyyah literate) berarti orang yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang nilai-nilai wasathiyyah (knowing and having the wasathiyyah values), merasakan makna dan nilai wasathiyyah dalam beragama (feeling and loving the wasathiyyah values), dan mengamalkan nilai-nilai wasathiyyah dalam kehidupan sehari-hari (doing the wasathiyyah values).

            Dengan penjelasan singkat di atas, kita dapat merefleksikan diri tentang posisi keberagamaan kita masing-masing saat ini. Boleh jadi kita masih buta huruf wasathiyyah meskipun kita sudah mempunyai pengetahuan mumpuni tentang wasathiyyah, sebab boleh jadi pengetahuan tentang wasatiyah tersebut baru sebatas diskursus atau kognitif.  Karena itu, meskipun kita sudah mempunyai pengetahuan dan wawasan mendalam tentang nilai-nilai wasathiyyah, namun karena pengetahuan dan pengalaman tersebut tidak kita refleksikan dan renungkan secara mendalam, maka hakikatnya kita masih termasuk kelompok buta huruf wasathiyyah meskipun sudah mempunyai pengetahuan mendalam tentang wasathiyyah.

Pengetahuan kita tentang nilai-nilai wasathiyyah seharusnya mampu menggerakkan kita melakukan perubahan dan transformasi ke arah yang positif sehingga mampu menjadi agen wasathiyyah. Di antara ciri kita sudah melek huruf wasathiyyah adalah jika kita mampu membangun kehidupan harmoni di masyarakat dan melestarikan alam. Nilai-nilai wasathiyyah seharusnya menjadi ruh dalam setiap langkah. Dengan demikian, diharapkan kita memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai wasathiyyah sehingga  mampu  menjadi  agen  rahmatan lil-‘alamin.

Dalam mengimplementasikan nilai-nilai kesatuan wilayah, persatuan bangsa, dan kemandirian bersumber dari NKRI yang dapat meningkatkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara melalui beberapa tataran nilai Islam Washatiyyah  (Niswa)  antara lain Tawassuth berarti sikap seperti wasit yang mampu menyelesaikan persoalan berdasarkan rule of the game yang disepakati. Aturan main tersebut dapat berupa nilai, regulasi, dan aturan yang ada. Ketika dihadapkan pada persoalan kita lebih menekankan pada aturan main tersebut, bukan berdasarkan like and dislike. Tawazun artinya kemampuan bersikap secara seimbang, tidak berat sebelah. Nilai ini terkait dengan tawassuth. Ketika dihadapkan pada persoalan kita menggunakan beragam sudut pandang atau perspektif, terlebih persoalan yang melibatkan kita secara personal. Nilai Tasamuh terkait dengan kemampuan bersikap toleran dan menghargai terhadap keragaman. Nilai ini mampu menempatkan kita sebagai pribadi yang menerima kemajemukan sebagai sebuah fakta yang taken for granted dari Allah sehingga perlu dikelola dan dirayakan secara positif. Secara sosial, kita hidup dalam konteks masyarakat yang beragam sebab masyarakat terdiri dari kumpulan individu yang unik dan berbeda. Kita tidak mungkin menyamakan mereka sesuai dengan sudut pandang kita. Dalam unit sosial terkecil pun, yakni keluarga, anggota keluarga kita mempunyai keragaman yang harus kita pahami. Setiap rang mempunyai multiple identities yang perlu dilihat secara utuh menurut mereka. Munculnya banyak prasangka, konflik, ketegangan, dan kerusuhan lebih disebabkan adanya “the clash of ignorances”, benturan ketidaktahuan, kita belum mengenal dan memahami identitas yang dimiliki orang lain.

Nilai Musawah terkait dengan “equal before God”, sama di hadapan Allah. Setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Allah. Yang paling membedakan satu orang dengan orang lain, menurut QS al-Hujurat ayat 13, adalah kualitas ketaqwaannya, “the best in conduct”. Rasulullah pernah mengingatkan dalam sabdanya, “sesungguhnya Allah tidak akan melihat kamu dari wajah dan fisik namun Allah melihat kamu sekalian dari hati dan amal.”. Di dalam hadist lain Rasulullah pernah bersabda, “bukanlah disebut orang kaya yang banyak hartanya, namun yang disebut dengan orang kaya adalah yang kaya hati”. Dengan nilai musawah, kita akan mampu memperlakukan orang lain secara egaliter. Kita tidak mungkin bersikap diskriminatif apalagi menindas pihak lain. Nilai ini berkaitan dengan Ishlah. Dengan ishlah kita mampu melakukan perbaikan, mendamaikan berbagai pihak yang sedang berkonflik, dan melakukan reformasi terhadap berbagai persoalan khususnya pendidikan. Melalui nilai ishlah, kita selalu meningkatkan kualitas diri menjadi lebih baik dan positif. Orang yang mempunyai nilai ini lebih senang membangun daripada merusak.

Nilai Syura terkait dengan kemampuan bersikap demokratis terhadap perbedaan dan keragaman pandangan. Setiap menghadapi persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dilakukan dengan cara musyawarah, menghargai pendapat dan gagasan orang lain terhadap persoalan tersebut. Orang yang mempunyai nilai ini tidak akan bersikap egois apalagi arogan. Nilai ini mendorong kita untuk lebih mendengar dan memahami orang lain yang berbeda. Nilai syura ini berhubungan dengan nilai I’tidal, yaitu kemampuan menempatkan sesuatu pada tempatnya, adil. Bersikap tegak lurus merupakan ciri lain dari i’tidal, tidak melenceng dari tujuan dan arah yang telah disepakati. Orang yang keluar dari kesepakatan bersama akan menimbulkan persoalan sosial. Nilai ini berkaitan dengan tahadlur, mempunyai keadaban publik (public civility).

Nilai Tahadlur mendorong kita sebagai positive trendsetter sehingga diikuti oleh orang lain. Kita mampu membuat perubahan di tengah masyarakat, sebagai change agent, bukan part of the problem, apalagi trouble maker. Dalam konteks pendidikan, Mas menteri Nadim Makarim memperkenalkan Guru Penggerak. Hal ini dapat diwujudkan jika guru mempunyai kualitas tahadlur. Mereka sebagai pembuat perubahan melalui kultur sekolah atau madrasah.

Nilai selanjutnya yang sangat penting diterapkan dalam kehidupan adalah Aulawiyyah. Orang yang mempunyai nilai ini antara lain ditandai oleh kemampuan membuat prioritas dalam bersikap. Dia mampu membuat peta dan skala prioritas tentang mana yang harus didahulukan dan mana yang tidak. Nilai ini mendorong kita mempunyai sense of urgency dan sense of crisis. Salah satu habit unggul yang diintrodusir Stephen R. Covey (1997) adalah “habit mendahulukan yang utama”. Habit ini jelas terkait dengan aulawiyyah. Nilai ini hanya dapat diwujudkan jika kita mempunyai tujuan hidup sebab dengan tujuan tersebut kita akan melangkah sesuai dengan rencana yang telah dibuat, tidak asal melangkah.

Nilai ini sangat relevan dengan Ibtikar dan Tathawwur. Ibtikar terkait dengan pentingnya kreatifitas dan inovasi. Orang yang mempunyai mimpi dan tujuan jelas, akan banyak melakukan terobosan kreatif. Dia tidak akan pantang menyerah karena kegagalan yang dialami. Hidup dia akan dinamis (tathawwur). Nilai tathawwur menjadikan kita mampu menghadapi setiap persoalan dan tantangan hidup secara kreatif. Diam berarti mati. Hidup laksana ombak yang selalu bergerak. Dalam konteks ajaran Islam, ijtihad merupakan perwujudan dari nilai tathawwur. Di pesantren kita sering menerapkan mahfudhat, “man jadda wajada”, barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan berhasil.

Nilai selanjutnya yaitu Muwathanah yang kurang lebih berarti nasionalisme. Nilai tersebut sangat diperlukan saat ini sebagai identitas bangsa. Di saat kita menghadapi kontestasi dan benturan antar identitas, nilai ini menjadi “faktor pembeda” kita dengan identitas bangsa lain, sebab bangsa Indonesia mempunyai keunikan dan keistimewaan. Nilai ini mendorong kita mempunyai kesadaran konstitusional, ketika melangkah dalam konteks kebangsaan yang dikedepankan adalah kepentingan bangsa, bukan individu atau kelompok. Yang menjadi payung bersama adalah konstitusi yang telah disepakati bersama. Pancasila menjadi common ground bagi setiap warga bangsa. Akhirnya, nilai Qudwatiyyah terkait dengan kepeloporan atau uswatun hasanah. Bangsa Indonesia membutuhkan banyak teladan yang dapat dijadikan sebagai contoh dan acuan dalam melangkah. Dalam konteks moderasi beragama, kita membutuhkan banyak living model yang sudah menghidupkan NISWA dalam kehidupan sehari-hari. Untuk dapat mewujudkan nilai tersebut diperlukan nilai-nilai lain dalam NISWA seperti ibtikar, tathawwur, ishlah, dan aulawiyyah.

C. Penutup

1. Kesimpulan

Menurut Stephen R. Covey (1997), dalam 7 Habits for Highly Effective People, untuk menjadi manusia unggul ada tujuh kebiasaan yang harus dimiliki. Jika tujuh kebiasaan unggul ini dimiliki warga negara Indonesia, maka mereka akan menjadi pahlawan bangsa, terutama dalam bertindak maupun bersikap dilandasi NISWA. Ketujuh kebiasaan unggul tersebut adalah proaktif, goalsetting, prioritas, menang bersama, mendahulukan menghargai orang lain, sinergi, dan mengasah diri terus-menerus. Habit proaktif terkait dengan kesadaran pentingnya melakukan perubahan yang dimulai dari diri sendiri. Hal ini membedakan dengan budaya reaktif yang cenderung bergerak karena didorong oleh faktor sekitar. Menurut Daniel Goleman (1998), proaktif bertolak dari self-awareness, kesadaran seseorang untuk memetakan potensi diri sehingga dia mengetahui persis siapa dirinya. Dalam konteks madrasah, habit proaktif antara lain tampak dari warga negara yang berinisiatif melakukan perubahan di lembaganya agar menjadi selalu lebih baik. Proaktif mempunyai kesadaran kritis dan mampu mengatasi masalah yang ada. Mereka tidak cukup hanya berdiam diri dengan kondisi yang ada, apalagi kondisi sekolahnya kurang kondisif. Tanpa diminta atau disuruh  proaktif, selalu membuat usulan perbaikan.

Habit proaktif diikuti dengan kebiasaan membangun mimpi atau tujuan hidup. Orang yang mempunyai tujuan hidup visinya jelas. Apa yang akan diraih dan dituju di masa depan dijabarkan dalam timeline yang jelas baik yang berjangka pendek, menengah maupun panjang. Dimensi yang akan dilakukan pun dipetakan secara jelas sehingga tampak mana yang penting dan prioritas dan mana yang kurang penting dan tidak mendesak. Orang yang punya mimpi jelas, menurut Ibrahim Elfiky (2011), penulis buku best-seller Personal Power, melangkah lebih yakin dan pasti daripada orang yang tidak mempunyai tujuan. Renstra (rencana strategis) pada dasarnya merupakan mimpi dan rencana yang akan diraih di masa depan. Individu yang mempunyai mimpi dengan yang tidak mempunyai mimpi langkahnya lebih terarah yang punya mimpi. Dengan menonjolkan sikap lebih berorientasi pada masa depan, solution-based (berbasis solusi). Mereka jarang mengeluh karena keadaan yang ada, tapi mereka selalu optimis dengan masa depan. Hal ini berbeda dengan tipe problem-based (berbasis masalah) yang lebih fokus pada masa lalu atau masalah.

Habit ketiga adalah pentingnya prioritas. Habit ini diawali dari mimpi yang jelas. Mimpi yang jelas sangat mempengaruhi langkah yang akan diambil. Individu yang mempunyai kebiasaan memprioritaskan sesuatu pasti karena didasari oleh mimpi atau tujuan yang jelas. Dalam konteks implementasi NISWA dalam rangka membangun kerangka pembangunan NKRI, pelopor dan penggerak, agar dapat mengarahkan masyarakat untuk memahami urgensi NISWA serta mewujudkan nilai-nilai tersebut melalui langkah konkret berupa kegiatan dan program pembangunan bangsa Indonesia.

Habit selanjutnya untuk menjadi penggerak adalah ingin menang bersama. Kebiasaan ini didasari oleh pandangan bahwa setiap orang diciptakan  unik dan  istimewa oleh Allah. Karena itu, sikap yang harus dilakukan adalah menghargai setiap orang. Di samping itu, dalam kehidupan Kita sehari-hari, kita tidak dapat melakukan perubahan sendirian. Bahkan prestasi yang kita raih pun tidak mungkin karena faktor diri sendiri, pasti melibatkan pihak lain baik secara langsung maupun tidak. Karena itu, yang dibutuhkan adalah kolaborasi dan komunikasi, bukan kompetisi, dalam menerapkan NISWA di Indonesia. Hal ini sesuai dengan paradigma pendidikan abad ke-21 yaitu kolaboratif dan komunikatif. Habit ini relevan dengan habit berikutnya yaitu lebih mendahulukan menghargai orang lain daripada minta dihargai. Habit ini hanya bisa diwujudkan jika kita lebih melihat orang lain dari aspek kelebihannya, bukan kekurangannya.

Kebiasaan unggul selanjutnya yang perlu dimiliki penggerak adalah sinergi dengan berbagai pihak untuk mewujudkan  NISWA. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, ada banyak pihak yang seharusnya terlibat dalam implementasi NISWA di Indonesia seperti keluarga, sekolah/madrasah, pemerintah, tokoh masyarakat, dan pemilik media khususnya media sosial. Sinergi berarti kemampuan seseorang dalam membangun kebersamaan dan melihat orang lain dari aspek kelebihan. Hal ini berbeda dengan kompromi, sebab kalau kompromi satu ditambah satu boleh jadi hanya dua atau satu setengah, namun kalau sinergi satu ditambah satu boleh jadi menghasilkan sepuluh sebab yang lebih ditekankan adalah kelebihan seseorang. Bahkan, dalam sinergi bagi kita mungkin dianggap sebagai kelemahan namun dapat diubah sebagai kelebihan. Banyaknya kelebihan dan potensi yang kita miliki tersebut kemudian diolah menjadi sebuah kekuatan bersama. Dalam konteks implementasi pembiasaan NISWA di Indonesia, habit sinergi perlu dilakukan sebab pembumian nilai tersebut memerlukan kerjasama dan kolaborasi dari semua pihak yang mempunyai komitmen bersama untuk membangun peradaban bangsa dan negara Indonesia.

2. Saran

Moderasi beragama yang saat ini dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa dan masyarakat global mensyaratkan perspektif beragam dalam memahami ajaran agama khususnya Islam. Munculnya pemahaman yang cenderung menganggap kelompoknya paling benar dan menganggap pihak lain sebagai salah merupakan cermin perspektif tunggal yang digunakan kelompok tersebut dalam melihat persoalan, jika dibiarkan begitu saja secara berulang terjadi maka akan memunculkan benturan antar perspektif dalam kehidupan berbangsa. Sedangkan ketika perbedaan sudut pandang hadir dilandasi spirit untuk belajar dengan berbagai pihak yang mempunyai sudut pandang beragam serta tidak hanya menganggap dirinya paling benar, maka hal tersebut perlu diapresiasi, karena sikap tersebut akan menghasilkan wawasan berbangsa yang  dinamis dan harmonis. Hanya saja, yang terjadi saat ini, ada gejala dari sekelompok orang yang cenderung bersikap mau menang sendiri dan menganggap pihak lain yang berbeda sebagai salah meskipun dengan argumen yang berbeda. Sikap merasa paling benar di ruang publik ini tentu dapat menimbulkan persoalan di masyarakat.

Jika dikembalikan pada nilai tertinggi dari ajaran Islam, yakni rahmatan-lil-‘alamin mensyaratkan kemampuan mengendalikan diri dan menghargai beragam pendapat. Kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain, patut kita renungkan dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari terutama ketika kita hidup di ruang publik yang heterogen. Dalam konteks masyarakat majemuk kita perlu lebih memahami ajaran Islam dari berbagai pendekatan sehingga ketika menghadapi persoalan, jawaban dan cara kita memecahkannya tidak terjebak pada model binary opposition, hitam putih semata, sebab ada banyak variabel yang harus kita gunakan dalam melihat persoalan. Sejauh ini sentimen agama sering digunakan oleh kelompok tertentu untuk mendapatkan dukungan dengan beragam kepentingan seperti politik ataupun ekonomi. Visi ideal agama menjadi sangat terbatas dan pragmatis sehingga kehilangan ruh universalnya. Dalam konteks ini setiap pemeluk agama perlu belajar memahami ragam perspektif untuk melihat fenomena agama seperti pendekatan filsafat, antropologi, sosiologi, sejarah, semiotik, hermeneutik, sains, hukum, linguistik, ekonomi, psikologi, dan pendidikan.


Daftar Pustaka

Covey, Stephen R (1997). 7 Habits of Highly Effective People. Jakarta : Binarupa Aksara

Elfiky, Ibrahim (2011). Personal Power. Jakarta : Zaman

Goleman, Daniel. (1998). Working With Emotional Intelligence. New York : Bantam Books

Kiekegaard, Soren (2014). The Concept Of Anxiety: A Simple Psychologically Oriented Deliberation in View of the Dogmatic Problem of Hereditary Sin. New York : Liverright Publishing Coorporation

Muqowim (2020). Moderasi Beragama di Indonesia Jilid 4 Upaya Rekonstruksi Melalui Pendidikan. Bandung: Azkiya Publishing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar diharapkan bersifat membangun dalam rangka pengembangan keilmuan Bimbingan dan Konseling. Kami sampaikan terima kasih