Minggu, 17 Januari 2021

Moderasi Beragama Dalam POP BK Kementerian Agama

Bimbingan dan konseling adalah upaya sistematis, objektif, logis, dan berkelanjutan serta terprogram yang dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling atau konselor untuk memfasilitasi perkembangan peserta didik/konseli dalam mencapai kemandirian. Bimbingan da konseling  merupakan  komponen  integra siste pendidika pada   setia satuan pendidikan, yang berupaya memfasilitasi dan memandirikan peserta didik/konseli agar mencapai perkembangan yang utuh dan optimal.

Sebagai komponen integral, wilayah bimbingan dan konseling yang memandirikan secara terpadu bersinergi dengan wilayah layanan administrasi dan manajemen, serta wilayah kurikulum dan pembelajaran yang mendidik.

Sebagai komponen yang terpadu dalam sistem pendidikan, bimbingan dan konseling memfasilitasi perkembangan peserta didik/konseli untuk mencapai kemandirian, dalam wujud kemampuan memahami diri dan lingkungan, menerima diri, mengarahkan diri, dan mengambil keputusan, serta merealisasikan diri secara bertanggung jawab, sehingga tercapai kebahagiaan dan kesejahteraan dalam kehidupannya.



Pada penyelenggaraan pendidikan di madrasah, guru bimbingan dan konseling atau konselor berperan membantu tercapainya perkembangan pribadi, sosial, belajar, dan karir peserta didik/konseli. Guru bimbingan dan konseling atau konselor menjalankan semua fungsi bimbingan dan konseling yaitu fungsi pemahaman, fasilitasi, penyesuaian, penyaluran, adaptasi, pencegahan, perbaikan, advokasi, pengembangan, dan pemeliharaan. Meskipun guru bimbingan dan konseling atau konselor memegang peranan kunci dalam layanan bimbingan dan konseling di madrasah, dukungan dari kepala madrasah sangat dibutuhkan. Kepala Madrasah bertanggung jawab atas terselenggaranya layanan bimbingan dan konseling di madrasah. Selain itu, guru bimbingan dan konseling atau konselor madrasah juga harus berkolaborasi dengan pemangku kepentingan lain seperti guru mata pelajaran, wali kelas, komite madrasah, orang tua peserta didik, dan pihak-pihak lain yang relevan.

Layanan bimbingan dan konseling di madrasah mengembangkan potensi akal fikir, kejiwaan, keimanan dan keyakinan serta dapat menanggulangi problematika dalam keluarga, madrasah, dan masyarakat dengan baik dan benar secara mandiri dan berlandaskan pada Alquran dan hadis. Dengan membangun paradigma berfikir keagamaan dan kebangsaan bagi generasi penerus yang akan mengemban amanah dan tanggungjawab, keberlangsungan kedamaian dan sejarah peradaban bangsa negara serta kehidupan beragama Islam di Indonesia.



Dalam konteks masyarakat majemuk, seperti halnya di Indonesia, berpikir moderat dan lapang dada dalam beragama menjadi sebuah keniscayaan jika kita merindukan suasana penuh ketenangan dan harmoni sebagaimana dicita-citakan dalam ajaran Islam, yaitu menjadi rahmat bagi seluruh alam. Sikap moderat generasi bangsa hanya dapat dicapai jika guru bimbingan dan konseling atau konselor mengarahkan peserta didik/konseli agar mampu melihat persoalan dari beragam sudut pandang. Perspektif ini menuntut untuk mengesampingkan atau menghilangkan pola berpikir ad hoc, fragmental atau ego sektoral. Guru bimbingan dan konseling atau konselor harus memiliki kompetensi yang dapat mengarahkan peserta didik/konseli bersikap open-minded, lapang dada, toleran, rendah hati, menghargai orang lain. Sikap ini relevan dengan paradigma pendidikan abad ke-21 yaitu critical thinking and problem solving, creativity, collaboration dan communication.

Guru bimbingan dan konseling mempunyai tugas untuk memfasilitasi pada peserta didik/konseli untuk dapat berperilaku yang baik dan meninggalkan perilaku yang tidak baik dengan cara memberikan teladan baik pada mereka, yang pada akhirnya peserta didik/konseli tidak melakukan sesuatu yang menyalahi aturan, norma dan hukum yang berlaku. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 104

Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.” (Surat Ali Imron ayat 104).

Hakikat bimbingan dan konseling memiliki tujuan yang hendak dicapai, diantaranya adalah untuk pembentukan karakter peserta didik/konseli yang tangguh dan kuat, sehingga menjadi generasi yang kuat, dimulai sejak usia dini. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an Surat Ar Ruum ayat 54

Artinya: Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa. (Surat Ar Ruum ayat 54).



Sehingga dalam konsep dasar Bimbingan dan Konseling perlu menambahkan intervensi spiritual (kerohanian/agama Islam) dalam layanan bimbingan dan konseling spiritual adalah untuk meningkatkan proses penyesuaian dan pertumbuhan spiritual. Hal ini terjadi karena pertumbuhan spiritualnya siswa akan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupannya. Kategori intervensi tersebut meliputi aspek kognitif, afektif, tingkah laku, dan interpersonal dengan Sang Pencipta (Noor, 2006). Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi stress emosional, penyakit fisik, atau kematian. Dimensi spiritual juga dapat menumbuhkan kekuatan yang timbul diluar kekuatan manusia (Kozier, 2004).


Erat terkait esensi dari layanan bimbingan konseling mengedepankan proses pemberian bantuan oleh seorang konselor kepada konseli (baik individu maupun kelompok konseli) untuk mengatasi problem perlu memasukan unsur utama dalam tiap pendekatannya baik terapi maupun teori, dengan sentuhan nuansa nilai-nilai spiritual, sehingga konseli dalam mengungkap berbagai respons diri baik secara fisik dan emosi mampu berimbang untuk menumbuhkan karakter positif dan berkepribadian luhur. Chandler (1992),  Kehidupan spiritual adalah bagian dari esensi manusia yang membentuk karakteristik manusia secara alamiah. Konsep spirituality sebagai suatu hal yang berhubungan dengan kapasitas batin dan tendensi pencarian seseorang dalam menggapai lokus inti diri (locus of centricity) melalui pengembangan diri secara pemahaman (knowledge) maupun cinta kasih (love). Maka perlu dilakukan revitalisasi dalam proses bimbingan konseling.  Revitalisasi berarti kegiatan untuk menyadarkan, menyegarkan kembali, menghidupkan kembali, atau membangkitkan kembali (Echols dan Shadily, 1992:484)  sebagai  “bringing again into activity and prominence” yaitu sebagai suatu usaha untuk membawa kembali atau meletakkan peran konselor pada aktivitas dan keunggulan konselor yang semestinya dilakukan. Ada beberapa hal yang dapat menjadi prioritas untuk diperhatikan dalam penguasaan pendekatan agama pada layanan Bimbingan dan Konseling, pertama meningkatkan keyakinan spritual konseli dalam memecahkan masalah, kedua tidak melepaskan nilai-nilai spiritual dalam memberikan layanan dengan berbagai teori pendekatan yang telah dikuasai oleh konselor, ketiga dapat berinteraksi dengan baik pada konseli yang memiliki pandangan nilai-nilai spiritual berbeda dengan konselor miliki dan keempat,  menghindari konselor untuk menjustifikasi permasalahan konseli dari sudut pandang nilai-nilai yang di miliki oleh konselor.



Hal lain yang menjadikan pertimbangan konselor dalam memberikan layanan, perlu meninjau beberapa kebutuhan mendasar konsep spiritual pada konseli, Clinebell (dalam Hawari 2002), 1. Kebutuhan akan kepercayaan dasar (basic trust), kebutuhan ini secara terus-menerus diulang guna membangkitkan kesadaran bahwa hidup ini adalah ibadah. 2. Kebutuhan akan makna dan tujuan hidup, kebutuhan untuk menemukan makna hidup dalam membangun hubungan yang selaras dengan Tuhannya (vertikal) dan sesama manusia (horisontal) serta alam sekitarnya 3. Kebutuhan akan komitmen peribadatan dan hubungannya dengan keseharian, pengalaman agama integratif antara ritual peribadatan dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. 4. Kebutuhan akan pengisian keimanan dengan secara teratur mengadakan hubungan dengan Tuhan, tujuannya agar keimanan seseorang tidak melemah. 5. Kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah dan dosa. Rasa bersalah dan berdosa ini merupakan beban mental bagi seseorang dan tidak baik bagi kesehatan jiwa seseorang. Kebutuhan ini mencakup dua hal yaitu pertama secara vertikal adalah kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah, dan berdosa kepada Tuhan. Kedua secara horisontal yaitu bebas dari rasa bersalah kepada orang lain 6. Kebutuhan akan penerimaan diri dan harga diri {self acceptance dan self esteem), setiap orang ingin dihargai, diterima, dan diakui oleh lingkungannya. 7. Kebutuhan akan rasa aman, terjamin dan keselamatan terhadap harapan masa depan. Bagi orang beriman hidup ini ada dua tahap yaitu jangka pendek (hidup di dunia) dan jangka panjang (hidup di akhirat). Hidup di dunia sifatnya sementara yang merupakan persiapan bagi kehidupan yang kekal di akhirat nanti. 8. Kebutuhan akan dicapainya derajat dan martabat yang makin tinggi sebagai pribadi yang utuh. Di hadapan Tuhan, derajat atau kedudukan manusia didasarkan pada tingkat keimanan seseorang. Apabila seseorang ingin agar derajatnya lebih tinggi dihadapan Tuhan maka dia senantiasa menjaga dan meningkatkan keimanannya. 9. Kebutuhan akan terpeliharanya interaksi dengan alam dan sesama manusia. Manusia hidup saling bergantung satu sama lain. Oleh karena itu, hubungan dengan orang disekitarnya senantiasa dijaga. Manusia juga tidak dapat dipisahkan dari lingkungan alamnya sebagai tempat hidupnya. Oleh karena itu manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga dan melestarikan alam ini. 10. Kebutuhan akan kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan nilai-nilai religius. Komunitas keagamaan diperlukan oleh seseorang dengan sering berkumpul dengan orang yang beriman akan mampu meningkatkan iman orang tersebut.



Gerakan revitalisasi tersebut terealisasi, tentunya dapat dituangkan melalui program-program organisasi bimbingan konseling (baca: Musyawarah Guru Bimbingan Konseling) dalam peningkatan kompetensi anggotanya ke depan terutama di era disrupsi yang menuntut terobosan-terobasan baru (ijtihad), salah satunya dengan berbasis moderasi. Dalam keefektifan roda gerak organisasi untuk berkembang kearah baik tentunya membutuhkan berbagai langkah strategi yang inovasi kreatif, Jones (1998) tahap siklus hidup organisasi dimana organisasi mampu mengembangkan nilai kreasi dan kompetensi sehinggmendapatkan sumberdaya tambahan. Pertumbuhan ini memungkinkan organisasi meningkatkan pembagian kerja dan spesialisasi serta sekaligus mengembangkan keunggulan kompetitif. Mengarahkan perubahan kearah professional merupakan kewajiban yang harus dilakukan dalam berorganisasi untuk mencapai visi dan misi. Tentunya perubahan tersebut perlu mengadakan tinjauan yang lebih mendalam mencakup factor internal perubahan kebijakan kepemimpinan, perubahan tujuan, perubahan wilayah sasaran tujuan, perubahan rutinitas kegiatan, dan perubahan sikap sert perilaku anggota organisasi, sedangkan factor eksternal memperhatikan politik, sosial, budaya, teknologi, demograpi, sosiologi. Dalam pencapaian kearah organisasi professional MGBK mengedepankan pemberdayaan kemapuan anggotanya dalam hal ketrampilan kemanusian (human skill), Keterampilan Teknik (technical skill), Keterampilan konseptual (conceptual skill), Keterampilan motivasi (motivation skill), dan Keterampilan Informasi teknologi. Arah gerak organisasi professional di MGBK tersebut dapat difokuskan ijtihad berbasis moderasi beragama yang dikembangkan untuk meningkatkan pemahaman anggotanya berangkat dari pemahaman background konseli yang berbeda-beda, baik dalam domain agama, suku, ras, budaya, ekonomi, corak masyarakat atau kultural, dan corak kehidupan masyarakat atau struktural.



Langkah Strategis Ijtihad Berbasis Moderasi di Era Disrupsi

Perkembangan kehidupan manusia pastilah berubah sesuai dengan tuntutan zaman, kehidupan peserta didik pun tidak bisa lepas dari perubahan tersebut. Oleh karenanya, layanan bimbingan konseling juga harus mampu membantu kelangsungan perkembangan dan kehidupan peserta didik. Artinya, bahwa layanan bimbingan konseling harus mampu memberi dampak positif pada permasalahan yang ada pada aspek kehidupan peserta didik, sehingga layanan bimbingan konseling tidak keluar dari fungsinya, misalnya layanan penguatan akhlak terpuji pada peserta didik, meliputi budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabi'at, dan sebagainya harus menjadi target utama dalam tujuan layanan. Jadi pada hakikatnya Pendidikan akhlak diharapkan mampu menciptakan kondisi atau sifat yang meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian seutuhnya individu.

Akhlak adalah ilmu yang mengajarkan manusia berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat dalam berhubungan dengan Allah, manusia dan makhluk sekelilingnya. Sumber-sumber ajaran akhlak ialah Al-Qur'an dan Hadits, pedoman hidup yang menjadi asas bagi setiap muslim (sumber akhlak karimah dalam ajaran Islam). Dari pedoman itulah di ketahui-kriteria mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk. Potensi-potensi tersebut dapat tercakup dalam kesebagian ayat misalnya aspek perkembangan  fisik (QS. 23: 12-14) dan potensi aspek perkembangan mental spiritual, meliputi kemampuan untuk berbicara (QS.55: 4), menguasai ilmu pengetahuan melalui proses tertentu dengan mengajarkan manusia dengan kalam (baca tulis) dan segala apa yang tidak diketahuinya (QS. 96: 4-5), dan kemampuan untuk mengenal Tuhan atas dasar perjanjian awal di dalam ruh dalam bentuk kesaksian (QS. 7: 172).



Sehingga Konselor diharuskan dapat berpikir kreatif dan inovatif dalam melakukan perubahan (change) sebagai akibat dari keprihatinan terhadap kondisi dan eksistensi karakter peserta didik, yang diikuti dengan pertumbuhan (growth) dan pembaruan atau perbaikan (reform) serta ditingkatkan secara terus-menerus (continuity) untuk dibawa ke yang lebih ideal. Namun demikian, perubahan dan pembaruan pendidikan agama Islam itu di samping memerlukan sensitivitas terhadap mainstream dari perkembangan yang ada, juga perlu mempertimbangkan dimensi-dimensi fondasionalnya, sehingga tidak terlepas dari akar-akarnya atau tidak kehilangan ruh atau spirit Islam (Muhaimin, 2006: 131-132).

Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan: (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, Madrasah, dan bentuk lain yang sejenis.

Menurut Nashori (dalam Tarmizi, 2018) umat Islam harus bangkit dan tampil untuk menguatkan gagasan tentang perlunya menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan pribadi dan sosial kemasyarakatan, yang sudah terbukti dalam sejarah manusia, sebagai landasan pijak bagi lahirnya peradaban emas yang menghargai dan menempatkan manusia secara hakiki dan menghindarkan manusia dari kehancuran eksistensinya seperti pada jaman Jahiliyyah. Sisi lain keefektifan penggunaan pendekatan keagamaan, Zakiah Daradjat menyampaikan pengalamannya saat menjadi bagian dari psikiater pada balai pengobatan Departemen Agama R.I sejak tahun 1965, mengemukakan bahwa kasus yang sering terjadi di Indonesia terkait erat dengan gangguan kejiwaan, ketentraman, kekecewaan dalam kehidupan keluarga. Ternyata, menekankan sisi keagamaan dapat mempercepat proses perawatan dan penyembuhan.

Sedangkan langkah strategis sebagai suatu ijtihad berbasis moderasi adalah memposisikan konselor, selain sebagai pemberi layanan bimbingan konseling dalam menjalankan profesinya juga harus mampu berperan sebagai agen perubahan pemahaman keagamaan yang meneduhkan pada peserta didik, walimurid, rekan sejawat, kepala sekolah, komite sekolah, dan masyarakat sekitar, yang diaktualisasikan dengan serius untuk menciptakan sistem pendidikan yang efektif berbasis nilai-nilai niswa, sehingga mampu hidup selaras dengan Al quran dan As Sunnah untuk mencapai kebahagian hidup dunia dan ahkirat.

Firman Allah SWT

“Serulah (manusia) kepada  jalan  Tuhan-mu  dengan  hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS: An-Nahl (16): 125) 

Sehingga konselor perlu menunjukan beberapa kriteria (1) bersikap empatik dan memahami bagaimana orang lain merasa dan mengalami dunianya; (2) mampu berhubungan dengan peserta didik dan pendidik dalam suatu hubungan yang bermakna; (3) sensitif terhadap kebutuhan orang lain; (4) menyadari tentang adanya dinamika psikologis, motivasi, tujuan dari tingkah laku manusia; (5) memahami dinamika kelompok dan kebermaknaanya bagi pelaksanaan pendidikan (Dinkmeyer dan Calrson, 2006:24). Mengingat perkembangan perilaku sosial yang cukup fluktuatif dan rawan dalam pengaruh negatif maka diperlukan memadukan nilai-nilai sosio-kultural yang selama ini menjadi pijakan bangsa Indonesia sebagai bangsa Timur yang ramah dan toleran dan diarahkan pada penguatan akhlak dan  karakter siswa sehingga tidak  terlepas dari esensi  pendidikan sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945 dan UU No. 20 Tahun  2003 tentang system pendidikan nasional.

Melalui ijitihad berbasis moderasi  maka konselor dalam melaksanakan tugasnya, akan sesuai dengan tujuan bimbingan dan konseling di sekolah yaitu agar konseli dapat memahami dan menerima diri sendiri, serta merencanakan masa depan atas kekuatannya sendiri sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan Departemen Pendidikan Nasional, sehingga dalam diri konseli akan ada perubahan perbaikan, kesehatan, dan kebersihan jiwa dan mental untuk dirinya, keluarga, lingkungan sosial dan alam sekitarnya, antara lain: (1) perubahan, jiwa dan mental yang damai (muthmainnah); (2) bersikap lapang dada (radhiyah); (3) mendapatkan pencerahan (mardhiyah); (4) menghasilkan kecerdasan rasa (emosi) sebagai embrio berkembang sikap tasammuh, ta’awun; (5) menghasilkan kecerdasan spiritual menjadi pribadi yang takwa dan tabah menerima cobaan; (6) mampu menjalankan tugas sebagai khalifah (pemimpin) yang dapat memberi kebermanfaatan dan keselamatan bagi lingkungan dan berbagai aspek kehidupan.

 










Sumber Rujukan:

 

Chandler, Cynthia K., Holden, J.M., & Kolander, C.A. Counseling For Spiritual Wellness: Theory and Practice. ( JCD Vol. 71. Nov-Des 1992). 168-175

Dinkmeyer, D. and Carlson, J. 2006. Consultation: Creating Schoolbased Interventions. New York: Taylor & Francis Group.

Muqowim, dkk (2020). Moderasi Beragama di Indonesia Jilid 4 Upaya Rekontruksi Melalui Pendidikan . Bandung : Azkia Publishing


4 komentar:

Komentar diharapkan bersifat membangun dalam rangka pengembangan keilmuan Bimbingan dan Konseling. Kami sampaikan terima kasih