Sengaja saya mengambil judul “ Ayo menghukum siswa kita” tanpa saya beri imbuhan kata siswa nakal tentunya karena jauh hari saya katakan tidak suka dengan istilah tersebut. Sebagai guru kadang rasa luapan emosi akan muncul saat menjumpai beberapa perangai siswa yang kita anggap kurang berkenan. Termasuk juga guru bimbingan dan konseling, secara ideal guru BK tidak diperbolehkan marah, harus sabar dan lemah lembut. Akan tetapi ada pepatah mengatakan bahwa orang yang bijak adalah orang yang bisa menempatkan marah sesuai dengan tempatnya. Baiklah kali ini saya marah pada murid saya dan pembelaan selanjutnya adalah guru BK juga manusia bukan malaikat, jadi saya jangan di marahi oleh teman-teman seprofesi.
Kronologis kejadian sebenarnya adalah saat jam klasikal BK ternyata siswa masih asik bermain olahraga diluar kelas (sehabis jam olahraga) tidak langsung berganti pakaian, jam BK jadi tersita berapa menit, ditambah saat masuk kelas kondisi kebersihan tidak karuan kotornya. Sampah kertas dan bungkus jajanan berserakan. Apakah ini aib bagi saya ketika marah dituliskan dalam website ini? awal mungkin teman-teman akan berpikir seperti itu, selanjutnya terserah teman-teman seprofesi mendifinisikan tentang sikap guru marah ideal atau tidak jika menemukan kasus seperti ini.
Alasan yang kuat untuk menulis ini adalah mengajak teman-teman untuk lebih jauh dalam pengendalian diri kita sebagai guru saat menata luapan emosi terkhusus untuk guru-guru bimbingan dan konseling bagaimana berhadapan dengan siswa yang membuat ulah antik bin unik. Karena berbagai opini di masyarakat bahkan ditayangkan di media kaca seperti sinetron guru BK adalah guru killer, guru suka menghukum, satpam sekolah, polisi sekolah, dll bahkan ada beberapa siswa yang menjuluki sebagai hansip sekolah. Fakta yang mengerikan bukan? Baiklah alasan yang kedua saya menulis adalah sebagai salah satu upaya ingin membudi-dayakan gerakan anti kekerasan fisik maupun lisan (bentakan-bentakan) pada siswa yang dilakukan oleh guru, khususnya guru bimbingan dan konseling.
Dari kedua alasan tersebutlah saya berharap martabat BK tertata rapi sebagai figur guru yang disayangi murid. Kembali pada permasalah yang saya hadapi dalam proses belajar mengajar di kelas (layanan klasikal). Solusi yang muncul dalam menyikapinya, saya sengaja berdiam diri selama 15 menit sambil memandang mereka dengan tatapan bersahaja tanpa melotot atau terfokus pada beberapa sudut pandang tertentu, dan kejadian apa yang muncul? 5 menit siswa ramai dengan sendirinya. Sesaat kemudian 5 menit kelas menjadi hening tanpa suara, siswa yang seragam belum rapi secara serentak berlahan lahan merapikan, bangku ditata sesuai tempatnya dari semula berantakan. Dalam kondisi seperti ini saya tetap mencoba untuk diam sambil menatap mereka secara tersebar satu-persatu. 5 menit selanjutnya di sela keheningan kelas, seseorang siswi maju ke depan mencoba menjernihkan suasana tanpa sedikitpun mendapatkan perintah yang keluar dari mulut saya.
Dengan bahasa khas surabaya “hai rek kandani kok, ojo gawe masalah garai pak dwi ngambek gak gelem ngajar... pak Dwi ikih yoh ngono kok seneng ngambekan” kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya “hai anak-anak jangan bikin masalah bikin pak Dwi tidak mau ngajar dan pak Dwi juga begitu suka ngambek”. Dalam hati rasanya ingin tertawa, jelas saya marah dengan kondisi yang terjadi tapi mereka berani mengevaluasi kinerja guru BK he he he dan selanjutnya siswi tersebut menghampiri guru BK yang ada di depan “pak saya mewakili teman-teman minta maaf please pak ayoh ngajar pak” sambil merayu manja.
Diam sejenak, sambil mnegucap lirih ke siswi tersebut, sudah siapkan kalian memulai pembelajaran. Tiba-tiba seluruh kelas menjawab “sudah”. Bangga rasanya melihat sikap kritis dan keberanian mereka walaupun sebenarnya mereka tidak menyadari apa yang membuat saya marah saat memasuki kelas. Tepat 15 menit dalam posisi diam dan proses pembelajaran di mulai, dan kali ini saya kemas dalam sebuah permainan spontan sesuai kaidah BK bahwa materi yang di sampaikan sesuai kebutuhan. Ok lah kalau begitu permainannya seperti apa , sengaja saya menunjuk siswa yang superior di dalam kelas dan kebetulan saat observasi di luar kelas anak ini lah yang menjadi komandan peleton teman-temannya. Spontan juga ide keluar untuk merekam permainan ini, untuk berbagi pada teman-teman seprofesi. Silakan dilihat dalam tayangan video ini.
Video ini sengaja saya upload secara tidak langsung, menunggu beberapa hari apakah memang ada perubahan sikap siswa setelah perlakuan. Lumayan juga sambil mengajar juga mengadakan riset coba-coba, alhamdulillah hasil yang di dapat tidak ada perlakuan negatif siswa di minggu depannya.
Pada hari yang sama di kelas yang berbeda, kali ini menemui rasa marah yang kedua kalinya kasus yang sama juga setelah mata pelajaran olahraga. Apakah hari ini termasuk hari sial buat diri ini? pertanyaan yang menggelitik tentunnya. Yah sudah lah yang terpenting saya tidak percaya dengan mitos-mitos. Kali ini pendekatan yang berbeda saya lakukan, mengatasi rasa marah dengan permainan. Siswa yang superior dan membikin gaduh di dalam kelas, saya beri kepercayaan menjadi seorang guru bimbingan dan konseling. Lalu materi apakah yang di sampaikan? Materi diberikan keleluasaan bagi siswa tersebut, ingin mengangkat apapun asal baik untuk dirinya, temannya, orang lain dan sekolahnya. Alhasil rasa marah berubah menjadi kelucuan, tertawa saja rasanya. Ok silakan lihat video ini
Dari tayangan video ini lah yang menjadi ilham buat saya mengembangkan layanan klasikal pada kelas-kelas lainnya, sebut saja permainan “Ayoh Mengajar Teman Kita” Insyallah saya tulis detailnya seperti apa dalam kesempatan yang berbeda. Yang terpenting dalam layanan ini adalah penekanan pada karakter siswa berani bertanggung-jawab, bersikap kritis dan mendorong potensi psiko-sosial siswa dalam berinteraksi dengan sesama maupun lingkungannya. Dan jangan lupa meluruskan berapa informasi dari siswa yang dirasa belum tepat agar tidak memunculkan pemahaman yang salah pada teman-temannya.
Ahkir kata silakan teman-teman seprofesi marah pada siswa, akan tetapi harus marah yang sesuai dengan tempatnya. Jangan gunakan sentuhan fisik seperti tamparan, pukulan atau cacian pada siswa kita karena secara tidak langsung kita telah menanamkan pondasi karakter sifat maupun sikap pada mereka, sesuai dengan peribahasa jawa guru wong kang di gugu lan ditiru. Selamat berkarya dan mohon masukan dari teman-teman jika ada kesalahan tulisan ini. Salam Ndoro Demang.
Seperti biasanya mau donasi iklan he he he klik saja tautan berikut, satu klik berharga $ 0,00005 he he he DONASI IKLAN jangan lupa yach
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar diharapkan bersifat membangun dalam rangka pengembangan keilmuan Bimbingan dan Konseling. Kami sampaikan terima kasih