Kehadiran bapak Lukman Kepala Balai Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dindik Provinsi Banten, dalam diskusi Forum Rembuk BK dan kebetulan beliau juga lulusan sarjana Bimbingan dan Konseling. Ada yang terlontar dari keluh kesah beliau yaitu keprihatinan Bimbingan dan Konseling sendiri hampir tidak dilibatkan dalam sekolah SLB (Sekolah Luar Biasa), menyusul kata beliau di Banten SLB disebut sebagai sekolah khusus.
Respon dari warga Forum Rembuk mulai mengalir, salah satunya yaitu minimnya literasi panduan kerja BK di SLB yang seringkali menghantui persoalan dilapangan, andai ada teman guru BK yang bergerak dijenjang pendidikan Sekolah Luar Biasa, kecenderungan mereka kemungkinan besar belajar secara otodidak.
Pernyataan salah satu warga forum dari Madiun, saya menyebut beliau Mbak Rin (Ketua MGBK Kab. Madiun) apakah ada kemungkinan untuk sekolah ABK, guru BK harusnya dilatih dalam penanganan siswa khusus, karena tentu saja beda dengan lazimnya. Beliau menyampaikan bahwa praktek di lapangan saat, di daerahnya selalu melibatkan psikolog/psikiater.
Tidak terbatas pada pertanyaan terkait penanganan siswa, bahkan bahkan ada lontaran pernyataan di lapangan masih bingung dengan istilah sekolah inklusif dan sekolah luar biasa. Bahkan tema diskusi hingga melebar pada ranah soal UKG, yaitu BK formal, BK Non formal, dan BK informal. Dan dalam modul terkait ketiganya tidak tersebut sekolah luar biasa.
Pak Suhudi selaku Dekan FIP Universitas Darul Ulum Jombang, seketika dalam diskusi meyahut. BK di SLB itu sudah menjadi mata kuliah wajib, bagi mahasiswa PLB (Pendidikan Luar Biasa) baik S1 maupun S2 berkebutuhan khusus. Pernyatan tesebut sedikit menyisakan permasalahan baru, berarti yang belajar tentang BK bukan guru BK melainkan guru SLB. Agar bahasan tidak menambah lebar, ada beberapa teman yang mengarahkan agar diskusi terfokus pada SLB dan kategori siswanya. Tema yang menarik sebenarnya jika kita mengeplorasi “peran BK dalam pendidikan khusus” ini lebih jauh, karena berbagai bahasan akan muncul dari berbagai sudut pandang. Amat disayangkan, ibu Rita Rambe selaku pegiat pendidikan di anak kebutuhan khusus tidak bisa hadir dalam diskusi, pasti kehadirannya akan menambah wawasan tersendiri untuk itu.
Mengawali tanggapan dari warga forum rembuk BK, bapak Lukman menjawab untuk pendidikan Inklusif coba dibuka di permendiknas 70 tahun 2009 dan BK di pendidikan Luar Biasa coba cek di Buku Panduan BK di PLB karya pak sunardi jurusan PLB Universitas Pendidikan Indonesia Tahun 2005.
Pertanyaan bersifat teknis, mulai muncul juga seperti contoh dari Bu Leny dari Jombang “mohon pencerahan, apabila ada anak yg awalnya normal, tapi pada waktu disekolah karena suatu hal dia menjadi anak yg berkebutuhan khusus. Bagaimana seharusnya kami bersikap?” Dan jawaban salah satu anggota forum lainnya cukup simple yaitu “ya referal ke ahlinya”. Menarik tentunya, jika kita lebih jauh saat kita mempelajari keilmuan BK di sekolah ABK ini, sehingga kata “referal” tidak semudah itu keluar dari solusi. Mau tidak mau, dikatakan secara jujur untuk wawasan BK di sekolah ABK ini sangat minim.
Ternyata usulan tersebut juga dibenarkan oleh bu Lilik selaku Ketua MGBK SMPN di Kota Surabaya, “sekilas informasi di beberapa SMPN di Surabaya siswanya ada yg ABK dan itu sudah ada database dari Dinas yang disebar dengan siswa reguler, disekolah sudah ada yang menangani khusus yaitu GBK lulusan UNESA dan Psikolog”. Akan tetapi mari bersama untuk di cermati, di saat masuk ranah SLB tentu BK bisa menjadi bahan pertimbangan walaupun secara tidak langsung terjun dalam penanganan, tetapi jika sudah masuk di sekolah formal seperti yang terjadi di Kota Surabaya. Maka tentu tidak semudah membalik tangan bahwa ini bukan ranah kerja BK dan sudah ada tim khusus. Pertanyaan simple, apakah anak ini tidak masuk dalam populasi siswa? Jika termasuk dan menjadi bagian dari populasi siswa di sekolah tersebut, tentu akan masuk dalam wilayah peran guru BK karena kinerja jam kita dihitung dari jumlah murid. Atau mereka hanya sewa tempat saja, kok dirasa alasan ini tidak masuk akal juga.
Ahkirnya pada tanggal 1 bulan maret 2016 pukul 20:10 membuka problem kebingungan dari para guru BK dilapangan, Prof Sunaryo mengatakan Pendidikan inklusi membuka akses luas bagi keragaman seluruh peserta didik (dengan mengabaikan kecakapan intelektual, ras, agama, gender). Belajar bersama belajar hidup brsama. BK bagi ABK baik pada inklusi maupun segregasi utamanya difokuskan pada intrvensi pengembangan perilaku adaptif, penyiapan lingkungan perkembangan yang fasilitatif, sampai kepada konseling keluarga, dan bahkan outreach counseling yang terkait dengan kemungkinan ABK memasuki kehidupan masyarakat/dunia kerja. Untuk keperluan yang unik ini seorang calon konselor di prodi BK perlu faham dan belajar ABK dan BK ABK, dan seorang calon guru PLB perlu belajar BK ABK. Kolaborasi sangat penting. Dlm seting inklusi akses diversifikasi program harus menjadi hal utama. BK menjadi berorientasi membantu siswa memperoleh akses luas untuk memperoleh sukses belajar.
Pandangan tersebut mulai memperjelas, posisi dan peran BK di sekolah ABK.Pada kesempatan yang sama ibu Doktor Dhani staff pengajar pascasarjana prodi BK universitas Negeri Malang, menyampaikan 23 Mei 2016 akan ada seminar internasional Peningkatan peran guru BK/Konselor di Sekolah Inklusi di Universitas Sanata Darma Yogyakarta.
Menyusul kemudian pernyataan Bapak Lukman, menanggapi pertanyaan dari Bu leny dari Jombang, sekolah penyelenggara inklusif disepakati kalau ABK ringan dan pihak keluarga menghendaki sekolah di sekolah umum sedangkan untuk kategori sedang hingga berat berat harus ke SLB. Pak Lukman menyampaikan di Jatim sekolah penyelenggara inklusif sudah banyak karena dinas pendidikan sudah peduli dengan pendidikan inklusif.
Bahkan Pak Luman menyarankan, agar guru BK mengadakan tes assement ketunaan jika ada siswa yang kategori ABK untuk memberikan modal dan strategi penanganan secara khusus pula. Dalam diskusi Bapak Prof Sunaryo, menyampaikan dokter pendekatan medis, psikolog lebih pndekatan klinis. Pertanyaan di ujung kemana anak sekolah? Itu prtanyaan pendagogis yang tidak akan terjawab dengan medis dan klinis. Disitulah pendekatan pedagogik diperlukan. Sentilan keras mengena ini sebenarnya dapat menggugah semangat para guru BK, jangan hanya asal keluar pernyataan referal atau alih tangan. Guru BK punya peran andil yang besar, jika kita terjemahkan pernyataan beliau. Pak Donald selaku wakaprodi BK Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, mengiyakan pernyataa Prof sunaryo, dan menambahkan perlu kiranya penataan bentuk teknis layanan BK yang kental dengan nuansa pedagogik bagi siswa berkebutuhan khusus.
Prof sunaryo, menyampaikan kolaborasi dengan medis maupun klinis tetap diperlukan, dan membangun paradigma penanganan ABK bergeser dari paradigma medis klinis ke paradigma pedagogik.
Berkaitan dengan harapan Prof Sunaryo tersebut, muncul problematika dilapangan sebagaimana yang di paparkan oleh pak Donlad, karena fenomena jumlah anak berkebutuhan khusus semakin tinggi, maka kurikulum s1 yag memuat BK ABK juga perlu diperkuat. Untuk itu kiranya butuh informasi dari lapangan. Sementara kami sudah punya data dari beberapa sekolah di jogja dan jakarta. Dan hasilnya teman-teman di lapangan masih cenderung mendekatinya dari medis dan klinis. Pak Wahid, dosen prodi BK juga berharap ada rekomendasi dan referensi buku, karena di kampusnya S1 BK telah menempatkan matakuliah ABK.
Menanggapi pernyataan dari kedua dosen diatas, Prof Sunaryo mengatakan perlu kolaborasi dan sharing universitas dan lapangan. Pengalaman di lapangan perlu dipelajari untuk perbaikan, beliau juga mengatakan rujukan untuk BK ABK, saya belum menemukan yang spesifik karena BK ABK akan sangat kasuistik. Yang saya lakukan membangun kerangka pikir, verifikasi lapangan untuk pemahaman mendalam dan intervensi sepanjang memungkinkan.
Pencerahan dari Bapak Profesor Sunaryo, sangat simple akan tetapi sungguh sangat terasa kemanfaatannya. Bahkan tidak hanya dalam keilmuan BK ABK akan tetapi mengadung motivasi yang tinggi untuk para praktisi dan akademisi mengembangkan BK ABK lebih jauh. Warga forum rembuk di ahkir diskusi ada yang menyebutkan bahaw BK ABK sangat spesifik, ada perbedaan untuk ABK di sekolah inklusif dan yang di SLB.
Di sekolah inklusif ABK nya masih dapat mengikuti pembelajaran bersama-sama dengan siswa reguler dan guru mata pelajaran harus mampu menyampaikan materi kepada seluruh siswa dengan kebutuhan yang berbeda. Sekolah seperti ini disebut sekolah ramah anak. Pada dasarnya semua siswa memiliki kebutuhan yang berbeda, maka disitulah peran guru BK untuk menjembatani antara metode yang diberikan guru dalam pebelajaran dan pemenuhan kebutuhan setiap siswa.
Di SLB guru BK lebih berperan dalam menjembatani kesepahaman pembelajaran di sekolah dan pemahaman orang tua terhadap perkembangan anaknya, baik secara kognitif, psikologis, maupun ketrampilan, agar dirumah orangtua dapat melakukan hal-hal yang mendukung perkembangan anak secara maksimal dengan keterbatasannya.
Sumber: Diskusi Nasional Forum Rembuk BK
(silakan dibagikan tautan, jika dirasakan ada kemanfaatan bersama.) Salam BK makin Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar diharapkan bersifat membangun dalam rangka pengembangan keilmuan Bimbingan dan Konseling. Kami sampaikan terima kasih