Selasa, 05 Juli 2016

Peran Bimbingan dan Konseling di Sekolah Inklusi (Anak Berkebutuhan Khusus)

Kehadiran  bapak Lukman Kepala Balai Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Dindik Provinsi Banten, dalam diskusi Forum Rembuk BK dan kebetulan beliau juga lulusan sarjana Bimbingan dan Konseling. Ada yang terlontar dari keluh kesah beliau yaitu keprihatinan Bimbingan dan Konseling sendiri hampir tidak dilibatkan dalam sekolah SLB (Sekolah Luar Biasa), menyusul kata beliau di Banten SLB disebut sebagai sekolah khusus.

Respon dari warga Forum Rembuk  mulai mengalir, salah satunya yaitu minimnya literasi panduan kerja BK di SLB yang seringkali menghantui persoalan dilapangan, andai ada teman  guru BK yang bergerak dijenjang pendidikan  Sekolah Luar Biasa, kecenderungan mereka  kemungkinan besar belajar  secara otodidak.
Pernyataan salah satu warga forum dari Madiun, saya menyebut beliau Mbak Rin (Ketua MGBK Kab. Madiun) apakah ada kemungkinan untuk sekolah ABK, guru BK harusnya dilatih dalam penanganan siswa khusus, karena tentu saja beda dengan lazimnya. Beliau menyampaikan bahwa praktek di lapangan saat, di daerahnya selalu melibatkan psikolog/psikiater.
Tidak terbatas pada pertanyaan terkait penanganan siswa, bahkan bahkan ada lontaran pernyataan di lapangan masih bingung dengan istilah sekolah inklusif dan sekolah luar biasa. Bahkan tema diskusi hingga melebar pada ranah soal UKG, yaitu BK formal, BK Non formal, dan BK informal. Dan dalam modul terkait ketiganya tidak tersebut sekolah luar biasa.

Pak Suhudi selaku Dekan FIP Universitas Darul Ulum Jombang, seketika dalam diskusi meyahut. BK di SLB itu sudah menjadi mata kuliah wajib, bagi mahasiswa PLB (Pendidikan Luar Biasa) baik S1 maupun S2 berkebutuhan khusus. Pernyatan tesebut sedikit menyisakan permasalahan baru, berarti yang belajar tentang BK bukan guru BK melainkan guru SLB. Agar bahasan tidak menambah lebar, ada beberapa teman yang mengarahkan agar diskusi terfokus pada SLB dan kategori siswanya. Tema yang menarik sebenarnya jika kita mengeplorasi “peran BK dalam pendidikan khusus” ini lebih jauh, karena berbagai bahasan akan muncul dari berbagai sudut pandang. Amat disayangkan, ibu Rita Rambe selaku pegiat pendidikan di anak kebutuhan khusus tidak bisa hadir dalam diskusi, pasti kehadirannya akan menambah wawasan tersendiri untuk itu.

Mengawali  tanggapan dari warga forum rembuk BK, bapak Lukman menjawab untuk pendidikan Inklusif coba dibuka di permendiknas 70 tahun 2009 dan BK di pendidikan Luar Biasa coba cek di Buku Panduan BK di PLB karya pak sunardi jurusan PLB Universitas Pendidikan Indonesia  Tahun 2005.

Pertanyaan bersifat teknis, mulai muncul juga seperti contoh dari Bu Leny dari Jombang “mohon pencerahan, apabila ada anak yg awalnya normal, tapi pada waktu disekolah karena suatu hal dia menjadi anak yg berkebutuhan khusus. Bagaimana seharusnya kami bersikap?” Dan jawaban salah satu anggota forum lainnya cukup simple yaitu “ya referal ke ahlinya”. Menarik tentunya, jika kita lebih jauh saat kita mempelajari keilmuan BK di sekolah ABK ini, sehingga kata “referal” tidak semudah itu keluar dari solusi. Mau tidak mau, dikatakan secara jujur untuk wawasan BK di sekolah ABK ini sangat minim.

Ternyata usulan tersebut juga dibenarkan oleh bu Lilik selaku Ketua MGBK SMPN di Kota Surabaya, “sekilas informasi di beberapa SMPN di Surabaya siswanya ada yg ABK dan itu sudah ada database dari  Dinas yang disebar dengan siswa reguler, disekolah sudah ada yang menangani khusus  yaitu GBK  lulusan UNESA  dan  Psikolog”.  Akan tetapi mari bersama untuk di cermati, di saat masuk ranah SLB tentu BK bisa menjadi bahan pertimbangan walaupun secara tidak langsung terjun dalam penanganan, tetapi jika sudah masuk di sekolah formal seperti yang terjadi di Kota Surabaya. Maka tentu tidak semudah membalik tangan bahwa ini bukan ranah kerja BK dan sudah ada tim khusus. Pertanyaan simple, apakah anak ini tidak masuk dalam populasi siswa? Jika termasuk dan menjadi bagian dari populasi siswa di sekolah tersebut, tentu akan masuk dalam wilayah peran guru BK karena kinerja jam kita dihitung dari jumlah murid. Atau mereka hanya sewa tempat saja, kok dirasa alasan ini tidak masuk akal juga.

Ahkirnya pada tanggal 1 bulan maret 2016 pukul 20:10 membuka problem kebingungan dari para guru BK dilapangan, Prof Sunaryo mengatakan  Pendidikan  inklusi membuka akses luas bagi keragaman seluruh peserta didik (dengan mengabaikan kecakapan intelektual, ras, agama, gender). Belajar bersama belajar hidup brsama. BK bagi ABK baik pada  inklusi maupun segregasi utamanya difokuskan pada intrvensi  pengembangan  perilaku adaptif, penyiapan lingkungan perkembangan  yang  fasilitatif, sampai kepada  konseling  keluarga, dan bahkan outreach counseling yang terkait dengan  kemungkinan ABK memasuki  kehidupan masyarakat/dunia kerja. Untuk  keperluan yang unik  ini seorang  calon konselor di prodi  BK  perlu  faham  dan  belajar ABK  dan BK ABK,  dan seorang calon guru PLB  perlu belajar BK ABK. Kolaborasi sangat penting. Dlm seting inklusi akses diversifikasi program harus menjadi  hal utama. BK menjadi  berorientasi membantu siswa memperoleh  akses  luas untuk  memperoleh  sukses  belajar.

Pandangan tersebut mulai memperjelas, posisi dan peran BK di sekolah ABK.Pada kesempatan yang sama ibu Doktor Dhani staff pengajar pascasarjana prodi BK universitas Negeri Malang, menyampaikan  23 Mei  2016 akan ada seminar internasional Peningkatan peran guru BK/Konselor di Sekolah Inklusi di Universitas  Sanata Darma Yogyakarta.
Menyusul kemudian pernyataan Bapak Lukman, menanggapi pertanyaan dari  Bu leny dari Jombang, sekolah penyelenggara inklusif disepakati kalau ABK  ringan dan pihak keluarga menghendaki sekolah di sekolah umum sedangkan untuk kategori  sedang  hingga berat  berat harus ke SLB. Pak Lukman menyampaikan  di Jatim sekolah penyelenggara inklusif sudah banyak karena dinas pendidikan sudah peduli dengan pendidikan inklusif.

Bahkan Pak Luman menyarankan, agar guru BK mengadakan tes assement ketunaan jika ada siswa yang  kategori  ABK untuk memberikan modal dan strategi penanganan secara khusus pula. Dalam diskusi Bapak Prof Sunaryo, menyampaikan  dokter pendekatan medis, psikolog lebih pndekatan klinis. Pertanyaan di ujung kemana anak sekolah? Itu prtanyaan pendagogis  yang  tidak akan  terjawab  dengan  medis  dan  klinis. Disitulah pendekatan pedagogik  diperlukan. Sentilan keras mengena  ini sebenarnya dapat menggugah semangat para guru BK, jangan hanya asal keluar pernyataan referal atau alih tangan. Guru BK punya peran andil yang besar, jika kita terjemahkan pernyataan beliau.  Pak Donald selaku wakaprodi BK Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, mengiyakan pernyataa Prof sunaryo, dan menambahkan perlu kiranya  penataan bentuk teknis layanan BK yang kental dengan nuansa pedagogik bagi siswa berkebutuhan khusus.

Prof sunaryo, menyampaikan  kolaborasi dengan medis maupun  klinis tetap diperlukan, dan membangun  paradigma penanganan ABK  bergeser  dari  paradigma medis klinis ke paradigma pedagogik.

Berkaitan dengan harapan  Prof Sunaryo tersebut, muncul problematika dilapangan sebagaimana yang di paparkan oleh pak Donlad, karena fenomena jumlah anak berkebutuhan khusus semakin tinggi, maka kurikulum s1 yag memuat BK ABK juga perlu diperkuat. Untuk  itu kiranya butuh informasi dari  lapangan. Sementara kami sudah punya data dari beberapa  sekolah di jogja dan jakarta. Dan hasilnya teman-teman di lapangan masih cenderung mendekatinya  dari medis dan klinis. Pak Wahid, dosen prodi BK juga berharap ada rekomendasi  dan referensi buku, karena di kampusnya  S1 BK telah menempatkan matakuliah ABK.

Menanggapi pernyataan dari kedua dosen diatas, Prof Sunaryo mengatakan  perlu kolaborasi dan sharing universitas dan lapangan. Pengalaman di lapangan perlu dipelajari untuk  perbaikan, beliau juga mengatakan  rujukan untuk  BK ABK, saya belum menemukan yang spesifik  karena  BK ABK akan  sangat  kasuistik. Yang saya lakukan membangun kerangka pikir, verifikasi lapangan untuk pemahaman mendalam dan intervensi sepanjang memungkinkan.

Pencerahan dari Bapak Profesor Sunaryo, sangat simple akan tetapi sungguh sangat terasa kemanfaatannya.  Bahkan tidak hanya dalam keilmuan BK ABK akan tetapi mengadung motivasi yang tinggi untuk para praktisi dan akademisi mengembangkan BK ABK lebih jauh. Warga forum rembuk di ahkir diskusi ada yang menyebutkan bahaw BK ABK sangat spesifik, ada perbedaan untuk  ABK di sekolah inklusif dan yang di SLB.

Di sekolah inklusif ABK nya  masih dapat mengikuti pembelajaran bersama-sama dengan  siswa reguler dan guru mata pelajaran harus mampu menyampaikan materi kepada seluruh siswa dengan kebutuhan  yang  berbeda.  Sekolah seperti  ini disebut sekolah  ramah anak. Pada dasarnya semua siswa memiliki kebutuhan yang  berbeda, maka disitulah peran guru BK untuk menjembatani  antara metode  yang  diberikan guru dalam pebelajaran  dan  pemenuhan  kebutuhan  setiap siswa.
Di  SLB  guru BK  lebih berperan dalam menjembatani  kesepahaman  pembelajaran di sekolah dan pemahaman orang tua terhadap perkembangan anaknya, baik secara kognitif, psikologis, maupun ketrampilan, agar dirumah orangtua dapat melakukan hal-hal yang mendukung  perkembangan anak secara maksimal  dengan  keterbatasannya.

Sumber: Diskusi Nasional Forum Rembuk BK 
(silakan dibagikan tautan, jika dirasakan ada kemanfaatan bersama.) Salam BK makin Jaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar diharapkan bersifat membangun dalam rangka pengembangan keilmuan Bimbingan dan Konseling. Kami sampaikan terima kasih