Jumat, 14 Juni 2019

PGRI dan Pemilu (Bagian satu)

PGRI dan Pemilu
Oleh Didi Suprijadi 

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) merupakan organisasi guru tertua di Indonesia lahir sejak 100 hari Indonesia merdeka mempunyai anggota tersebar di seantero nusantara dari Sabang sampai Merauke. Anggota PGRI terdiri dari Guru aktif baik PNS maupun nonPNS, Guru pensiunan, dan tenaga kependikan lainnya. Jati diri PGRI adalah organisasi profesi, serikat pekerja, dan organisasi perjuangan. PGRI dipimpin oleh seorang ketua umum mulai dari Singgih, RH. Koesnan, M.E. Subiyadinata, H. Basyuni Suryamiharja, M. Surya, Sulistiyo sampai Unifah Rosyidi.

Pemilu  adalah pemilihan umum yang salah satunya untuk memilih  presiden. Pemilihan presiden telah dilakukan tiap lima tahunan baik melalui pemilu maupun sidang umum MPR (di masa orde baru). Sejak Indonesia merdeka, sudah berapa jumlah Presiden dihasilkan baik melalui pemilu maupun melalui sistem perwakilan di sidang Umum MPR. Hasil dari Pemilu dan Sidang Umum, mulai Presiden Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati, Soesilo Bambang Yudoyono sampai Joko Widodo. 


PGRI proses pergantian ketua umumnya selalu mengikuti AD ART dengan jangka waktu lima tahun sekali, begitu juga dengan Pilpres selalu sesuai Undang Undang dilakukan setiap lima tahun sekali, kecuali dalam keadaan darurat saat reformasi.

Lalu, bagaimana hubungannya ketua Umum PGRI dengan pemilihan umum dan pemilihan  Presiden? Untuk mengurai hubungan PGRI dengan pemilihan umum dan pemilihan presiden, dapat dibagi menjadi tiga masa yaitu masa Orde Lama , masa Orde Baru, dan masa Orde  Reformasi.

Pertama, masa Orde Lama, kondisi politik di masa orde lama sangatlah tidak menentu, negara yang baru merdeka belumlah sekuat seperti sekarang. Masih banyak rongrongan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Kehidupan politik masih belum menemukan bentuknya. Tahun 1955, sepuluh tahun setelah merdeka baru  dilaksanakan pemilu pertama dan terakhir di masa orde lama. Partai Komunis Indonesia pernah sebagai pemenang pemilu nomor 4 di tahun 1955 setelah PNI, NU, dan Masyumi. Saking bebasnya perpolitikan saat itu, akhirnya dalam sidang sidang konstituante hasil pemilu selama empat tahun persidangan   tidak pernah menemukan kesepakatan tentang bentuk dan arah negara. Akhirnya Presiden Soekarno dengan hak prerogatifnya mengambil keputusan kembali ke UUD 45 dan membubarkan konstituante,  yang dikenal dengan  dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Presiden Soekarno dengan kekuatan penuh dengan dukungan beberapa partai termasuk partai Komunis menjalankan pemerintahan secara otoriter. Partai Komunis sebagai pemenang pemilu dengan anggota lima juta orang saat itu  merupakan partai yang sangat berpengaruh dalam pemerintahan Orde Lama. Pengaruh Partai Komunis juga ikut memengaruhi kehidupan masyarakat termasuk organisasi guru seperti PGRI. Imbasnya kehidupan organisasi PGRI terjadi kehebohan antaranggota dan pengurus. Tarik menarik kepentingan atas dasar pandangan politik. Ada pengurus yang berpandangan politik yang berbasis agama, nasionalis, dan komunis.

Puncak kehebohan dalam tubuh organisasi guru PGRI akibat pengaruh politik adalah kongres ke-X di Jakarta, dimana pengurus yang berafiliasi politik paham komunis dan dekat dengan kekuasaan Presiden Soekarno saat itu, mendeklarasikan diri membentuk PGRI tandingan di luar kepemimpinan PGRI kongres yang di pimpin oleh M.E. Subiyadinata. Kelompok yang tidak mengakui hasil kongres X ini  menamakan dirinya PGRI nonvak sentral. 
PGRI nonvak sentral tidak lama berkibar. Kelompok ini bubar seiring jatuhnya rezim orde lama. Bubarnya PGRI nonvak sentral setelah  bubarnya penopangnya yaitu pemerintahan orde lama dan partai komunis. Pelajaran untuk semua anggota dan pengurus PGRI bahwa kekuatan penopang dari luar, sekalipun itu pemerintah dan partai politik tidak akan sekuat dan abadi kekuatan penopang anggota PGRI. Untuk itu, kekuatan organisasi guru PGRI bukanlah dari pemerintah, partai politik atau lembaga lainnya. Kekuatan organisasi PGRI terletak pada anggota.

Pada masa orde lama ini, dengan hanya satu kali pemilu saja dapat memporak-porandakan organisai guru PGRI menjadi terbelah dua. Bagaimana bila pemilunya rutin berlangsung setiap lima tahun sesuai dengan ketentuan? Perpecahan dalam tubuh PGRI ini tak perlu terjadi apabila berpegang teguh kepada aturan organisasi, yaitu AD ART dan bertumpu pada kekuatan anggota. 
Didi Suprijadi Ketua Majelis Nasional KSPI /Ketua PB PGRI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar diharapkan bersifat membangun dalam rangka pengembangan keilmuan Bimbingan dan Konseling. Kami sampaikan terima kasih