Dwi
Atmaja, S.Pd. M.Psi
Pendahuluan
Bimbingan dan Konseling
merupakan salah satu komponen dari pendidikan, karena merupakan suatu aktivitas
dalam memberikan bimbingan, pengajaran, dan pedoman kepada individu secara umum
maupun peserta didik (konseli) secara
khusus yang dapat mengembangkan potensi akademik maupun non akademik berkaitan
dengan akal pikiran, kejiwaan, keimanan, dan keyakinan serta dapat
menanggulangi problematika dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat yang
berkaitan dengan kultural dan struktural masyarakat yang telah ada, dengan cara
yang baik dan benar secara mandiri sehingga mampu meningkatkan mutu
kehidupannya dengan menggunakan teknik tertentu bersifat lahiriyah ataupun
batiniyah sehingga keinginan (nafsu) dapat terkendalikan dan pada akhirnya akan
mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Sehingga dalam konsep
dasar Bimbingan dan Konseling perlu menambahkan intervensi spiritual
(kerohanian/agama Islam) dalam layanan bimbingan dan konseling spiritual adalah
untuk meningkatkan proses penyesuaian dan pertumbuhan spiritual. Hal ini
terjadi karena pertumbuhan spiritualnya siswa akan dapat berfungsi secara
efektif dalam kehidupannya. Kategori intervensi tersebut meliputi aspek
kognitif, afektif, tingkah laku, dan interpersonal dengan Sang Pencipta (Noor,
2006). Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau
keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan
kekuatan ketika sedang menghadapi stress emosional, penyakit fisik, atau
kematian. Dimensi spiritual juga dapat menumbuhkan kekuatan yang timbul diluar
kekuatan manusia (Kozier, 2004).
Erat terkait esensi dari
layanan bimbingan konseling mengedepankan proses pemberian bantuan oleh seorang
konselor kepada konseli (baik individu maupun kelompok konseli) untuk mengatasi
problem perlu memasukan unsur utama dalam tiap pendekatannya baik terapi maupun
teori, dengan sentuhan nuansa nilai-nilai spiritual, sehingga konseli dalam
mengungkap berbagai respons diri baik secara fisik dan emosi mampu berimbang
untuk menumbuhkan karakter positif dan berkepribadian luhur. Chandler
(1992), Kehidupan spiritual adalah
bagian dari esensi manusia yang membentuk karakteristik manusia secara alamiah.
Konsep spirituality sebagai suatu hal yang berhubungan dengan kapasitas batin
dan tendensi pencarian seseorang dalam menggapai lokus inti diri (locus of
centricity) melalui pengembangan diri secara pemahaman (knowledge) maupun cinta
kasih (love). Maka perlu dilakukan revitalisasi dalam proses bimbingan
konseling. Revitalisasi berarti kegiatan
untuk menyadarkan, menyegarkan kembali, menghidupkan kembali, atau
membangkitkan kembali (Echols dan Shadily, 1992:484) sebagai
“bringing again into activity and prominence” yaitu sebagai suatu usaha
untuk membawa kembali atau meletakkan peran konselor pada aktivitas dan
keunggulan konselor yang semestinya dilakukan. Ada beberapa hal yang dapat
menjadi prioritas untuk diperhatikan dalam penguasaan pendekatan agama pada
layanan Bimbingan dan Konseling, pertama meningkatkan keyakinan spritual
konseli dalam memecahkan masalah, kedua tidak melepaskan nilai-nilai
spiritual dalam memberikan layanan dengan berbagai teori pendekatan yang telah
dikuasai oleh konselor, ketiga dapat berinteraksi dengan baik pada
konseli yang memiliki pandangan nilai-nilai spiritual berbeda dengan konselor
miliki dan keempat, menghindari
konselor untuk menjustifikasi permasalahan konseli dari sudut pandang
nilai-nilai yang di miliki oleh konselor.
Hal lain yang menjadikan
pertimbangan konselor dalam memberikan layanan, perlu meninjau beberapa
kebutuhan mendasar konsep spiritual pada konseli, Clinebell (dalam Hawari
2002), 1. Kebutuhan akan kepercayaan dasar (basic trust), kebutuhan ini secara
terus-menerus diulang guna membangkitkan kesadaran bahwa hidup ini adalah
ibadah. 2. Kebutuhan akan makna dan tujuan hidup, kebutuhan untuk menemukan
makna hidup dalam membangun hubungan yang selaras dengan Tuhannya (vertikal)
dan sesama manusia (horisontal) serta alam sekitarnya 3. Kebutuhan akan
komitmen peribadatan dan hubungannya dengan keseharian, pengalaman agama
integratif antara ritual peribadatan dengan pengalaman dalam kehidupan
sehari-hari. 4. Kebutuhan akan pengisian keimanan dengan secara teratur
mengadakan hubungan dengan Tuhan, tujuannya agar keimanan seseorang tidak
melemah. 5. Kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah dan dosa. Rasa bersalah dan
berdosa ini merupakan beban mental bagi seseorang dan tidak baik bagi kesehatan
jiwa seseorang. Kebutuhan ini mencakup dua hal yaitu pertama secara vertikal
adalah kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah, dan berdosa kepada Tuhan. Kedua
secara horisontal yaitu bebas dari rasa bersalah kepada orang lain 6. Kebutuhan
akan penerimaan diri dan harga diri {self acceptance dan self esteem), setiap
orang ingin dihargai, diterima, dan diakui oleh lingkungannya. 7. Kebutuhan
akan rasa aman, terjamin dan keselamatan terhadap harapan masa depan. Bagi
orang beriman hidup ini ada dua tahap yaitu jangka pendek (hidup di dunia) dan
jangka panjang (hidup di akhirat). Hidup di dunia sifatnya sementara yang
merupakan persiapan bagi kehidupan yang kekal di akhirat nanti. 8. Kebutuhan
akan dicapainya derajat dan martabat yang makin tinggi sebagai pribadi yang
utuh. Di hadapan Tuhan, derajat atau kedudukan manusia didasarkan pada tingkat
keimanan seseorang. Apabila seseorang ingin agar derajatnya lebih tinggi
dihadapan Tuhan maka dia senantiasa menjaga dan meningkatkan keimanannya. 9.
Kebutuhan akan terpeliharanya interaksi dengan alam dan sesama manusia. Manusia
hidup saling bergantung satu sama lain. Oleh karena itu, hubungan dengan orang
disekitarnya senantiasa dijaga. Manusia juga tidak dapat dipisahkan dari
lingkungan alamnya sebagai tempat hidupnya. Oleh karena itu manusia mempunyai
kewajiban untuk menjaga dan melestarikan alam ini. 10. Kebutuhan akan kehidupan
bermasyarakat yang penuh dengan nilai-nilai religius. Komunitas keagamaan
diperlukan oleh seseorang dengan sering berkumpul dengan orang yang beriman
akan mampu meningkatkan iman orang tersebut
Gerakan revitalisasi tersebut terealisasi,
tentunya dapat dituangkan melalui program-program organisasi bimbingan
konseling (baca: Musyawarah Guru Bimbingan Konseling) dalam peningkatan
kompetensi anggotanya ke depan terutama di era disrupsi yang menuntut
terobosan-terobasan baru (ijtihad),
salah satunya dengan berbasis moderasi. Dalam keefektifan roda gerak organisasi untuk berkembang
kearah baik tentunya membutuhkan berbagai langkah strategi yang inovasi kreatif, Jones (1998) tahap siklus
hidup organisasi dimana organisasi mampu mengembangkan
nilai kreasi dan kompetensi sehingga mendapatkan
sumberdaya tambahan.
Pertumbuhan ini
memungkinkan organisasi meningkatkan
pembagian
kerja dan
spesialisasi serta sekaligus mengembangkan keunggulan kompetitif.
Mengarahkan perubahan kearah professional merupakan kewajiban yang harus dilakukan dalam berorganisasi untuk
mencapai visi dan
misi. Tentunya perubahan tersebut perlu
mengadakan tinjauan
yang lebih mendalam mencakup factor
internal perubahan kebijakan kepemimpinan,
perubahan tujuan, perubahan wilayah sasaran tujuan, perubahan rutinitas kegiatan, dan perubahan sikap serta perilaku anggota organisasi, sedangkan factor eksternal
memperhatikan politik,
sosial, budaya, teknologi, demograpi, sosiologi. Dalam pencapaian kearah
organisasi professional MGBK mengedepankan pemberdayaan kemapuan anggotanya dalam hal ketrampilan kemanusian (human skill), Keterampilan Teknik (technical skill), Keterampilan konseptual (conceptual skill),
Keterampilan motivasi (motivation skill),
dan Keterampilan Informasi teknologi. Arah gerak organisasi professional di
MGBK tersebut dapat difokuskan ijtihad berbasis moderasi
beragama yang dikembangkan untuk meningkatkan pemahaman anggotanya berangkat
dari pemahaman background konseli
yang berbeda-beda, baik dalam domain agama, suku, ras, budaya, ekonomi, corak
masyarakat atau kultural, dan corak kehidupan masyarakat atau struktural.
Langkah
Strategis Ijtihad Berbasis Moderasi di Era Disrupsi
Perkembangan
kehidupan manusia pastilah berubah sesuai dengan tuntutan zaman, kehidupan
peserta didik pun tidak bisa lepas dari perubahan tersebut. Oleh karenanya,
layanan bimbingan konseling juga harus mampu membantu kelangsungan perkembangan
dan kehidupan peserta didik. Artinya, bahwa layanan bimbingan konseling harus
mampu memberi dampak positif pada permasalahan yang ada pada aspek kehidupan
peserta didik, sehingga layanan bimbingan konseling tidak keluar dari
fungsinya, misalnya layanan penguatan akhlak terpuji pada peserta didik,
meliputi budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabi'at, dan sebagainya
harus menjadi target utama dalam tujuan layanan. Jadi pada hakikatnya
Pendidikan akhlak diharapkan mampu menciptakan kondisi atau sifat yang meresap
dalam jiwa dan menjadi kepribadian seutuhnya individu.
Akhlak
adalah ilmu yang mengajarkan manusia berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat
dalam berhubungan dengan Allah, manusia dan makhluk sekelilingnya.
Sumber-sumber ajaran akhlak ialah Al-Qur'an dan Hadits, pedoman hidup yang
menjadi asas bagi setiap muslim (sumber akhlak karimah dalam ajaran Islam).
Dari pedoman itulah di ketahui-kriteria mana perbuatan yang baik dan mana
perbuatan yang buruk. Potensi-potensi tersebut dapat tercakup dalam kesebagian
ayat misalnya aspek perkembangan fisik
(QS. 23: 12-14) dan potensi aspek perkembangan mental spiritual, meliputi
kemampuan untuk berbicara (QS.55: 4), menguasai ilmu pengetahuan melalui proses
tertentu dengan mengajarkan manusia dengan kalam (baca tulis) dan segala apa
yang tidak diketahuinya (QS. 96: 4-5), dan kemampuan untuk mengenal Tuhan atas
dasar perjanjian awal di dalam ruh dalam bentuk kesaksian (QS. 7: 172).
Sehingga
Konselor diharuskan dapat berpikir kreatif dan inovatif dalam melakukan
perubahan (change) sebagai akibat dari keprihatinan terhadap kondisi dan
eksistensi karakter peserta didik, yang diikuti dengan pertumbuhan (growth) dan
pembaruan atau perbaikan (reform) serta ditingkatkan secara terus-menerus
(continuity) untuk dibawa ke yang lebih ideal. Namun demikian, perubahan dan
pembaruan pendidikan agama Islam itu di samping memerlukan sensitivitas
terhadap mainstream dari perkembangan yang ada, juga perlu mempertimbangkan
dimensi-dimensi fondasionalnya, sehingga tidak terlepas dari akar-akarnya atau
tidak kehilangan ruh atau spirit Islam (Muhaimin, 2006: 131-132).
Secara
khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30
Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan: (1) Pendidikan keagamaan
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk
agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan
berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami
dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,
nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah,
Madrasah, dan bentuk lain yang sejenis.
Menurut
Nashori (dalam Tarmizi, 2018) umat Islam harus bangkit dan tampil untuk
menguatkan gagasan tentang perlunya menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan
pribadi dan sosial kemasyarakatan, yang sudah terbukti dalam sejarah manusia,
sebagai landasan pijak bagi lahirnya peradaban emas yang menghargai dan
menempatkan manusia secara hakiki dan menghindarkan manusia dari kehancuran
eksistensinya seperti pada jaman Jahiliyyah. Sisi lain keefektifan penggunaan
pendekatan keagamaan, Zakiah Daradjat menyampaikan pengalamannya saat menjadi
bagian dari psikiater pada balai pengobatan Departemen Agama R.I sejak tahun
1965, mengemukakan bahwa kasus yang sering terjadi di Indonesia terkait erat
dengan gangguan kejiwaan, ketentraman, kekecewaan dalam kehidupan keluarga.
Ternyata, menekankan sisi keagamaan dapat mempercepat proses perawatan dan
penyembuhan.
Sedangkan langkah
strategis sebagai suatu ijtihad berbasis moderasi adalah memposisikan konselor,
selain sebagai pemberi layanan bimbingan konseling dalam menjalankan profesinya
juga harus mampu berperan sebagai agen perubahan pemahaman keagamaan yang
meneduhkan pada peserta didik, walimurid, rekan sejawat, kepala sekolah, komite
sekolah, dan masyarakat sekitar, yang diaktualisasikan dengan serius untuk
menciptakan sistem pendidikan yang efektif berbasis nilai-nilai niswa, sehingga
mampu hidup selaras dengan Al quran dan As Sunnah untuk mencapai kebahagian
hidup dunia dan ahkirat.
Firman Allah SWT
“Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS: An-Nahl (16):
125)
Sehingga
konselor perlu menunjukan beberapa kriteria (1) bersikap empatik dan memahami
bagaimana orang lain merasa dan mengalami dunianya; (2) mampu berhubungan
dengan peserta didik dan pendidik dalam suatu hubungan yang bermakna; (3)
sensitif terhadap kebutuhan orang lain; (4) menyadari tentang adanya dinamika
psikologis, motivasi, tujuan dari tingkah laku manusia; (5) memahami dinamika kelompok
dan kebermaknaanya bagi pelaksanaan pendidikan (Dinkmeyer dan Calrson,
2006:24). Mengingat perkembangan perilaku sosial yang cukup fluktuatif dan
rawan dalam pengaruh negatif maka diperlukan memadukan nilai-nilai
sosio-kultural yang selama ini menjadi pijakan bangsa Indonesia sebagai bangsa
Timur yang ramah dan toleran dan diarahkan pada penguatan akhlak dan karakter siswa sehingga tidak terlepas dari esensi pendidikan sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945 dan UU No. 20 Tahun
2003 tentang system pendidikan nasional.
Melalui ijitihad berbasis
moderasi maka konselor dalam
melaksanakan tugasnya, akan sesuai dengan tujuan bimbingan dan konseling di
sekolah yaitu agar konseli dapat memahami dan menerima diri sendiri, serta
merencanakan masa depan atas kekuatannya sendiri sebagaimana telah ditetapkan
dalam peraturan Departemen Pendidikan Nasional, sehingga dalam diri konseli
akan ada perubahan
perbaikan, kesehatan, dan kebersihan jiwa dan mental untuk dirinya, keluarga,
lingkungan sosial dan alam sekitarnya, antara lain: (1) perubahan, jiwa dan
mental yang damai (muthmainnah); (2)
bersikap lapang dada (radhiyah); (3)
mendapatkan pencerahan (mardhiyah);
(4) menghasilkan kecerdasan rasa (emosi) sebagai embrio berkembang sikap tasammuh, ta’awun; (5) menghasilkan kecerdasan spiritual menjadi pribadi yang
takwa dan tabah menerima cobaan; (6) mampu menjalankan tugas sebagai khalifah
(pemimpin) yang dapat memberi kebermanfaatan dan keselamatan bagi lingkungan
dan berbagai aspek kehidupan.
Sumber
Rujukan:
Chandler, Cynthia K., Holden, J.M., &
Kolander, C.A. Counseling For Spiritual Wellness: Theory and Practice. ( JCD
Vol. 71. Nov-Des 1992). 168-175
Dinkmeyer, D. and Carlson, J. 2006. Consultation: Creating Schoolbased
Interventions. New York: Taylor & Francis Group.
Hawari, D. 2002. Manajemen Stres Cemas dan
Depresi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jones, Gareth
R.
1994,
Organization Theory,
Text and
Cases,
Second
Edition. Addision-Wesley Longman Publishing Company, Inc, Unitet State of America
Kozier. 2004. Fundamantal of Nursing:
Concepts, Process and Practice. Edisi Kelima. Calipornia: Addison –Wesley.
Muhaimin. 2006. Nuansa Baru Pendidikan
Islam, Jakarta: PT. Raja Graffindo Persada.
Noor, Saper. 2006.
Isu-Isu Kounseling Perspektif Islam. Kuala Lumpur : Pustaka Salam
Surya, Moh. 1975. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Bandung: CV. Ilmu.
Tarmizi. 2018. Bimbingan Konseling
Islami. Medan : Perdana Publishing
Wangid,
Muhammad Nur. 2009. Revitalisasi Peran
Konselor Di Sekolah. dalam Jurnal Paradigma, Vol. 4., No. 08. Edisi Juli.
Zakiah
Daradjat. 1972. Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Jakarta: Bulan
Bintang
Casino Nightclub Near Me | MapyRO
BalasHapusCasino Nightclub Near 문경 출장마사지 Me - Find Nearby Bars, Restaurants, & Music 동두천 출장마사지 Casino Nightclub at Borgata Hotel Casino & 김천 출장안마 Spa is located off Interstate 5 in 이천 출장마사지 Atlantic 경상북도 출장마사지 City.