Ketahanan
Budaya, Ketahanan Nasional Serta Makna
Moderasi Agama Dalam Pembangunan Peradaban Bangsa Indonesia
(Dwi
Atmaja, S.Pd, M.Psi)
A. Pendahuluan
Membicarakan
sekilas tentang perkembangan Moderasi Beragama di Indonesia setidaknya tujuan
utama yang mendasari program hadir untuk
menciptakan kerukunan umat beragama di
Indonesia dengan memahami makna agama
pada masing-masing pemeluknya secara mendalam dan luas, sehingga dapat
dijadikan sebagai bagian modal untuk membangun negara kesatuan Indonesia,
Muqowim (2020) dalam kerangka
eksistensialis mempertegas keyakinan, bahwa agama bukanlah instrumen
persaingan, melainkan instrumen
kepeloporan. Agama yang hanif tidak hanya sibuk untuk melahirkan pedoman
ethis, namun agama menyuguhkan gelora ethos kepada penganutnya. Agama yang
hanif tidak hanya memuat aturan, melainkan memuat banyak kebijakan dan
inspirasi untuk maju ke depan, keluar dari kubangan nestapa kehidupan.
Kebijakan-kebijakan yang dihadirkan oleh agama hanif, bukanlah reaksi
idealis yang dilahirkan dari kondisi sejarah dan lingkungan budaya manusia. Agama yang hanif, meneruskan
kebijakan-kebijakan perennial yang menghubungkan anak tangga peradaban. Dengan
menggeser perilaku tidak produktif menuju produktif bagi kehidupan berbangsa
dan bernegeri, maka keIslaman kita niscaya menjadi jalan lurus dalam landasan
bertuhan, berbangsa, berbudaya dan berperadaban tanpa perlu meniru bangsa lain
melainkan harus mampu mengenali jati diri bangsa dari masa lalu, agar bisa
melangkah mantap menuju masa depan.
Usaha
mencapai Indonesia yang maju dalam peradaban dunia agar menjadi
kenyataan, maka perlu
mengembangkan jati diri bangsa yang kuat dan salah satunya usaha yaitu
mengembangkan kebudayaan yang bernilai luhur serta religius. Tentu dalam hal
ini diperlukan sinergi segenap komponen bangsa dalam proses
pembangunan dan sikap bangsa
Indonesia yang bangga terhadap identitas
budaya nasional yang dimiliki
karena Indonesia memiliki kekhasan budaya yang beraneka ragam (plural). Kemajemukan budaya yang ada di Indonesia dapat diarahkan
menjadi kekuatan besar serta wajib untuk diperhitungkan sebagai modal atau potensi
pembangunan bangsa, baik hal tersebut mencakup perbedaan suku, ras,
agama, dan sebagainya. Fakta ironis tentang
lemahnya ketahanan budaya yang sedang dihadapi bangsa Indonesiia
seringkali menjadi kendala hambatan dalam pembangunan nasional. Perbedaan
budaya justru dijadikan bahan untuk memperpecah bangsa, pertikaian antar suku, percecokan antar agama,
dan lain-lain. Maka hendaknya perlu mengembangkan kemampuan sinergi kebersamaan
dalam membangun keluasan berpikir yang matang, jernih, rasional serta tidak
mudah terprovokasi adanya berita hoaks yang tidak dapat
dipertanggung-jawabkan. Kemampuan dalam
memperkuat filter budaya dari luar Indonesia yang bersifat negatif sangat diperlukan dan kematangan
pertimbangan dalam mengadopsi
nilai-nilai universal yang
luhur dengan mengedepankan sikap
adaptif-kritis terhadap budaya negatif
serta memiliki kemampuan lebih dalam
mengadopsi budaya positif-produktif. Salah satu alternatif untuk mempersatukan
budaya yang ada di Indonesia adalah membangun peradaban bangsa yang mampu
mengimplementasikan serta memahami aturan mendasar hubungan Manusia dan
Tuhannya yaitu keagamaan. Tidak ada satupun agama di dunia ini yang mengajarkan
permusuhan. Ketentuan aturan bagi manusia selama tidak menyimpang dari
ketentuan agama yang dianutnya, pada penganut agama lainnya pasti diarahkan
untuk saling menghargai, menghormati, dan memberikan ruang gerak pada orang lain untuk memeluk agama nya masing-masing
tanpa adanya unsur
paksaan dari pemeluk agama lain. Dengan demikian, masing-masing pemeluk agama dapat menjalankan ritual agamanya
dengan rasa kedamaian sehingga akan menciptakan suasana kerukunan hidup antarumat
beragama yang harmonis, jauh dari pertikaian dan permusuhan.
Firman
Allah SWT dalam Q.S. al Hujurat/49: 13 secara jelas dikatakan
bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT. Bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar
saling kenal mengenal di antara sesama. Perbedaan yang
ada merupakan suatu kodrat dan
sunnatullah harus selalu
dijaga dan dipelihara
untuk kemaslahatan bersama. Perbedaan bukan berarti untuk melahirkan dan
menebarkan kebencian dan permusuhan. Dalam tafsir Abdillah al-Qurthubiy Suatu
ketika Rasulullah SAW menerima sejumlah pembesar delegasi dari Kristen
Najran bertamu di Masjid Nabawi. Ketika sampai saatnya untuk beribadah,
maka Rasulullah SAW memberi kesempatan kepada mereka beribadah. Bahkan, dengan
senang hati Nabi Muhammad SAW mengizinkan delegasi tersebut untuk beribadah di
Masjid Nabawi, inilah tanda bahwa syariat Islam
tidak menghalangi umat
agama lain melakukan ibadahnya, kalua perlu (dalam keadaan darurat) mereka diberi izin untuk beribadah
dalam masjid.
Konsep
moderasi beragama dibangun sebenarnya
mengedapankan ranah berpikir memahami agama bukan dalam artian sempit ataupun
sebaliknya terlalu bebas, Dalam kehidupan
bernegara, memelihara prinsip
moderasi beragama sangat penting
karena pada hakikatnya menjaga negara tetap kondusif.
Sebab kecenderungan pengamalan ajaran
agama yang berlebihan atau melampau batas, seringkali menyisakan klaim
kebenaran secara sepihak. Moderasi beragama bukan pula
diartikan secara bebas dengan dalih mengedepankan toleransi semaunya. Sikap saling menghormati antar pemeluk agama
yang berlainan dan hidup berdampingan dalam masyarakat yang majemuk dalam hal
ini tidak mencampuradukan hal-hal yang
berkaitan dengan i’tiqadiyah
atau akidah. seperti al-Walid bin al-Mughirah, Aswad bin
‘Abdul Muthalib, Umayyah bin Khalaf, datang kepada Rasul SAW.
Beberapa
tokoh kaum musyrikin di Mekah, menawarkan kompromi menyangkut pelaksanaan
tuntunan agama. Usul mereka adalah agar Nabi saw bersama umatnya mengikuti
kepercayaan mereka, dan mereka pun akan mengikuti ajaran Islam. “kami menyembah
Tuhanmu -hai Muhammad setahun dan kamu juga menyembah tuhan kami setahun. Kalau
agamamu benar, kami mendapatkan keuntungan karena kami juga menyembah Tuhanmu
dan jika agama kami benar, kamu juga tentu memperoleh keuntungan”. Mendengar
usul tersebut Nabi saw. men jawab tegas, “Aku berlindung kepada Allah dari segolongan orang-orang yang mempersekutukan Allah”.
Kisah
teladan tentamg kerukunan antar umat beragama dicontohkan ketika Umar bin Khattab
radhiallahu’anhu membebaskan dan
menaklukkan Yerussalem Palestina.
Beliau menjamin warganya agar
tetap bebas memeluk agama
dan membawa salib mereka. Umar tidak memaksakan mereka memluk Islam dan
menghalangi mereka untuk
beribadah, asalkan mereka tetap
membayar pajak kepada pemerintah Muslim.
Berbeda ketika bangsa dan agama lain mengusai, maka mereka melakukan
pembantaian. Umar bin Khattab juga memberikan kebebasan dan memberikan hak-hak
hukum dan perlindungan kepada penduduk Yerussalem walaupun mereka non muslim.
Di
Indonesia sendiri konsep membangun kerukunan bangsa melalui program Tri
kerukunan yang meliputi meliputi tiga kerukunan, yaitu: Kerukunan intern umat
beragama, Kerukunan antar umat beragama, dan Kerukunan antara umat beragama dan
pemerintah. Menipisnya semangat
nasionalisme bangsa juga sebagai akibat dari lemahnya kemampuan bangsa
dalam mengelola keragaman (pluralitas) yang menjadi ciri khas obyektif bangsa
Indonesia. Hal tersebut tersebut tercermin dari menguatnya kohesifitas
kelompok, etnik, dan agama, yang terkadang berujung pada konflik sosial dan
bahkan disintegrasi bangsa.
Sebagai akibatnya terjadi suatu proses degradasi terhadap semangat kejuangan
dan pengorbanan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
B.
Ketahanan Budaya, Ketahanan Nasional Serta Makna Moderasi Agama Dalam
Pembangunan Peradaban Bangsa Indonesia
Moderasi
beragama atau Islam yang rahmatan lil
`alamîn menekankan pentingnya toleransi
dan kebebasan beragama dalam kehidupan bersama, belajar dari kehidupan sosial-politik Nabi Muhammad SAW,
yang menakjubkan adalah pengalaman kehidupan bersama komunitas Madinah yang plural, dengan kesepakatan dalam
dokumen Piagam Madinah
(Mitsaq al-Madinah) yang sering disebut sebagai dokumen tertulis pertama di kalangan umat manusia yang mengakui kebebasan beragama. Eksperimen
Madinah itu, menyajikan kepada umat
manusia contoh tatanan sosial politik yang dibangun
atas dasar nir-kekerasan, perdamaian dan toleransi, dengan mengenalkan model pendelegasian
wewenang dan kehidupan berkonstitusi.
Muqowim
(2020) Ide pokok eksperimen Madinah ialah
adanya suatu tatanan sosial politik yang diperintah tidak oleh kemauan
pribadi, melainkan secara bersama-sama; tidak oleh prinsip-prinsip ad hoc
yang dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh
prinsip-prinsip yang dilembagakan dalam
dokumen yang disepakati oleh semua anggota masyarakat, yang dewasa ini biasa
disebut dengan “konstitusi.” Dokumen itu antara lain, memuat tentang
“wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, serta tanggung jawab
sosial dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama.
Dalam
mengimplementasikan nilai-nilai kesatuan wilayah, persatuan bangsa, dan
kemandirian bersumber dari NKRI yang dapat meningkatkan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara melalui beberapa tataran nilai Islam Washatiyyah (Niswa)
antara lain Tawassuth berarti sikap seperti wasit yang mampu
menyelesaikan persoalan berdasarkan rule of the game yang disepakati.. Tawazun
artinya kemampuan bersikap secara seimbang, tidak berat sebelah. Nilai ini
terkait dengan tawassuth. Ketika dihadapkan pada persoalan kita menggunakan
beragam sudut pandang atau perspektif,
terlebih persoalan yang melibatkan kita secara personal. Nilai Tasamuh terkait dengan
kemampuan bersikap toleran dan menghargai terhadap keragaman. Nilai ini mampu menempatkan kita sebagai pribadi yang menerima kemajemukan sebagai sebuah fakta yang
taken for granted dari Allah sehingga
perlu dikelola dan dirayakan secara positif. Secara sosial,
kita hidup dalam konteks masyarakat yang beragam sebab masyarakat terdiri dari
kumpulan individu yang unik dan berbeda. Kita tidak mungkin menyamakan mereka
sesuai dengan sudut pandang kita. Dalam
unit sosial terkecil pun, yakni keluarga, anggota keluarga kita mempunyai
keragaman yang harus kita pahami. Setiap orang mempunyai multiple identities yang perlu
dilihat secara utuh
menurut mereka. Munculnya banyak
prasangka, konflik, ketegangan, dan kerusuhan lebih disebabkan adanya “the
clash of ignorances”, benturan ketidaktahuan, kita belum mengenal dan memahami
identitas yang dimiliki orang lain.
Nilai
Musawah terkait dengan “equal before God”, sama di hadapan Allah. Setiap
orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Allah. Yang paling
membedakan satu orang dengan orang lain, menurut QS al-Hujurat ayat 13, adalah
kualitas ketaqwaannya, “the best in conduct”. Rasulullah pernah
mengingatkan dalam sabdanya, “sesungguhnya Allah tidak akan melihat kamu dari
wajah dan fisik namun Allah melihat kamu sekalian dari hati dan amal.”. Di
dalam hadist lain Rasulullah pernah bersabda, “bukanlah disebut orang kaya yang
banyak hartanya, namun yang disebut dengan orang
kaya adalah yang kaya hati”. Dengan nilai musawah, kita akan mampu
memperlakukan orang lain secara egaliter. Kita tidak mungkin bersikap
diskriminatif apalagi menindas pihak lain. Nilai ini berkaitan dengan Ishlah.
Dengan ishlah kita mampu melakukan perbaikan, mendamaikan berbagai pihak yang
sedang berkonflik, dan melakukan reformasi terhadap berbagai persoalan khususnya
pendidikan. Melalui nilai ishlah, kita selalu meningkatkan kualitas diri
menjadi lebih baik dan positif. Orang yang mempunyai nilai ini lebih senang
membangun daripada merusak.
Nilai
Syura terkait dengan kemampuan bersikap demokratis terhadap perbedaan dan
keragaman pandangan. Setiap menghadapi persoalan yang menyangkut hajat hidup
orang banyak dilakukan dengan cara musyawarah, menghargai pendapat dan gagasan
orang lain terhadap persoalan tersebut. Orang yang mempunyai nilai ini tidak
akan bersikap egois apalagi arogan. Nilai ini mendorong kita untuk lebih
mendengar dan memahami orang lain yang berbeda. Nilai syura ini berhubungan dengan nilai I’tidal,
yaitu kemampuan menempatkan sesuatu pada tempatnya, adil. Bersikap tegak lurus
merupakan ciri lain dari i’tidal, tidak melenceng dari tujuan dan arah yang
telah disepakati. Orang yang keluar dari kesepakatan bersama akan menimbulkan persoalan sosial.
Nilai ini berkaitan dengan tahadlur, mempunyai keadaban publik (public
civility).
Nilai
Tahadlur mendorong kita sebagai positive trendsetter
sehingga diikuti oleh orang lain. Kita mampu membuat perubahan di tengah
masyarakat, sebagai change agent, bukan part of the problem, apalagi trouble
maker. Nilai selanjutnya yang sangat penting diterapkan dalam kehidupan adalah
Aulawiyyah. Orang yang mempunyai nilai ini antara lain ditandai oleh kemampuan
membuat prioritas dalam bersikap. Dia mampu membuat peta dan skala prioritas
tentang mana yang harus didahulukan dan mana yang tidak. Nilai ini mendorong
kita mempunyai sense of urgency dan sense of crisis.. Nilai ini
hanya dapat diwujudkan jika kita mempunyai tujuan hidup sebab dengan tujuan
tersebut kita akan melangkah sesuai dengan rencana yang telah dibuat, tidak
asal melangkah.
Nilai
ini sangat relevan dengan Ibtikar dan Tathawwur. Ibtikar terkait dengan
pentingnya kreatifitas dan inovasi. Orang yang mempunyai mimpi dan tujuan
jelas, akan banyak melakukan terobosan kreatif. Dia tidak akan pantang menyerah
karena kegagalan yang dialami. Hidup dia akan dinamis (tathawwur). Nilai
tathawwur menjadikan kita mampu menghadapi setiap persoalan dan tantangan
hidup secara kreatif. Nilai selanjutnya
yaitu Muwathanah yang kurang lebih
berarti nasionalisme. Nilai
tersebut sangat diperlukan saat ini sebagai identitas bangsa. Di saat
kita menghadapi kontestasi dan benturan antar identitas, nilai ini menjadi
“faktor pembeda” kita dengan identitas bangsa lain, sebab bangsa Indonesia mempunyai
keunikan dan keistimewaan. Nilai ini mendorong kita mempunyai kesadaran
konstitusional, ketika melangkah dalam konteks kebangsaan yang dikedepankan
adalah kepentingan bangsa, bukan
individu atau kelompok. Yang menjadi payung bersama adalah konstitusi yang
telah disepakati bersama. Pancasila menjadi
common ground bagi setiap warga bangsa. Terahkir tentang nilai Qudwatiyyah terkait dengan kepeloporan atau uswatun
hasanah. Bangsa Indonesia membutuhkan
banyak teladan yang dapat dijadikan sebagai contoh dan acuan dalam melangkah.
Dari
beberapa uraian mengulas kembali beberapa naskah yang terkumpul dalam buku Moderasi
Beragama di Indonesia Jilid 4 memberikan gambaran tentang makna moderasi
beragama dan keaneka ragaman khasanah budaya serta memupuk rasa nasionalisme
bangsa. Bagi kalangan Muslim, agama dan nasionalisme tidak bertentangan. Bahkan sebaliknya, Islam
mengajarkan rasa cinta kepada tanah air serta ketundukan kepada pemerintah selama ia tidak
melenceng dari akidah keagamaan. Pada hakikatnya cinta tanah air merupakan merupakan konsepsi pembangunan nasional dalam pencapaian
tujuan dan cita-cita bangsa yang berisi ketangguhan serta keuletan dan
kemampuan bangsa untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala
macam dan bentuk ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan baik yang datang
dari dalam maupun luar, yang mengancam dan membahayakan integritas, identitas
serta kelangsungan hidup bangsa dan negara.
Nasionalisme,
tidak dapat terlepas dari bayang-bayang pengaruh perpecahan dengan melihat berbagai perbedaan atau kemajemukan
bangsa Indonesia yang terdiri suku, agama, dan budaya sehingga perlu membangung
konsep keseimbangan dan saling keterkaitan antar satu dengan lainnya serta membangun
system ketahanan yang bersifat kesemestaan, mencerminkan adanya keterhubungan
yang kuat antara kondisi-kondisi tersebut (agama dan budaya) dengan ketahan
nasional secara menyeluruh. Menurut
Notonagoro, seorang ahli filsafat dan hukum dari Universitas Gajah Mada,
nasionalisme dalam konteks Pancasila bersifat “majemuk tunggal” (bhinneka tunggal ika). Unsur-unsur yang
membentuk nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut:
a.
Kesatuan Sejarah. yaitu kesatuan yang dibentuk dalam perjalanan sejarahnya yang
panjang sejak zaman Sriwijaya, Majapahit dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam
hingga akhirnya muncul penjajahan VOC dan Belanda. Secara terbuka nasionalisme
mula pertama dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan mencapai
puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
b.
Kesatuan Nasib. Bangsa Indonesia terbentuk karena memiliki persamaan nasib,
yaitu penderitaan selama masa penjajahan dan perjuangan merebut kemerdekaan
secara terpisah dan bersama-sama.
c.
Kesatuan Kebudayaan. Walaupun bangsa Indonesia memiliki keragaman kebudayaan
dan menganut agama yang berbeda, namun keseluruhannya itu merupakan satu
kebudayaan yang serumpun dan mempunyai kaitan dengan agama-agama besar yang
dianut bangsa Indonesia.
d.
Kesatuan Wilayah. Bangsa ini hidup dan mencari penghidupan di wilayah yang sama
yaitu tumpah darah Indonesia.
e.
Kesatuan Asas Kerohanian. Bangsa ini memiliki kesamaan cia-cita, pandangan
hidup dan falsafah kenegaraan yang berakar dalam pandangan hidup masyarakat
Indonesia sendiri di masa lalu maupun pada masa kini. (diakses dari situs
https://kemhan.go.id pada tanggal 19 februari 2021)
Jelas
diuraikan bahwa kajian Pancasila sebagai perekat kemajemukan, yang terdiri
salah satunya penjelasan budaya dan agama, tentunya akan sangat berperan dan
harus dijadikan landasan berpegang dalam membangun peradaban bangsa Indonesia pada persaingan
global sekarang. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang moderat dan tidak terjebaknya pada budaya negatif
akan menetukan kualitas Pertahanan
Negara, baik di masa damai maupun dalam masa perang. Hubungan agama dan budaya sendiri sangat erat
menjadikan warna karakter bangsa di Indonesia, fenomena mengkhawatirkan
seringkali hadir mengancam keutuhan dan persatuan bangsa, hal ini bisa juga
diakibatkan kondisi kehidupan keagamaan di Indonesia yang dipengaruhi berbagai factor
bahkan dapat menambah memperuncing permasalahan di masyarakat diantaranya
faktor sosial dan budaya, seperti perbedaan tingkat pendidikan, perbedaan
tingkat sosial ekonomi, perbedaan latar belakang budaya, serta perbedaan suku dan daerah asal.
Kerukunan
umat beragama akan terbangun dan terpelihara
dengan baik apabila mampu memahami agama
secara luas dan tidak sempit. Wacana penguatan kearifan lokal dalam mengatasi
pergeseran nilai-nilai budaya dan agama, bukanlah sesuatu hal yang baru dalam
mengatasi problematika keseharian masyarakat. Indonesia sebagai salah satu
negara terbesar yang memiliki warisan kebudayaan memiliki peran yang cukup
penting dalam memindahkan unsur-unsur kebudayaan dari generasi ke generasi
guna memelihara identitas dan melawan
pengaruh dari luar
yang mengandung kekerasan maupun kebebasan tanpa memperhatikan norma
kesantunan.
Dengan
adanya kearifan local maka bangsa Indonesia dikenal dengan bangsa yang ramah, rukun, damai, dan saling menghargai perbedaan
satu sama lainnya akan tetap terjaga. Nilai kearifan lokal akan memiliki makna
apabila tetap menjadi rujukan dalam mengatasi setiap dinamika kehidupan sosial, lebih-lebih lagi
dalam menyikapi berbagai perbedaan yang rentan menimbulkan konflik. Keberadaan
nilai kearifan lokal justru akan diuji
ditengah-tengah kehidupan sosial yang dinamis
sehingga menjadi aset utama
dalam menciptakan ketahanan
nasional.
Hubungan
tergambar dalam istilah
dimasyarakat pada umumnya, bahwa agama adalah produk
langit dan budaya adalah produk bumi. Agama dengan tegas
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia
dengan manusia. Sementara budaya memberi ruang gerak manusia untuk senantiasa mengembangkan cipta, rasa, karsa dan
karyanya. Terpenting diketahui agama maupun budaya memiliki tujuan yang sama,
yakni untuk menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan , peradaban masyarakat yang
baik dan berkeadilan.
C.
Penutup
Menjadi
pahlawan bangsa, terutama dalam bertindak maupun bersikap dilandasi moderasi
beragama seperti proaktif, goalsetting,
prioritas, menang bersama, mendahulukan menghargai orang lain, sinergi, dan
mengasah diri terus-menerus sangat penting dibutuhkan dalam membangun bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang besar. Terpenting diketahui bahwa radikalisme beragama bukanlah monopoli sebuah agama tertentu. Dalam semua agama, hampir bisa
dipastikan ada kelompok yang cara beragamanya secara radikal atau sebaliknya Liberal penuh
kebebasan semaunya sendiri,
Ideologisasi,
identifikasi dan legitimasi
memang sangat mungkin
menimbulkan kerentanan perpecahan bangsa.
Oleh karenanya dibutuhkan tali pengikat yang mampu menyatukannya, salah satu
strategi yang bisa digunakan adalah dengan menumbuhkan kesadaran dan memupuk
rasa cinta kepada tanah air, atau apa yang kemudian disebut sebagai
nasionalisme. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, ada banyak pihak yang
seharusnya terlibat dalam implementasi moderasi beragama di Indonesia seperti keluarga, sekolah/madrasah, pemerintah, tokoh masyarakat dan agama, instasi
pemerintah, dll. Sinergi berarti kemampuan seseorang dalam membangun
kebersamaan dan melihat orang lain dari aspek kelebihan. Dalam sinergi
kelemahan dapat diubah sebagai kelebihan selanjutnya kelebihan dan potensi yang
miliki tersebut kemudian diolah menjadi sebuah kekuatan bersama membangun
peradaban bangsa dan negara Indonesia.
Moderasi
beragama yang saat ini dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa dan masyarakat
global mensyaratkan perspektif beragam dalam memahami ajaran agama. Munculnya pemahaman yang cenderung menganggap kelompoknya paling
benar dan menganggap pihak lain sebagai salah merupakan cermin perspektif
tunggal yang digunakan kelompok tersebut dalam melihat persoalan, jika
dibiarkan begitu saja secara berulang terjadi maka akan memunculkan benturan
antar perspektif dalam kehidupan
berbangsa. Sedangkan ketika perbedaan sudut pandang hadir dilandasi spirit
untuk belajar dengan berbagai pihak yang mempunyai sudut pandang beragam serta
tidak hanya menganggap dirinya paling benar, maka hal tersebut perlu
diapresiasi, karena sikap tersebut akan menghasilkan wawasan berbangsa yang
dinamis dan harmonis.
Jika
dikembalikan pada nilai tertinggi dari ajaran Islam, yakni rahmatan-lil-‘alamin
mensyaratkan kemampuan mengendalikan diri
dan menghargai beragam pendapat. Kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang
lain, patut kita renungkan dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari terutama ketika
kita hidup di ruang publik yang heterogen. Dalam konteks masyarakat majemuk
kita perlu lebih memahami ajaran Islam dari berbagai pendekatan sehingga ketika
menghadapi persoalan, jawaban dan cara kita memecahkannya tidak terjebak pada model
binary opposition, hitam putih semata,
sebab ada banyak variabel yang harus kita gunakan dalam melihat persoalan.
Daftar
Pustaka
Muqowim
(2020). Moderasi Beragama di Indonesia Jilid 4 Upaya Rekonstruksi Melalui
Pendidikan. Bandung: Azkiya Publishing
Tafsir
Al-Qurthubi 20: 225 .Cet . II. Darul Kutub al-Mishriyyah, 1386 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar diharapkan bersifat membangun dalam rangka pengembangan keilmuan Bimbingan dan Konseling. Kami sampaikan terima kasih