Kamis, 24 Juni 2021

Ketahanan Budaya, Ketahanan Nasional Serta Makna Moderasi Agama Dalam Pembangunan Peradaban Bangsa Indonesia

Ketahanan Budaya, Ketahanan Nasional Serta  Makna Moderasi Agama Dalam Pembangunan Peradaban Bangsa Indonesia

(Dwi Atmaja, S.Pd, M.Psi)

 

A.        Pendahuluan

Membicarakan sekilas tentang perkembangan Moderasi Beragama di Indonesia setidaknya tujuan utama yang mendasari program hadir  untuk menciptakan  kerukunan umat beragama di Indonesia dengan  memahami makna agama pada masing-masing pemeluknya secara mendalam dan luas, sehingga dapat dijadikan sebagai bagian modal untuk membangun negara kesatuan Indonesia, Muqowim (2020)  dalam kerangka eksistensialis mempertegas keyakinan, bahwa agama bukanlah instrumen persaingan, melainkan instrumen  kepeloporan. Agama yang hanif tidak hanya sibuk untuk melahirkan pedoman ethis, namun agama menyuguhkan gelora ethos kepada penganutnya. Agama yang hanif tidak hanya memuat aturan, melainkan memuat banyak kebijakan dan inspirasi untuk maju ke depan, keluar dari kubangan nestapa kehidupan. Kebijakan-kebijakan yang dihadirkan oleh agama hanif, bukanlah  reaksi  idealis yang dilahirkan dari kondisi sejarah dan  lingkungan budaya manusia.  Agama yang hanif, meneruskan kebijakan-kebijakan perennial yang menghubungkan anak tangga peradaban. Dengan menggeser perilaku tidak produktif menuju produktif bagi kehidupan berbangsa dan bernegeri, maka keIslaman kita niscaya menjadi jalan lurus dalam landasan bertuhan, berbangsa, berbudaya dan berperadaban tanpa perlu meniru bangsa lain melainkan harus mampu mengenali jati diri bangsa dari masa lalu, agar bisa melangkah mantap menuju masa depan.


Usaha mencapai Indonesia yang maju dalam peradaban dunia agar  menjadi  kenyataan, maka  perlu mengembangkan jati diri bangsa yang kuat dan salah satunya usaha yaitu mengembangkan kebudayaan yang bernilai luhur serta religius. Tentu dalam hal ini diperlukan sinergi segenap komponen bangsa dalam  proses  pembangunan dan sikap  bangsa Indonesia yang bangga terhadap identitas  budaya nasional  yang  dimiliki  karena Indonesia memiliki kekhasan budaya yang  beraneka ragam (plural). Kemajemukan  budaya yang ada di Indonesia dapat diarahkan menjadi kekuatan besar serta wajib untuk diperhitungkan sebagai modal atau  potensi  pembangunan bangsa, baik hal tersebut mencakup perbedaan suku, ras, agama, dan sebagainya. Fakta ironis tentang  lemahnya ketahanan budaya yang sedang dihadapi bangsa Indonesiia seringkali menjadi kendala hambatan dalam pembangunan nasional. Perbedaan budaya justru dijadikan bahan untuk memperpecah bangsa,  pertikaian antar suku, percecokan antar agama, dan lain-lain. Maka hendaknya perlu mengembangkan kemampuan sinergi kebersamaan dalam membangun keluasan berpikir yang matang, jernih, rasional serta tidak mudah terprovokasi adanya berita hoaks yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan.  Kemampuan dalam memperkuat filter budaya dari luar Indonesia yang bersifat negatif  sangat diperlukan dan kematangan pertimbangan  dalam mengadopsi nilai-nilai  universal  yang  luhur  dengan mengedepankan sikap adaptif-kritis  terhadap budaya negatif serta memiliki kemampuan lebih  dalam mengadopsi budaya positif-produktif. Salah satu alternatif untuk mempersatukan budaya yang ada di Indonesia adalah membangun peradaban bangsa yang mampu mengimplementasikan serta memahami aturan mendasar hubungan Manusia dan Tuhannya yaitu keagamaan. Tidak ada satupun agama di dunia ini yang mengajarkan permusuhan. Ketentuan aturan bagi manusia selama tidak menyimpang dari ketentuan agama yang dianutnya, pada penganut agama lainnya pasti diarahkan untuk  saling menghargai,  menghormati, dan  memberikan ruang  gerak pada orang lain  untuk memeluk agama nya masing-masing tanpa  adanya  unsur  paksaan  dari  pemeluk agama lain.  Dengan demikian, masing-masing pemeluk  agama dapat menjalankan ritual agamanya dengan rasa kedamaian sehingga akan menciptakan suasana kerukunan hidup antarumat beragama yang harmonis, jauh dari pertikaian dan permusuhan.

Firman Allah SWT   dalam  Q.S. al Hujurat/49: 13 secara jelas dikatakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT. Bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling kenal mengenal di antara sesama. Perbedaan  yang  ada merupakan  suatu kodrat dan sunnatullah  harus  selalu  dijaga  dan  dipelihara  untuk kemaslahatan bersama. Perbedaan bukan berarti untuk melahirkan dan menebarkan kebencian dan permusuhan. Dalam tafsir Abdillah al-Qurthubiy Suatu ketika Rasulullah SAW menerima sejumlah pembesar delegasi dari  Kristen  Najran bertamu di Masjid Nabawi. Ketika sampai saatnya untuk beribadah, maka Rasulullah SAW memberi kesempatan kepada mereka beribadah. Bahkan, dengan senang hati Nabi Muhammad SAW mengizinkan delegasi tersebut untuk beribadah di Masjid Nabawi, inilah tanda bahwa syariat Islam  tidak  menghalangi  umat  agama  lain melakukan  ibadahnya, kalua  perlu (dalam keadaan darurat) mereka  diberi izin untuk  beribadah  dalam masjid. 

Klik

Konsep moderasi beragama  dibangun sebenarnya mengedapankan ranah berpikir memahami agama bukan dalam artian sempit ataupun sebaliknya terlalu bebas,  Dalam  kehidupan  bernegara,  memelihara  prinsip  moderasi  beragama sangat  penting  karena  pada  hakikatnya menjaga negara tetap kondusif. Sebab kecenderungan  pengamalan  ajaran   agama yang berlebihan atau melampau batas, seringkali menyisakan  klaim  kebenaran  secara  sepihak. Moderasi beragama bukan pula diartikan secara bebas dengan dalih mengedepankan toleransi semaunya.  Sikap saling menghormati antar pemeluk agama yang berlainan dan hidup berdampingan dalam masyarakat yang majemuk dalam hal ini tidak  mencampuradukan hal-hal  yang  berkaitan  dengan  i’tiqadiyah  atau  akidah.  seperti al-Walid bin al-Mughirah, Aswad bin ‘Abdul Muthalib, Umayyah bin Khalaf, datang kepada Rasul SAW.

Beberapa tokoh kaum musyrikin di Mekah, menawarkan kompromi menyangkut pelaksanaan tuntunan agama. Usul mereka adalah agar Nabi saw bersama umatnya mengikuti kepercayaan mereka, dan mereka pun akan mengikuti ajaran Islam. “kami menyembah Tuhanmu -hai Muhammad setahun dan kamu juga menyembah tuhan kami setahun. Kalau agamamu benar, kami mendapatkan keuntungan karena kami juga menyembah Tuhanmu dan jika agama kami benar, kamu juga tentu memperoleh keuntungan”. Mendengar usul tersebut Nabi saw. men jawab tegas, “Aku berlindung kepada Allah dari  segolongan orang-orang yang  mempersekutukan  Allah”.

Kisah teladan tentamg kerukunan antar umat beragama dicontohkan ketika Umar bin Khattab radhiallahu’anhu  membebaskan  dan  menaklukkan Yerussalem Palestina.  Beliau  menjamin warganya agar tetap bebas  memeluk  agama  dan membawa salib mereka. Umar tidak memaksakan mereka memluk Islam dan menghalangi  mereka  untuk  beribadah, asalkan  mereka tetap membayar pajak kepada pemerintah Muslim.  Berbeda ketika bangsa dan agama lain mengusai, maka mereka melakukan pembantaian. Umar bin Khattab juga memberikan kebebasan dan memberikan hak-hak hukum dan perlindungan kepada penduduk Yerussalem walaupun mereka non muslim.

Di Indonesia sendiri konsep membangun kerukunan bangsa melalui program Tri kerukunan yang meliputi meliputi tiga kerukunan, yaitu: Kerukunan intern umat beragama, Kerukunan antar umat beragama, dan Kerukunan antara umat beragama dan pemerintah.  Menipisnya semangat nasionalisme bangsa  juga  sebagai akibat dari lemahnya kemampuan bangsa dalam mengelola keragaman (pluralitas) yang menjadi ciri khas obyektif bangsa Indonesia. Hal tersebut tersebut tercermin dari menguatnya kohesifitas kelompok, etnik, dan agama, yang terkadang berujung pada konflik sosial  dan  bahkan  disintegrasi bangsa. Sebagai akibatnya terjadi suatu   proses degradasi terhadap semangat kejuangan dan pengorbanan dalam  kehidupan  berbangsa  dan  bernegara.

B. Ketahanan Budaya, Ketahanan Nasional Serta Makna Moderasi Agama Dalam Pembangunan Peradaban Bangsa Indonesia

Moderasi  beragama atau Islam yang rahmatan lil `alamîn menekankan pentingnya  toleransi dan kebebasan beragama dalam kehidupan bersama, belajar dari  kehidupan sosial-politik Nabi Muhammad SAW, yang menakjubkan adalah pengalaman kehidupan bersama komunitas  Madinah yang plural, dengan kesepakatan dalam  dokumen  Piagam  Madinah (Mitsaq al-Madinah) yang sering disebut sebagai dokumen tertulis  pertama di kalangan umat manusia yang  mengakui kebebasan beragama. Eksperimen Madinah itu, menyajikan  kepada umat manusia contoh  tatanan sosial politik  yang  dibangun  atas  dasar  nir-kekerasan,  perdamaian  dan  toleransi, dengan  mengenalkan  model  pendelegasian  wewenang dan kehidupan berkonstitusi.

Muqowim (2020) Ide pokok eksperimen  Madinah  ialah  adanya  suatu  tatanan  sosial politik yang  diperintah  tidak oleh  kemauan  pribadi, melainkan  secara  bersama-sama; tidak oleh prinsip-prinsip ad hoc yang dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip-prinsip yang dilembagakan  dalam dokumen yang disepakati oleh semua anggota masyarakat, yang dewasa ini biasa disebut  dengan  “konstitusi.”   Dokumen itu antara lain, memuat tentang “wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama.

Dalam mengimplementasikan nilai-nilai kesatuan wilayah, persatuan bangsa, dan kemandirian bersumber dari NKRI yang dapat meningkatkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara melalui beberapa  tataran nilai Islam Washatiyyah  (Niswa)  antara lain Tawassuth berarti sikap seperti wasit yang mampu menyelesaikan persoalan berdasarkan rule of the game yang disepakati.. Tawazun artinya kemampuan bersikap secara seimbang, tidak berat sebelah. Nilai ini terkait dengan tawassuth. Ketika dihadapkan pada  persoalan  kita  menggunakan  beragam sudut pandang atau perspektif, terlebih persoalan yang melibatkan kita secara  personal. Nilai Tasamuh terkait dengan kemampuan bersikap toleran dan menghargai terhadap keragaman. Nilai ini mampu  menempatkan  kita sebagai pribadi  yang  menerima kemajemukan sebagai sebuah fakta yang taken for granted  dari Allah sehingga perlu dikelola dan dirayakan secara positif.  Secara  sosial, kita hidup dalam konteks masyarakat yang beragam sebab masyarakat terdiri dari kumpulan individu yang unik dan berbeda. Kita tidak mungkin menyamakan mereka sesuai  dengan sudut pandang kita. Dalam unit sosial terkecil pun, yakni keluarga, anggota keluarga kita mempunyai keragaman yang harus kita pahami. Setiap orang mempunyai multiple identities  yang  perlu  dilihat  secara  utuh  menurut mereka. Munculnya banyak prasangka, konflik, ketegangan, dan kerusuhan lebih disebabkan adanya “the clash of ignorances”, benturan ketidaktahuan, kita belum mengenal dan memahami identitas yang dimiliki orang lain.

Nilai Musawah terkait dengan “equal before God”, sama di hadapan Allah. Setiap orang mempunyai  kedudukan  yang sama di hadapan Allah. Yang paling membedakan satu orang dengan orang lain, menurut QS al-Hujurat ayat 13, adalah kualitas ketaqwaannya, “the best in conduct”. Rasulullah pernah mengingatkan dalam sabdanya, “sesungguhnya Allah tidak akan melihat kamu dari wajah dan fisik namun Allah melihat kamu sekalian dari hati dan amal.”. Di dalam hadist lain Rasulullah pernah bersabda, “bukanlah disebut orang kaya yang banyak hartanya, namun  yang  disebut  dengan  orang kaya adalah yang kaya hati”. Dengan nilai musawah, kita akan mampu memperlakukan orang lain secara egaliter. Kita tidak mungkin bersikap diskriminatif apalagi menindas pihak lain. Nilai ini berkaitan dengan Ishlah. Dengan ishlah kita mampu melakukan perbaikan, mendamaikan berbagai pihak yang sedang berkonflik, dan melakukan  reformasi  terhadap berbagai persoalan khususnya pendidikan. Melalui nilai ishlah, kita selalu meningkatkan kualitas diri menjadi lebih baik dan positif. Orang yang mempunyai nilai ini lebih senang membangun daripada merusak.

Nilai Syura terkait dengan  kemampuan  bersikap demokratis terhadap perbedaan dan keragaman pandangan. Setiap menghadapi persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dilakukan dengan cara musyawarah, menghargai pendapat dan gagasan orang lain terhadap persoalan tersebut. Orang yang mempunyai nilai ini tidak akan bersikap egois apalagi arogan. Nilai ini mendorong kita untuk lebih mendengar dan memahami orang lain yang berbeda.  Nilai  syura ini berhubungan dengan nilai I’tidal, yaitu kemampuan menempatkan  sesuatu  pada tempatnya, adil. Bersikap tegak lurus merupakan ciri lain dari i’tidal, tidak melenceng dari tujuan dan arah yang telah disepakati. Orang yang keluar dari  kesepakatan  bersama akan menimbulkan persoalan sosial. Nilai ini berkaitan dengan tahadlur, mempunyai keadaban publik (public civility).

Nilai  Tahadlur  mendorong kita sebagai positive trendsetter sehingga diikuti oleh orang lain. Kita mampu membuat perubahan di tengah masyarakat, sebagai change agent, bukan part of the problem, apalagi trouble maker. Nilai selanjutnya yang sangat penting diterapkan dalam kehidupan adalah Aulawiyyah. Orang yang mempunyai nilai ini antara lain ditandai oleh kemampuan membuat prioritas dalam bersikap. Dia mampu membuat peta dan skala prioritas tentang mana yang harus didahulukan dan mana yang tidak. Nilai ini mendorong kita mempunyai sense of urgency dan sense of crisis.. Nilai ini hanya dapat diwujudkan jika kita mempunyai tujuan hidup sebab dengan tujuan tersebut kita akan melangkah sesuai dengan rencana yang telah dibuat, tidak asal melangkah.

Nilai ini sangat relevan dengan Ibtikar dan Tathawwur. Ibtikar terkait dengan pentingnya kreatifitas dan inovasi. Orang yang mempunyai mimpi dan tujuan jelas, akan banyak melakukan terobosan kreatif. Dia tidak akan pantang menyerah karena kegagalan yang dialami. Hidup dia akan dinamis (tathawwur). Nilai tathawwur menjadikan  kita  mampu  menghadapi setiap persoalan dan tantangan hidup secara kreatif.  Nilai selanjutnya yaitu Muwathanah yang kurang lebih  berarti  nasionalisme.  Nilai  tersebut sangat diperlukan saat ini sebagai identitas bangsa. Di saat kita menghadapi kontestasi dan benturan antar identitas, nilai ini menjadi “faktor pembeda” kita dengan identitas bangsa lain, sebab bangsa Indonesia mempunyai keunikan dan keistimewaan. Nilai ini mendorong kita mempunyai kesadaran konstitusional, ketika melangkah dalam konteks kebangsaan yang dikedepankan adalah  kepentingan bangsa, bukan individu atau kelompok. Yang menjadi payung bersama adalah konstitusi yang telah disepakati bersama. Pancasila menjadi  common ground bagi setiap warga bangsa. Terahkir tentang  nilai Qudwatiyyah  terkait dengan kepeloporan atau uswatun hasanah. Bangsa Indonesia  membutuhkan banyak teladan yang dapat dijadikan sebagai contoh dan acuan dalam melangkah.

Dari beberapa uraian mengulas kembali beberapa naskah yang terkumpul dalam buku Moderasi Beragama di Indonesia Jilid 4 memberikan gambaran tentang makna moderasi beragama dan keaneka ragaman khasanah budaya serta memupuk rasa nasionalisme bangsa. Bagi kalangan Muslim, agama dan nasionalisme  tidak bertentangan. Bahkan sebaliknya, Islam mengajarkan rasa cinta  kepada  tanah  air serta  ketundukan kepada pemerintah selama ia tidak melenceng dari akidah keagamaan. Pada hakikatnya cinta tanah air  merupakan merupakan  konsepsi pembangunan nasional dalam pencapaian tujuan dan cita-cita bangsa yang berisi ketangguhan serta keuletan dan kemampuan bangsa untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala macam dan bentuk ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan baik yang datang dari dalam maupun luar, yang mengancam dan membahayakan integritas, identitas serta kelangsungan hidup bangsa dan negara.

Nasionalisme, tidak dapat terlepas dari  bayang-bayang  pengaruh perpecahan dengan  melihat berbagai perbedaan atau kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri suku, agama, dan budaya sehingga perlu membangung konsep keseimbangan  dan  saling keterkaitan  antar satu dengan lainnya serta membangun system ketahanan yang bersifat kesemestaan, mencerminkan adanya keterhubungan yang kuat antara kondisi-kondisi tersebut (agama dan budaya) dengan ketahan nasional  secara menyeluruh. Menurut Notonagoro, seorang ahli filsafat dan hukum dari Universitas Gajah Mada, nasionalisme dalam konteks Pancasila bersifat “majemuk tunggal”  (bhinneka tunggal ika). Unsur-unsur yang membentuk nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Kesatuan Sejarah. yaitu kesatuan yang dibentuk dalam perjalanan sejarahnya yang panjang sejak zaman Sriwijaya, Majapahit dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam hingga akhirnya muncul penjajahan VOC dan Belanda. Secara terbuka nasionalisme mula pertama dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.

b. Kesatuan Nasib. Bangsa Indonesia terbentuk karena memiliki persamaan nasib, yaitu penderitaan selama masa penjajahan dan perjuangan merebut kemerdekaan secara terpisah dan bersama-sama.

c. Kesatuan Kebudayaan. Walaupun bangsa Indonesia memiliki keragaman kebudayaan dan menganut agama yang berbeda, namun keseluruhannya itu merupakan satu kebudayaan yang serumpun dan mempunyai kaitan dengan agama-agama besar  yang  dianut  bangsa  Indonesia.

d. Kesatuan Wilayah. Bangsa ini hidup dan mencari penghidupan di wilayah yang sama yaitu tumpah darah Indonesia.

e. Kesatuan Asas Kerohanian. Bangsa ini memiliki kesamaan cia-cita, pandangan hidup dan falsafah kenegaraan yang berakar dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri di masa lalu maupun pada masa kini. (diakses dari situs https://kemhan.go.id pada tanggal 19 februari 2021)

Jelas diuraikan bahwa kajian Pancasila sebagai perekat kemajemukan, yang terdiri salah satunya penjelasan budaya dan agama, tentunya akan sangat berperan dan harus dijadikan landasan berpegang dalam membangun peradaban bangsa Indonesia  pada  persaingan global sekarang. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang moderat dan  tidak  terjebaknya  pada  budaya  negatif  akan menetukan kualitas Pertahanan Negara, baik di masa damai maupun dalam masa perang.  Hubungan agama dan budaya sendiri sangat erat menjadikan warna karakter bangsa di Indonesia, fenomena mengkhawatirkan seringkali hadir mengancam keutuhan dan persatuan bangsa, hal ini bisa juga diakibatkan kondisi kehidupan keagamaan di Indonesia yang dipengaruhi berbagai factor bahkan dapat menambah memperuncing permasalahan di masyarakat diantaranya faktor sosial dan budaya, seperti perbedaan tingkat pendidikan, perbedaan tingkat sosial  ekonomi, perbedaan  latar belakang budaya, serta perbedaan  suku dan daerah asal.

Kerukunan umat beragama akan terbangun dan  terpelihara dengan baik apabila mampu memahami  agama secara luas dan tidak sempit. Wacana penguatan kearifan lokal dalam mengatasi pergeseran nilai-nilai budaya dan agama, bukanlah sesuatu hal yang baru dalam mengatasi problematika keseharian masyarakat. Indonesia sebagai salah satu negara terbesar yang memiliki warisan kebudayaan memiliki peran yang cukup penting  dalam  memindahkan unsur-unsur kebudayaan  dari  generasi  ke  generasi  guna  memelihara  identitas  dan  melawan  pengaruh  dari  luar yang mengandung kekerasan maupun kebebasan tanpa memperhatikan norma kesantunan.

Dengan  adanya  kearifan local  maka bangsa  Indonesia  dikenal  dengan bangsa yang ramah,  rukun, damai, dan saling menghargai perbedaan satu sama lainnya akan tetap terjaga. Nilai kearifan lokal akan memiliki makna apabila tetap menjadi rujukan dalam  mengatasi  setiap  dinamika kehidupan sosial, lebih-lebih lagi dalam menyikapi berbagai perbedaan yang rentan menimbulkan konflik. Keberadaan nilai  kearifan lokal justru akan diuji ditengah-tengah kehidupan sosial yang dinamis  sehingga  menjadi aset  utama  dalam  menciptakan  ketahanan  nasional.

Hubungan  tergambar  dalam  istilah dimasyarakat pada umumnya,  bahwa  agama  adalah  produk langit dan budaya adalah produk bumi. Agama  dengan  tegas  mengatur  hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.  Sementara  budaya memberi ruang gerak  manusia untuk senantiasa  mengembangkan cipta, rasa,  karsa dan  karyanya.  Terpenting  diketahui  agama maupun budaya memiliki tujuan yang sama, yakni untuk menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan , peradaban masyarakat yang baik  dan berkeadilan.

C. Penutup

Menjadi pahlawan bangsa, terutama dalam bertindak maupun bersikap dilandasi moderasi beragama seperti  proaktif, goalsetting, prioritas, menang bersama, mendahulukan menghargai orang lain, sinergi, dan mengasah diri terus-menerus sangat penting dibutuhkan  dalam membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar. Terpenting diketahui bahwa  radikalisme beragama  bukanlah  monopoli  sebuah  agama  tertentu. Dalam semua agama, hampir bisa dipastikan ada kelompok yang cara beragamanya  secara radikal atau sebaliknya Liberal penuh kebebasan semaunya sendiri,   

Ideologisasi,  identifikasi  dan  legitimasi  memang  sangat  mungkin  menimbulkan kerentanan perpecahan bangsa. Oleh karenanya dibutuhkan tali pengikat yang mampu menyatukannya, salah satu strategi yang bisa digunakan adalah dengan menumbuhkan kesadaran dan memupuk rasa cinta kepada tanah air, atau apa yang kemudian disebut sebagai nasionalisme. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, ada banyak pihak yang seharusnya terlibat dalam implementasi moderasi beragama di Indonesia seperti  keluarga, sekolah/madrasah, pemerintah,  tokoh masyarakat dan agama, instasi pemerintah, dll. Sinergi berarti kemampuan seseorang dalam membangun kebersamaan dan melihat orang lain dari aspek kelebihan. Dalam sinergi kelemahan dapat diubah sebagai kelebihan selanjutnya kelebihan dan potensi yang miliki tersebut kemudian diolah menjadi sebuah kekuatan bersama membangun peradaban bangsa dan negara Indonesia.

Moderasi beragama yang saat ini dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa dan masyarakat global mensyaratkan perspektif beragam dalam memahami ajaran  agama. Munculnya  pemahaman  yang cenderung menganggap kelompoknya paling benar dan menganggap pihak lain sebagai salah merupakan cermin perspektif tunggal yang digunakan kelompok tersebut dalam melihat persoalan, jika dibiarkan begitu saja secara berulang terjadi maka akan memunculkan benturan antar perspektif dalam  kehidupan berbangsa. Sedangkan ketika perbedaan sudut pandang hadir dilandasi spirit untuk belajar dengan berbagai pihak yang mempunyai sudut pandang beragam serta tidak hanya menganggap dirinya paling benar, maka hal tersebut perlu diapresiasi, karena sikap tersebut akan menghasilkan wawasan berbangsa  yang  dinamis  dan harmonis.

Jika dikembalikan pada  nilai tertinggi  dari  ajaran Islam, yakni rahmatan-lil-‘alamin mensyaratkan kemampuan mengendalikan  diri dan  menghargai  beragam  pendapat.  Kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain, patut kita renungkan dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari terutama ketika kita hidup di ruang publik yang heterogen. Dalam konteks masyarakat majemuk kita perlu lebih memahami ajaran Islam dari berbagai pendekatan sehingga ketika menghadapi persoalan, jawaban dan cara kita memecahkannya tidak  terjebak  pada  model  binary opposition, hitam putih semata, sebab ada banyak variabel yang harus kita gunakan dalam melihat persoalan.

Daftar Pustaka

Muqowim (2020). Moderasi Beragama di Indonesia Jilid 4 Upaya Rekonstruksi Melalui Pendidikan. Bandung: Azkiya Publishing

Tafsir Al-Qurthubi 20: 225 .Cet . II. Darul Kutub al-Mishriyyah, 1386 H.



 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar diharapkan bersifat membangun dalam rangka pengembangan keilmuan Bimbingan dan Konseling. Kami sampaikan terima kasih