Minggu, 04 Juli 2021

REVITALISASI PEMAHAMAN AGAMA YANG MODERAT

 

Prof. Dr. H. Fatah Syukur, M.Ag.

Dosen Pasca Sarjana UIN Walisongo Semarang

 

Terbitnya buku ke-4 seri Moderasi Beragama yang dimotori oleh alumni TOT Moderasi Beragama yang dilenggarakan oleh Direktorat Guru dan Tenaka Kependidikan  Kementerian Agama Ini semakin menambah khazanah dan wacana tentang moderasi beragama di Indonesia. Tema yang diangkat kali ini adalah Moderasi Beragama di Indonesia Upaya Rekontruksi Melalui Pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu cara mengeliminir pemikiran dan gerakan radikal melalui pemahaman kembali ajaran agama yang moderat.

Munculnya kelompok radikal bukanlah monopoli dari agama tertentu. Hampir semua agama terdapat kelompok-kelompok radikal yang memahami dan menjalankan keagamaannya secara ekstrim, baik lebih contoh ke kakan-fundamentalis, maupun lebih condong ke kiri-liberalis. Padahal kalau ditelusuri lebih lanjut, bahwa setiap agama wahyu tentu memiliki pedoman yang berupa kitab suci dan Rasul yang menyampaikan ajaran suatu agama. Walaupun kitab sucinya sama dan Nabinya juga sama, akan tetapi dalam implementasinya berbeda-beda dalam pemahaman dan pelaksanaan. Bahkan perbedaan tersebut bukan hanya menumbuhkan kelompok-kelompok keagamaan, namun sering menjadi kelompok permusuhan dan saling menyalahkan yang lain.

Klik

Dalam sejarah Islam misalnya, munculnya kelompok Khowarij berawal dari perbedaan sikap dalam memahami keputusan Ali kw dalam menerima perjanjian “Tahkim” dengan kelompok Muawiyah. Akibatnya kelompok ini (baca Khowarij) menganggap bahwa kelompok Ali dan Muawiyah sudah tidak menggunakan hukum Islam, dan dihalalkan darahnya. Karena tidak menggunakan hukum Islam, maka mereka dihukumi kafir (Al-Maidah, 44), mereka dihukumi fasik (Al-Maidah, 47), mereka dihukumi dholim (Al-Maidah, 45). Padahal yang dituduh kafir, dholim dan fasik ini masih Islam dan rajin menjalankan rukun Islam.

Di sisi lain banyak ayat-ayat tentang jihad, QS. An-Nisa` [4] 75, At-Taubah [9] ; 14-15, 20, 38 dll. yang dimaknai berperang, sementara musuh yang akan diperangi itu mungkin masih seagama, atau beragama lain yang masih dilindungi. Hanya karena perbedaan pemahaman dengan mereka, maka dianggap sudah halal untuk diperangi.

Oleh karena itu pemahaman terhadap teks ayat tidak bisa dipahami secara parsial teks itu, tetapi harus dipahami dari berbagai dimensinya. Dimensi itu antara lain; asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), ilmu Bahasa Arab, kaidah-kaidah ushul fiqh, ilmu budaya, dan sebagainya. Sehingga membaca terjemah al-Qur’an saja belum cukup, harus membaca tafsir al-Qur’an. Sedangkan tafsir al-Qur’an sendiri juga bermacam-macam. Jadi harus dipahami secara komprehensif.

Allah menciptakan alam seisinya ini selalu berpasang-pasangan Ali Imron; 188-190, semua yang diciptakan oleh Allah tidak ada yang sia-sia. Keharmonisan ciptaan Allah ini, termasuk, Dia menciptakan keragaman alam ini. Allah pasti mampu menciptakan semua makhkluknya satu kelompok yang beriman semua, satu agama semua. Tetapi kenapa justru Allah menciptakan keragaman itu, ada perbedaan agama, ada perbedaan suku, bangsa, budaya dan sebagainya.

Dalam QS. 49; 13 yang artinya Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. Ayat ini menjelaskan tata krama dalam hubungan antara manusia pada umumnya. Karena itu panggilan ditujukan kepada manusia pada umumnya. Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yakni berasal dari keturunan yang sama yaitu Adam dan Hawa. Semua manusia sama saja derajat kemanusiaannya, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan suku lainnya. Kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal dan dengan demikian saling membantu satu sama lain, bukan saling mengolok-olok dan saling memusuhi antara satu kelompok dengan lainnya. Allah tidak menyukai orang yang memperlihatkan kesombongan dengan keturunan, kekayaan atau kepangkatan karena sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Karena itu berusahalah untuk meningkatkan ketaqwaan agar menjadi orang yang mulia di sisi Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu baik yang lahir maupun yang tersembunyi, Mahateliti sehingga tidak satu pun gerak-gerik dan perbuatan manusia yang luput dari ilmu-Nya.

Allah menciptakan alam semesta dan segala isinya dengan sangat bijaksana sehingga berjalan dengan teratur dan seimbang . adlah bukti bahwa ALLAh memiliki sifat Al-Hakim yaitu ALLAH maha bijaksana. Maksud dari sifat Al-Hakim adalah bahwa ALLAH Menurut Al-Qusyairi yaitu “Allah Maha Bijaksana yang memiliki hikmah, menciptakan, mengatur, dan menentukan sesuatu dengan penuh perhitungan dan kebijakan. Dengan hikmah-Nya, Allah menciptakan alam semesta seisinya, tanpa ada sedikit pun yang sia-sia. Dengan hikmah-Nya, Allah menciptakan makhluk-Nya dengan berbagai ragam bentuk, dimensi, warna, dan kehidupan yang beragam. Dengan hikmah-Nya, manusia diciptakan dengan berbagai keunikan dan karakter masing-masing. Dengan hikmah- Nya, Allah mengutus para nabi, menurunkan kitab suci, ada yang kafir dan mukmin. Dengan hikmah-Nya, Allah menciptakan surga dan neraka. Semua dengan kesempurnaan kebijakan Allah.”

Pentingnya nilai moderasi dalam bergama merupakan pangkal menumbuhkan dan mengeksplorasi ajaran agama yang damai dan teduh. Moderasi agama adalah jalan tengah yang mengedapankan nilai keadilan, di mana beragama atau berprilaku sesuai dengan porsi yang telah ada. Tidak ada intrik untuk melebihkan atau mengurangi sebuah ajaran sebagaimana yang banyak terjadi di era saat ini. Dengan moderasi agama, kita akan menjalankan agama sesuai dengan apa yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad kepada kita. KH. Mustafa Bisri menganalogikan bahwa moderasi agama ibarat perintah makan dan minum tanpa harus berlebih-lebihan. Kita tentu tahu bahwa radikalisme agama, atau konflik kekerasan yang banyak terjadi karena adanya prilaku berlebihan sehingga mereduksi nilai keadilan sebagai pondasi utama bermasyarakat. Agama dalam hal ini juga tentu harus dipahami dengan pemahaman yang adil agar tidak menimbulkan prilaku yang berujung pada konflik.

Agama yang tidak dijalankan dengan adil akan membuat agama itu menjadi dagangan untuk mengelabui fakta yang ada. Oleh sebab itulah, ketika agama diangkat sebagai isu yang menyebabkan kekacauan akan serta-merta dibenarkan tanpa pengetahuan dan proses dialog terlebih dahulu. Agama hanya akan dikooptasi sebagai barang untuk membenarkan segala tindakan yang dilakukan, sehingga banyak kelompok yang memiliki kepentingan menjadikan agama sebagai pendorong untuk menimbulkan kekacauan demi tercapainya sebuah kepentingan. Pilpres 2019 adalah contoh betapa mirisnya agama diposisikan sebagai dagangan politik praktis. Toh, pada ujungnya yang merasa tersakiti adalah kelompok-kelompok yang berjuang atas nama agama itu sendiri. 

Sebagai umat beragama, tugas kita adalah menyampaikan agama sebagai sebuah ajaran yang mencerahkan pikiran dan tindakan dalam konteks apapun. Agama harus mampu menghadirkan rasa adil agar setiap konflik yang muncul bisa menemukan penyelesaian. Agama harus dijadikan jalan untuk menemukan masalah kesejahteraan dan ketertindasan agar konflik kekerasan tidak terus muncul. Sekali lagi, fungsi agama adalah untuk mencerahkan kehidupan manusia. Bukan sebagai komiditas murah yang diperjualbelikan untuk dijadikan alat memuluskan kepentingan.

Menag Lukman Hakim Saifudin pernah mengatakan, "Kalau melihat agama secara kelembagaan, pastilah kita akan melihat ragam perbedaan. Tapi, agama juga bisa dan mestinya dilihat dari sisi dalam, yaitu esensi dan subtansinya pada nilai-nilai universal”. Silakan mengamalkan ajaran agama, namun jangan menyeragamkannya. Agama butuh wilayah yang damai. Kehidupan yang damai, butuh spritualitas nilai agama. Agama yang datang dari Tuhan adalah untuk kemanusian. "Cara kita mengamalkan ajaran agama, sebagian kita boleh jadi terjebak pada pengamalan yang berlebihan. Di sinilah peran moderasi beragama untuk mengajak kutub-kutub yang berlebihanan kembali ke tengah," ujar Lukman

Maraknya intoleransi. karena pengamalan ajaran agama baru sebatas penekanan formalitas, belum menyentuh nilai-nilai esensial. Nilai itu misalnya agama tidak semata untuk Tuhan, namun juga untuk manusia itu sendiri. "Berindonesia hakikatnya beragama dan beragama hakikatnya berindonesia. Agama apapun pasti menekankan pada nasionalisme dan cinta Tanah Air. Setiap umat beragama di Indonesia agar memiliki kesadaran bahwa mengamalkan ajaran agama hakikatnya sedang menjaga keindonesian. Karena Indonesia merupakan negara religius dan agamis, bukan sekuler. Kalau kita mengamalkan ajaran agama yang kita anut itu sesunguhnya kita sedang menjaga Indonesia agar tetap agamis. Sebaliknya, jika kita mengamalkan kewajiban sebagai warna negara Indonesia dan patuh pada ketentuan itu sesungguhnya kita mengamalkan ajaran agama”. (FSY***)



Sumber : Buku Moderasi di Indonesia jilid 4 : Upaya Rekonstruksi Melalui Pendidikan (2020) Bandung : Azkiya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar diharapkan bersifat membangun dalam rangka pengembangan keilmuan Bimbingan dan Konseling. Kami sampaikan terima kasih