Prof. Dr. H. Fatah Syukur, M.Ag.
Dosen Pasca Sarjana UIN
Walisongo Semarang
Terbitnya buku ke-4 seri Moderasi Beragama yang
dimotori oleh alumni TOT Moderasi Beragama yang dilenggarakan oleh Direktorat
Guru dan Tenaka Kependidikan Kementerian
Agama Ini semakin menambah khazanah dan wacana tentang moderasi beragama di
Indonesia. Tema yang diangkat kali ini adalah Moderasi Beragama di Indonesia
Upaya Rekontruksi Melalui Pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu cara
mengeliminir pemikiran dan gerakan radikal melalui pemahaman kembali ajaran
agama yang moderat.
Munculnya kelompok radikal bukanlah monopoli dari
agama tertentu. Hampir semua agama terdapat kelompok-kelompok radikal yang
memahami dan menjalankan keagamaannya secara ekstrim, baik lebih contoh ke
kakan-fundamentalis, maupun lebih condong ke kiri-liberalis. Padahal kalau
ditelusuri lebih lanjut, bahwa setiap agama wahyu tentu memiliki pedoman yang
berupa kitab suci dan Rasul yang menyampaikan ajaran suatu agama. Walaupun
kitab sucinya sama dan Nabinya juga sama, akan tetapi dalam implementasinya
berbeda-beda dalam pemahaman dan pelaksanaan. Bahkan perbedaan tersebut bukan
hanya menumbuhkan kelompok-kelompok keagamaan, namun sering menjadi kelompok
permusuhan dan saling menyalahkan yang lain.
Dalam sejarah Islam misalnya, munculnya kelompok
Khowarij berawal dari perbedaan sikap dalam memahami keputusan Ali kw dalam
menerima perjanjian “Tahkim” dengan kelompok Muawiyah. Akibatnya kelompok ini
(baca Khowarij) menganggap bahwa kelompok Ali dan Muawiyah sudah tidak
menggunakan hukum Islam, dan dihalalkan darahnya. Karena tidak menggunakan
hukum Islam, maka mereka dihukumi kafir (Al-Maidah, 44), mereka dihukumi fasik
(Al-Maidah, 47), mereka dihukumi dholim (Al-Maidah, 45). Padahal yang dituduh
kafir, dholim dan fasik ini masih Islam dan rajin menjalankan rukun Islam.
Di sisi lain banyak ayat-ayat tentang jihad, QS.
An-Nisa` [4] 75, At-Taubah [9] ; 14-15, 20, 38 dll. yang dimaknai berperang, sementara
musuh yang akan diperangi itu mungkin masih seagama, atau beragama lain yang
masih dilindungi. Hanya karena perbedaan pemahaman dengan mereka, maka dianggap
sudah halal untuk diperangi.
Oleh karena itu pemahaman
terhadap teks ayat tidak bisa dipahami secara parsial teks itu, tetapi harus
dipahami dari berbagai dimensinya. Dimensi itu antara lain; asbabun nuzul (sebab turunnya ayat),
ilmu Bahasa Arab, kaidah-kaidah ushul fiqh, ilmu budaya, dan sebagainya.
Sehingga membaca terjemah al-Qur’an saja belum cukup, harus membaca tafsir
al-Qur’an. Sedangkan tafsir al-Qur’an sendiri juga bermacam-macam. Jadi harus
dipahami secara komprehensif.
Allah menciptakan alam
seisinya ini selalu berpasang-pasangan Ali Imron; 188-190, semua yang
diciptakan oleh Allah tidak ada yang sia-sia. Keharmonisan ciptaan Allah ini,
termasuk, Dia menciptakan keragaman alam ini. Allah pasti mampu menciptakan
semua makhkluknya satu kelompok yang beriman semua, satu agama semua. Tetapi
kenapa justru Allah menciptakan keragaman itu, ada perbedaan agama, ada
perbedaan suku, bangsa, budaya dan sebagainya.
Dalam QS. 49; 13 yang
artinya Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Mahateliti. Ayat ini menjelaskan
tata krama dalam hubungan antara manusia pada umumnya. Karena itu panggilan
ditujukan kepada manusia pada umumnya. Wahai manusia! Sungguh, Kami telah
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yakni berasal
dari keturunan yang sama yaitu Adam dan Hawa. Semua manusia sama saja derajat
kemanusiaannya, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan suku lainnya.
Kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal dan dengan demikian saling membantu satu sama lain, bukan saling
mengolok-olok dan saling memusuhi antara satu kelompok dengan lainnya. Allah
tidak menyukai orang yang memperlihatkan kesombongan dengan keturunan, kekayaan
atau kepangkatan karena sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa. Karena itu berusahalah untuk meningkatkan
ketaqwaan agar menjadi orang yang mulia di sisi Allah. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu baik yang lahir maupun yang tersembunyi, Mahateliti sehingga tidak satu pun gerak-gerik dan
perbuatan manusia yang luput dari ilmu-Nya.
Allah menciptakan alam semesta dan segala isinya
dengan sangat bijaksana sehingga berjalan dengan teratur dan seimbang . adlah
bukti bahwa ALLAh memiliki sifat Al-Hakim yaitu ALLAH maha bijaksana. Maksud
dari sifat Al-Hakim adalah bahwa ALLAH Menurut Al-Qusyairi yaitu “Allah Maha
Bijaksana yang memiliki hikmah, menciptakan, mengatur, dan menentukan sesuatu
dengan penuh perhitungan dan kebijakan. Dengan hikmah-Nya, Allah menciptakan
alam semesta seisinya, tanpa ada sedikit pun yang sia-sia. Dengan hikmah-Nya,
Allah menciptakan makhluk-Nya dengan berbagai ragam bentuk, dimensi, warna, dan
kehidupan yang beragam. Dengan hikmah-Nya, manusia diciptakan dengan berbagai
keunikan dan karakter masing-masing. Dengan hikmah- Nya, Allah mengutus para
nabi, menurunkan kitab suci, ada yang kafir dan mukmin. Dengan hikmah-Nya, Allah
menciptakan surga dan neraka. Semua dengan kesempurnaan kebijakan Allah.”
Pentingnya nilai moderasi dalam bergama merupakan pangkal
menumbuhkan dan mengeksplorasi ajaran agama yang damai dan teduh. Moderasi
agama adalah jalan tengah yang mengedapankan nilai keadilan, di mana beragama
atau berprilaku sesuai dengan porsi yang telah ada. Tidak ada intrik untuk
melebihkan atau mengurangi sebuah ajaran sebagaimana yang banyak terjadi di era
saat ini. Dengan moderasi agama, kita akan menjalankan agama sesuai dengan apa
yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad kepada kita. KH. Mustafa Bisri
menganalogikan bahwa moderasi agama ibarat perintah makan dan minum tanpa harus
berlebih-lebihan. Kita tentu tahu bahwa radikalisme agama, atau konflik
kekerasan yang banyak terjadi karena adanya prilaku berlebihan sehingga
mereduksi nilai keadilan sebagai pondasi utama bermasyarakat. Agama dalam hal
ini juga tentu harus dipahami dengan pemahaman yang adil agar tidak menimbulkan
prilaku yang berujung pada konflik.
Agama yang tidak dijalankan dengan adil akan membuat agama
itu menjadi dagangan untuk mengelabui fakta yang ada. Oleh sebab itulah, ketika
agama diangkat sebagai isu yang menyebabkan kekacauan akan serta-merta
dibenarkan tanpa pengetahuan dan proses dialog terlebih dahulu. Agama hanya
akan dikooptasi sebagai barang untuk membenarkan segala tindakan yang
dilakukan, sehingga banyak kelompok yang memiliki kepentingan menjadikan agama
sebagai pendorong untuk menimbulkan kekacauan demi tercapainya sebuah
kepentingan. Pilpres 2019 adalah contoh betapa mirisnya agama diposisikan
sebagai dagangan politik praktis. Toh, pada ujungnya yang merasa tersakiti
adalah kelompok-kelompok yang berjuang atas nama agama itu sendiri.
Sebagai umat beragama, tugas kita adalah menyampaikan agama
sebagai sebuah ajaran yang mencerahkan pikiran dan tindakan dalam konteks
apapun. Agama harus mampu menghadirkan rasa adil agar setiap konflik yang
muncul bisa menemukan penyelesaian. Agama harus dijadikan jalan untuk menemukan
masalah kesejahteraan dan ketertindasan agar konflik kekerasan tidak terus
muncul. Sekali lagi, fungsi agama adalah untuk mencerahkan kehidupan manusia.
Bukan sebagai komiditas murah yang diperjualbelikan untuk dijadikan alat
memuluskan kepentingan.
Menag Lukman Hakim Saifudin pernah mengatakan, "Kalau
melihat agama secara kelembagaan, pastilah kita akan melihat ragam perbedaan.
Tapi, agama juga bisa dan mestinya dilihat dari sisi dalam, yaitu esensi dan
subtansinya pada nilai-nilai universal”. Silakan mengamalkan ajaran agama,
namun jangan menyeragamkannya. Agama butuh wilayah yang damai. Kehidupan yang
damai, butuh spritualitas nilai agama. Agama yang datang dari Tuhan adalah
untuk kemanusian. "Cara kita mengamalkan ajaran agama, sebagian kita boleh
jadi terjebak pada pengamalan yang berlebihan. Di sinilah peran moderasi
beragama untuk mengajak kutub-kutub yang berlebihanan kembali ke
tengah," ujar Lukman
Maraknya intoleransi. karena pengamalan ajaran agama baru
sebatas penekanan formalitas, belum menyentuh nilai-nilai esensial. Nilai itu
misalnya agama tidak semata untuk Tuhan, namun juga untuk manusia itu sendiri.
"Berindonesia hakikatnya beragama dan beragama hakikatnya berindonesia.
Agama apapun pasti menekankan pada nasionalisme dan cinta Tanah Air. Setiap
umat beragama di Indonesia agar memiliki kesadaran bahwa mengamalkan ajaran
agama hakikatnya sedang menjaga keindonesian. Karena Indonesia merupakan negara
religius dan agamis, bukan sekuler. Kalau kita mengamalkan ajaran agama yang
kita anut itu sesunguhnya kita sedang menjaga Indonesia agar tetap agamis.
Sebaliknya, jika kita mengamalkan kewajiban sebagai warna negara Indonesia dan
patuh pada ketentuan itu sesungguhnya kita mengamalkan ajaran agama”. (FSY***)
Sumber : Buku Moderasi di Indonesia jilid 4 : Upaya Rekonstruksi Melalui Pendidikan (2020) Bandung : Azkiya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar diharapkan bersifat membangun dalam rangka pengembangan keilmuan Bimbingan dan Konseling. Kami sampaikan terima kasih