Minggu, 04 Juli 2021

DAN JIKAPUN KALIAN BERKUASA


Dr KH Muhammad Qowim, M.Ag


Judul sekapur sirih kali ini merupakan penggalam dari Surat Muhammad ayat 22. Di dalam ayat tersebut, Allah berfirman dengan nada bertanya : “Dan jikapun kalian berkuasa, apakah kalian akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan kasih sayang kalian?”

Pertanyaan ini rasanya ingin saya pertebal, terutama pada saat sebagian masyarakat muslim mengalami inferiority complex, keminderan luar biasa baik karena kekalahan politik, ekonomi dan budaya selama setidaknya 3 abad terakhir dalam percaturan dunia global. Pertanyaan ini rasanya ingin saya pertebal juga karena selama beberapa abad terakhir pula, menguat sebuah pertanyaan lain di berbagai kalangan masyarakat muslim, limadza taakhorol muslimun (mengapa kaum muslimin kalah?). Pertanyaan perihal kekalahan telah meresahkan banyak cendekiawan muslim dari Jamaluddin al-Afghani hingga Muhammad Abduh sehingga seringkali menjadi perdebatan panjang, yang barangkali jejaknya banyak mengilhami pergerakan Islam di berbagai penjuru dunia. Benar, rasanya saya ingin menggeser pertanyaan tersebut dengan pertanyaan yang saya yakini lebih cocok bagi umat Muhammad saw. Fahal ‘asaitum in tawallaitum antufsiduu fil ardli wa tiqaththiu arhamakum (Q.S.Muhammad ayat 22). Ijinkan saya mempertebal pertanyaan berikut : “Dan jikapun kalian berkuasa, apakah kalian akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan kasih sayang kalian?”

Setiap Nabi yang dikisahkan di dalam al-Qur’an menunjukkan kepeloporan dalam bidang dan caranya masing-masing. Kepeloporan mereka merupakan fase-fase keumatan yang menjadi anak tangga peradaban manusia. Kepeloporan Nabi Ibrahim as mengkritik tradisi para pencari tuhan, karena Tuhan tidak pernah hilang dan karenanya tidak perlu dicari. Tuhan harusnya kita kenali melalui seluruh ciptaan-Nya, bukan sebagian saja dari ciptaan-Nya. Ada kesatuan dari seluruh keragamaan ciptaan tersebut sehingga lahirlah konsep kesatuan yang disebut tauhid. Ajaran tauhid meyakini bahwa seluruh keragaman semesta berasal dari satu Sang Pencipta yang tunggal. Ibrahim as mengkritik tradisi pemberhalaan & pemujaan terhadap keragaman, serta menolak konsep superioritas ‘kompleksitas’ yang menjadi basis penentuan warna ataupun posisi kasta bagi mahluk-mahluk di dunia. Ibrahim as mengajarkan semuanya beragam, semuanya setara karena semuanya sama di hadapan Allah SWT Sang Maha Pencipta. Ibrahim as juga menolak penihilan terhadap keragaman semesta karena keragaman itu fakta nyata, bukan ilusi ataupun kosong. Tidak ada kekosongan tertinggi (sunyata) yang perlu dikejar dan karenanya manusia tidak perlu terobsesi mengejar kekosongan tertinggi.

Klik

Salah satu implikasi ajaran tauhid Ibrahim as yang hanif, yaitu tradisi berbangsa dan bernegeri. Sengaja saya tulis negeri, untuk membedakan dengan negara yang pada abad ke-19 muncul sebagai negara bangsa (state nation).  Ibrahim as memperkenalkan konsep baladan aminan (negeri yang aman) sembari mengharapkan kemakmuran & keselamatan bagi bangsanya yang disebutnya sebagai anak-anak (wabaniyya) dan keturunan (wadzurriyyati). Dalam ajaran Ibrahim as tentang keragaman, ada negeri dan ada bangsa. Pasang surut dan dinamika merupakan keniscayaan yang senantiasa dialami oleh suatu negeri dan suatu bangsa. Umat Nabi Muhammad SAW kiranya perlu menyadari konsep tauhid yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim as mengingat posisi Ibrahim as dalam teologi Islam dianggap sebagai bapaknya tauhid dan abul anbiyaa (Bapak dari para Nabi). Dan hemat saya, pertanyaan dalam Q.S Muhammad ayat 22 menjadi sangat relevan, mengingat pasang surut atas suatu negeri dan suatu bangsa adalah keniscayaan bagi peradaban manusia, baik mereka beriman ataupun sebaliknya. Fahal ‘asaitum in tawallaitum antufsiduu fil ardli wa tiqaththiu arhamakum (Dan jikapun kalian berkuasa, apakah kalian akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan kasih sayang kalian?)

Kepeloporan Ibrahim as layak saya tempatnya sebagai latar belakang untuk mempertebal pertanyaan Fahal ‘asaitum in tawallaitum antufsiduu fil ardli wa tiqaththiu arhamakum. Hal ini sekaligus menjadi pijakan saya untuk menggeser pertanyaan limadza taakhorol muslimun (mengapa kaum muslimin kalah?). Selain karena tidak relevan dengan keniscayaan dinamika & pasang surut negeri & bangsa, posisi kepeloporan Nabi Ibrahim as sangat diakui dalam tradisi dan teologi Islam. Setiap kali seorang muslim sholat, pastilah menyebut nama Ibrahim as dan keluarganya paling tidak ketika membaca doa dalam posisi tahiyyat. Singkat kata, menggeser pertanyaan kiranya sangat diperlukan untuk menggeser cara pandang mengingat pertanyaan yang berbeda akan mengantar pada jawaban dan kesadaran yang berbeda. Salah pertanyaan, maka akan salah pula jawabannya. Semoga dari sini, shifting paradigm (pergeseran paradigma) atau bahkan changing paradigm (perubahan paradigma) dapat mewujudkan pemahaman yang lebih bijaksana dan produktif.

Setidaknya ada 2 (dua) signifikansi untuk menggeser –atau mungkin malah- menghapus pertanyaan limadza taakhorol muslimun (mengapa kaum muslimin kalah?). Pertama, menolak agama sebagai instrumen persaingan (kompetisi). Jika sosiologi menengarai bahwa persaingan adalah bentuk halus dari peperangan, perebutan ataupun pertengkaran, maka rasanya kurang bijaksana jika agama dipaksa untuk menjawab dan menjadi instrumen persaingan. Sebaliknya, agama merupakan instrumen yang mendorong dan memacu manusia untuk terintegrasi, bekerjasama dan berkolaborasi. Maka dalam kerangka ini, menjadi sah untuk menafsirkan perintah fastabiqul khoiraat dalam al-Qur’an dengan pengertian “mari saling mempelopori dalam kebaikan”, ketimbang menterjemahkannya dalam pengertian “mari saling berlomba-lomba dalam kebaikan”. Kepeloporan adalah buah dari nubuwwah dari setiap nabi.

Signifikansi kedua adalah menolak klaim bahwa agama (yang hanif) sebagai produk budaya ataupun produk sejarah. Agama yang hanif (melengkung seperti orbit planet/ punya keberpihakan) sangat berbeda dengan agama yang ‘iwaja (bengkok). Agama-agama yang diproduksi oleh gerak budaya atau sejarah, menjauh dari pesan-pesan perennial (abadi) peradaban, sementara agama yang hanif justru sebaliknya menjadi penyambung mata rantai peradaban dari satu masa ke masa berikutnya. Agama yang hanif akan mendorong pemberadaban karena produktif dalam segala kondisi, kapanpun dan dimanapun. Termasuk dalam kondisi berkuasa ataupun sebaliknya dalam kondisi minus kekuasaan.

Sekedar misal, al-Qur’an menampilkan kepeloporan Nabi Musa as sebagai pahlawan revolusi yang membebaskan bangsa Israel dari penjajahan. Sejarah mencatat Nabi Musa as dan Bani Israel merupakan keturunan Nabi Ibrahim as dari jalur putranya, yaitu Nabi Ishaq as. Namun sebagaimana Nabi Ibrahim as, di masa Nabi Musa as, konsep tribalisme ini ditinggalkan menuju konsep kebangsaan, Israel sebagai sebuah bangsa, yang mengatasi suku-suku dalam Bani Israel. Kemerdekaan setiap bangsa & setiap individu merupakan ajaran perennial yang ada sejak lahirnya kemanusiaan. Kemerdekaan merupakan salah satu pilar penopang gerak peradaban. Dan pada saat sebagian umat Nabi Musa as memonopoli kebahagiaan dan kemakmuran hanya untuk bangsanya sendiri, lalu menganggap Tuhan penguasa semesta, adalah tuhannya Israel, maka muncul klaim bahwa keselamatan hanyalah milik suatu bangsa, yaitu bangsa Israel. Dan diujungnya, muncul pula mengenai tanah yang dijanjikan (promised land) dan muncullah agama rasial, agama untuk suatu bangsa.

Sejarah kemudian mencatat lahirnya Kristen sebagai kritik terhadap klaim keselamatan agama bangsa. Nabi Isa as atau yang dikenal juga sebagai Jesus mengajarkan bahwa keselamatan dan kebahagiaan merupakan milik semua orang, dari bangsa manapun mereka berasal. Semua manusia berhak meraih keselamatan dan kebahagiaan, tak terkecuali bagi yang miskin, sakit, dan kalangan manapun jua. Sebagaimana namanya, (nama Isa dekat dengan kata asa, berkonotasi orang yang penuh harapan), Nabi Isa as memberikan harapan luar biasa pada umatnya dengan penuh cinta kasih dan segera ajaran Isa as mereformasi ajaran Yahudi. Sejarah Kristen dan Islam mencatat kepeloporan dari Isa bin Maryam. Bedanya, tradisi Kristen memaknai kepahlawanan dan kepeloporan Isa sebagai sebuah messiah, sementara tradisi Islam menempatkannya sebagai ‘salah satu’ kekuatan sipil bangsa Israel di tengah penjajahan bangsa Romawi kala itu.

Dalam tradisi Islam, Isa bukanlah satu-satunya kekuatan sipil dari bangsa Israel. Al-Qur’an menampilkan kepeloporan Ali Imron. Istilah Ali Imron sering diterjemahkan sebagai keluarga Imron dengan anggota keluarga Imron beserta istrinya, Zakaria beserta istrinya, Maryam, Yahya dan Isa. Istilah Ali Imron muncul menjadi nama surat ketiga dalam al-Qur’an. Hal ini memungkinkan penafsiran berbeda mengenai Imron. Ketika merujuk pengertian peradaban, para penulis klasik lebih sering menggunakan kata ‘umron, sementara para penulis kontemporer lebih mempopulerkan kata hadlarah. Dalam pengertian klasik, Imron merujuk pada pihak-pihak yang berperadaban sehingga sangat mungkin kata Imron dalam surat Ali Imron bisa merujuk suatu nama personal, namun juga merujuk suatu julukan kepada seseorang atau pihak tertentu. Demikian pula, kehadiran Nabi Yahya as sebagai salah satu pilar kekuatan sipil kala itu memberikan kepeloporan untuk mencinta kehidupan (kata yahya, dekat dengan kata yuhyi artinya menghidupi) karena setiap nyawa adalah sangat berharga, anugrah dari Sang Maha Kuasa.

Meminjam ungkapan filosof eksistensialis, Soren Kiekegard, life can only be understood backwards, but it must be lived forwards (hidup hanya bisa dipahami dengan melacak masalalu, namun hidup harus mampu melangkah ke masa depan). Jika al-Qur’an telah memaparkan jejak-jejak kebangsaan menggeser jejak-jejak kesukuan (tribalisme), maka tidak sepatutnya kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan subversif yang merusak nalar-nalar kebangsaan yang rasional dan produktif. Berpikir produktif dan sinergis seluruh anak bangsa rasanya lebih barokah daripada menyuguhkan pertanyaan yang membuat galau, saling curiga dan disintegrasi antar anak bangsa. Sejauh yang saya pahami, menjadi suatu bangsa adalah problem eksistensial manusia yang cukup dominan dalam bahasan al-Qur’an. Dengan demikian, merawat dan memelihara eksistensi suatu bangsa menjadi salah satu ciri muslihun (orang-orang yang berbuat soleh). Tentu itu tidaklah mudah. Kiekegard menuliskan problem eksistensialis dalam sebuah buku berjudul The Concept of Anxiety (Konsep kegelisahan). Filosof ini mengatakan, hidup adalah pilihan, namun pilihan ini bukan reaksi atas kondisi sejarah atau produk lingkungan seperti kata Hegel, sang penganut idealis. Kebebasan bagi sang eksistensialis, Kiekegard, adalah pilihan hidup yang gratis dan bebas, namun pada saat bersamaan mendatangkan kecemasan atau ketakutan dalam diri.

Masih dalam kerangka eksistensialis, ijinkan saya mempertegas keyakinan bahwa agama bukanlah instrumen persaingan, melainkan instrumen kepeloporan. Oleh karena itu, agama yang hanif tidak hanya sibuk untuk melahirkan pedoman ethis, namun agama itu pastilah juga menyuguhkan gelora ethos kepada penganutnya, kendati bagaimanapun jua situasi dan kondisi mereka. Agama yang hanif tidak hanya memuat aturan, melainkan juga memuat banyak kebijakan dan inspirasi untuk maju ke depan, keluar dari kubangan nestapa kehidupan. Pun kebijakan-kebijakan yang dihadirkan oleh agama hanif, bukanlah reaksi idealis yang dilahirkan oleh kondisi sejarah dan lingkungan budaya manusia. Agama yang hanif, meneruskan kebijakan-kebijakan perennial yang menyambungkan anak-anak tangga peradaban. Dalam istilah Kiekegard, menyelami keberagamaan dengan demikian meniscayakan munculnya anxiety (kegelisahan) dan ketakutan dalam diri. Al-Qur’an memperkenalkan konsep serupa (namun berbeda juga), yaitu konsep taqwa yang secara umum diartikan takut, menjaga dan memelihara. Muttaqin, dalam pengertian eksistensialis, dapat diartikan sebagai orang yang mampu mengendalikan rasa takut, orang yang mampu menjaga, memelihara.

Dengan menggeser pertanyaanya non-produtif menuju pertanyaan-pertanyaan produktif bagi kehidupan berbangsa dan bernegeri, maka keislaman kita niscaya menjadi jalan lurus nan asyik (nikmat) untuk bertuhan, berbangsa, berbudaya dan berperadaban. Untuk menjadi bangsa yang makmur, adil dan beradab, bangsa Indonesia tidak bisa berkaca atau meniru bangsa lain. Ia harus mengenali jatidirinya dari masa lalu, agar bisa melangkah mantap menuju masa depan. Sebuah peradaban tidak muncul dalam satu masa saja, ia merupakan lanjutan dari peradaban masa-masa sebelumnya. Jika bangsa ini menghendaki kemakmuran semata, maka bisalah berkaca dari negara-negara berideologi liberal. Jika bangsa ini menghendaki keadilan semata, maka bisalah berkaca dari negara-negara berideologi komunis. Namun jika bangsa Indonesia bersikukuh mewujudkan suatu bangsa yang makmur, adil dan beradab, maka kita harus menuntaskan kegelisahan akan peradaban bangsa ini sebelumnya, lalu bergerak ke tengah mensinergikan seluruh energi anak bangsa untuk maju menuju kemakmuran dan keadilan dalam waktu bersamaan.

Lalu tebak, dengan apa dan bagaimana kita bisa mengawali semua itu ?

 Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari GTK Madrasah yang mempromosikan sikap moderat dalam pendidikan madrasah. Kegelisahan-kegelisahan di dalamnya dimaksudkan untuk secara produktif mempersatukan energi anak-anak bangsa, agar mampu mewujudkan kehidupan bangsa Indonesia yang beradab, adil dan makmur. Semoga bermanfaat.


Sumber : Buku Moderasi Beragama di Indonesia Jilid 4 : Upaya Rekonstruksi Melalui Pendidikan. 2020 Bandung : Azkiya 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar diharapkan bersifat membangun dalam rangka pengembangan keilmuan Bimbingan dan Konseling. Kami sampaikan terima kasih