Dr KH Muhammad Qowim, M.Ag
Judul
sekapur sirih kali ini merupakan penggalam dari Surat Muhammad ayat 22. Di
dalam ayat tersebut, Allah berfirman dengan nada bertanya : “Dan jikapun kalian
berkuasa, apakah kalian akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan kasih
sayang kalian?”
Pertanyaan
ini rasanya ingin saya pertebal, terutama pada saat sebagian masyarakat muslim
mengalami inferiority complex, keminderan luar biasa baik karena kekalahan
politik, ekonomi dan budaya selama setidaknya 3 abad terakhir dalam percaturan
dunia global. Pertanyaan ini rasanya ingin saya pertebal juga karena selama
beberapa abad terakhir pula, menguat sebuah pertanyaan lain di berbagai
kalangan masyarakat muslim, limadza
taakhorol muslimun (mengapa kaum muslimin kalah?). Pertanyaan perihal
kekalahan telah meresahkan banyak cendekiawan muslim dari Jamaluddin al-Afghani
hingga Muhammad Abduh sehingga seringkali menjadi perdebatan panjang, yang
barangkali jejaknya banyak mengilhami pergerakan Islam di berbagai penjuru
dunia. Benar, rasanya saya ingin menggeser pertanyaan tersebut dengan
pertanyaan yang saya yakini lebih cocok bagi umat Muhammad saw. Fahal ‘asaitum in tawallaitum antufsiduu fil
ardli wa tiqaththiu arhamakum (Q.S.Muhammad ayat 22). Ijinkan saya
mempertebal pertanyaan berikut : “Dan jikapun kalian berkuasa, apakah kalian
akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan kasih sayang kalian?”
Setiap
Nabi yang dikisahkan di dalam al-Qur’an menunjukkan kepeloporan dalam bidang
dan caranya masing-masing. Kepeloporan mereka merupakan fase-fase keumatan yang
menjadi anak tangga peradaban manusia. Kepeloporan Nabi Ibrahim as mengkritik
tradisi para pencari tuhan, karena Tuhan tidak pernah hilang dan karenanya
tidak perlu dicari. Tuhan harusnya kita kenali melalui seluruh ciptaan-Nya, bukan sebagian saja dari ciptaan-Nya. Ada kesatuan dari seluruh keragamaan
ciptaan tersebut sehingga lahirlah konsep kesatuan yang disebut tauhid. Ajaran
tauhid meyakini bahwa seluruh keragaman semesta berasal dari satu Sang Pencipta
yang tunggal. Ibrahim as mengkritik tradisi pemberhalaan & pemujaan
terhadap keragaman, serta menolak konsep superioritas ‘kompleksitas’ yang
menjadi basis penentuan warna ataupun posisi kasta bagi mahluk-mahluk di dunia.
Ibrahim as mengajarkan semuanya beragam, semuanya setara karena semuanya sama
di hadapan Allah SWT Sang Maha Pencipta. Ibrahim as juga menolak penihilan
terhadap keragaman semesta karena keragaman itu fakta nyata, bukan ilusi
ataupun kosong. Tidak ada kekosongan tertinggi (sunyata) yang perlu dikejar dan
karenanya manusia tidak perlu terobsesi mengejar kekosongan tertinggi.
Salah
satu implikasi ajaran tauhid Ibrahim as yang hanif, yaitu tradisi berbangsa dan
bernegeri. Sengaja saya tulis negeri, untuk membedakan dengan negara yang pada
abad ke-19 muncul sebagai negara bangsa (state nation). Ibrahim as memperkenalkan konsep baladan
aminan (negeri yang aman) sembari mengharapkan kemakmuran & keselamatan
bagi bangsanya yang disebutnya sebagai anak-anak (wabaniyya) dan keturunan
(wadzurriyyati). Dalam ajaran Ibrahim as tentang keragaman, ada negeri dan ada
bangsa. Pasang surut dan dinamika merupakan keniscayaan yang senantiasa dialami
oleh suatu negeri dan suatu bangsa. Umat Nabi Muhammad SAW kiranya perlu
menyadari konsep tauhid yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim as mengingat posisi
Ibrahim as dalam teologi Islam dianggap sebagai bapaknya tauhid dan abul
anbiyaa (Bapak dari para Nabi). Dan hemat saya, pertanyaan dalam Q.S Muhammad
ayat 22 menjadi sangat relevan, mengingat pasang surut atas suatu negeri dan
suatu bangsa adalah keniscayaan bagi peradaban manusia, baik mereka beriman
ataupun sebaliknya. Fahal ‘asaitum in
tawallaitum antufsiduu fil ardli wa tiqaththiu arhamakum (Dan jikapun
kalian berkuasa, apakah kalian akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan
kasih sayang kalian?)
Kepeloporan
Ibrahim as layak saya tempatnya sebagai latar belakang untuk mempertebal
pertanyaan Fahal ‘asaitum in tawallaitum
antufsiduu fil ardli wa tiqaththiu arhamakum. Hal ini sekaligus menjadi
pijakan saya untuk menggeser pertanyaan limadza
taakhorol muslimun (mengapa kaum muslimin kalah?). Selain karena tidak
relevan dengan keniscayaan dinamika & pasang surut negeri & bangsa,
posisi kepeloporan Nabi Ibrahim as sangat diakui dalam tradisi dan teologi
Islam. Setiap kali seorang muslim sholat, pastilah menyebut nama Ibrahim as dan
keluarganya paling tidak ketika membaca doa dalam posisi tahiyyat. Singkat
kata, menggeser pertanyaan kiranya sangat diperlukan untuk menggeser cara pandang
mengingat pertanyaan yang berbeda akan mengantar pada jawaban dan kesadaran
yang berbeda. Salah pertanyaan, maka akan salah pula jawabannya. Semoga dari
sini, shifting paradigm (pergeseran
paradigma) atau bahkan changing paradigm
(perubahan paradigma) dapat mewujudkan pemahaman yang lebih bijaksana dan
produktif.
Setidaknya
ada 2 (dua) signifikansi untuk menggeser –atau mungkin malah- menghapus
pertanyaan limadza taakhorol muslimun
(mengapa kaum muslimin kalah?). Pertama, menolak agama sebagai instrumen
persaingan (kompetisi). Jika sosiologi menengarai bahwa persaingan adalah
bentuk halus dari peperangan, perebutan ataupun pertengkaran, maka rasanya
kurang bijaksana jika agama dipaksa untuk menjawab dan menjadi instrumen
persaingan. Sebaliknya, agama merupakan instrumen yang mendorong dan memacu
manusia untuk terintegrasi, bekerjasama dan berkolaborasi. Maka dalam kerangka
ini, menjadi sah untuk menafsirkan perintah fastabiqul
khoiraat dalam al-Qur’an dengan pengertian “mari saling mempelopori dalam kebaikan”,
ketimbang menterjemahkannya dalam pengertian “mari saling berlomba-lomba dalam
kebaikan”. Kepeloporan adalah buah dari nubuwwah dari setiap nabi.
Signifikansi
kedua adalah menolak klaim bahwa agama (yang hanif) sebagai produk budaya
ataupun produk sejarah. Agama yang hanif
(melengkung seperti orbit planet/ punya keberpihakan) sangat berbeda dengan
agama yang ‘iwaja (bengkok).
Agama-agama yang diproduksi oleh gerak budaya atau sejarah, menjauh dari
pesan-pesan perennial (abadi) peradaban, sementara agama yang hanif justru
sebaliknya menjadi penyambung mata rantai peradaban dari satu masa ke masa
berikutnya. Agama yang hanif akan mendorong pemberadaban karena produktif dalam
segala kondisi, kapanpun dan dimanapun. Termasuk dalam kondisi berkuasa ataupun
sebaliknya dalam kondisi minus kekuasaan.
Sekedar
misal, al-Qur’an menampilkan kepeloporan Nabi Musa as sebagai pahlawan revolusi
yang membebaskan bangsa Israel dari penjajahan. Sejarah mencatat Nabi Musa as
dan Bani Israel merupakan keturunan Nabi Ibrahim as dari jalur putranya, yaitu
Nabi Ishaq as. Namun sebagaimana Nabi Ibrahim as, di masa Nabi Musa as, konsep
tribalisme ini ditinggalkan menuju konsep kebangsaan, Israel sebagai sebuah
bangsa, yang mengatasi suku-suku dalam Bani Israel. Kemerdekaan setiap bangsa
& setiap individu merupakan ajaran perennial yang ada sejak lahirnya
kemanusiaan. Kemerdekaan merupakan salah satu pilar penopang gerak peradaban.
Dan pada saat sebagian umat Nabi Musa as memonopoli kebahagiaan dan kemakmuran
hanya untuk bangsanya sendiri, lalu menganggap Tuhan penguasa semesta, adalah
tuhannya Israel, maka muncul klaim bahwa keselamatan hanyalah milik suatu
bangsa, yaitu bangsa Israel. Dan diujungnya, muncul pula mengenai tanah yang
dijanjikan (promised land) dan
muncullah agama rasial, agama untuk suatu bangsa.
Sejarah
kemudian mencatat lahirnya Kristen sebagai kritik terhadap klaim keselamatan
agama bangsa. Nabi Isa as atau yang dikenal juga sebagai Jesus mengajarkan
bahwa keselamatan dan kebahagiaan merupakan milik semua orang, dari bangsa
manapun mereka berasal. Semua manusia berhak meraih keselamatan dan
kebahagiaan, tak terkecuali bagi yang miskin, sakit, dan kalangan manapun jua.
Sebagaimana namanya, (nama Isa dekat dengan kata asa, berkonotasi orang yang
penuh harapan), Nabi Isa as memberikan harapan luar biasa pada umatnya dengan
penuh cinta kasih dan segera ajaran Isa as mereformasi ajaran Yahudi. Sejarah
Kristen dan Islam mencatat kepeloporan dari Isa bin Maryam. Bedanya, tradisi
Kristen memaknai kepahlawanan dan kepeloporan Isa sebagai sebuah messiah,
sementara tradisi Islam menempatkannya sebagai ‘salah satu’ kekuatan sipil
bangsa Israel di tengah penjajahan bangsa Romawi kala itu.
Dalam
tradisi Islam, Isa bukanlah satu-satunya kekuatan sipil dari bangsa Israel. Al-Qur’an
menampilkan kepeloporan Ali Imron. Istilah Ali Imron sering diterjemahkan
sebagai keluarga Imron dengan anggota keluarga Imron beserta istrinya, Zakaria
beserta istrinya, Maryam, Yahya dan Isa. Istilah Ali Imron muncul menjadi nama
surat ketiga dalam al-Qur’an. Hal ini memungkinkan penafsiran berbeda mengenai
Imron. Ketika merujuk pengertian peradaban, para penulis klasik lebih sering
menggunakan kata ‘umron, sementara para penulis kontemporer lebih mempopulerkan
kata hadlarah. Dalam pengertian klasik, Imron merujuk pada pihak-pihak yang
berperadaban sehingga sangat mungkin kata Imron dalam surat Ali Imron bisa
merujuk suatu nama personal, namun juga merujuk suatu julukan kepada seseorang
atau pihak tertentu. Demikian pula, kehadiran Nabi Yahya as sebagai salah satu
pilar kekuatan sipil kala itu memberikan kepeloporan untuk mencinta kehidupan
(kata yahya, dekat dengan kata yuhyi artinya menghidupi) karena setiap nyawa
adalah sangat berharga, anugrah dari Sang Maha Kuasa.
Meminjam
ungkapan filosof eksistensialis, Soren Kiekegard, life can only be understood backwards, but it must be lived forwards
(hidup hanya bisa dipahami dengan melacak masalalu, namun hidup harus mampu
melangkah ke masa depan). Jika al-Qur’an telah memaparkan jejak-jejak
kebangsaan menggeser jejak-jejak kesukuan (tribalisme), maka tidak sepatutnya
kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan subversif yang merusak nalar-nalar
kebangsaan yang rasional dan produktif. Berpikir produktif dan sinergis seluruh
anak bangsa rasanya lebih barokah daripada menyuguhkan pertanyaan yang membuat
galau, saling curiga dan disintegrasi antar anak bangsa. Sejauh yang saya
pahami, menjadi suatu bangsa adalah problem eksistensial manusia yang cukup
dominan dalam bahasan al-Qur’an. Dengan demikian, merawat dan memelihara
eksistensi suatu bangsa menjadi salah satu ciri muslihun (orang-orang yang
berbuat soleh). Tentu itu tidaklah mudah. Kiekegard menuliskan problem
eksistensialis dalam sebuah buku berjudul The
Concept of Anxiety (Konsep kegelisahan). Filosof ini mengatakan, hidup
adalah pilihan, namun pilihan ini bukan reaksi atas kondisi sejarah atau produk
lingkungan seperti kata Hegel, sang penganut idealis. Kebebasan bagi sang
eksistensialis, Kiekegard, adalah pilihan hidup yang gratis dan bebas, namun
pada saat bersamaan mendatangkan kecemasan atau ketakutan dalam diri.
Masih
dalam kerangka eksistensialis, ijinkan saya mempertegas keyakinan bahwa agama
bukanlah instrumen persaingan, melainkan instrumen kepeloporan. Oleh karena
itu, agama yang hanif tidak hanya sibuk untuk melahirkan pedoman ethis, namun
agama itu pastilah juga menyuguhkan gelora ethos kepada penganutnya, kendati
bagaimanapun jua situasi dan kondisi mereka. Agama yang hanif tidak hanya
memuat aturan, melainkan juga memuat banyak kebijakan dan inspirasi untuk maju
ke depan, keluar dari kubangan nestapa kehidupan. Pun kebijakan-kebijakan yang
dihadirkan oleh agama hanif, bukanlah reaksi idealis yang dilahirkan oleh
kondisi sejarah dan lingkungan budaya manusia. Agama yang hanif, meneruskan
kebijakan-kebijakan perennial yang menyambungkan anak-anak tangga peradaban.
Dalam istilah Kiekegard, menyelami keberagamaan dengan demikian meniscayakan
munculnya anxiety (kegelisahan) dan
ketakutan dalam diri. Al-Qur’an memperkenalkan konsep serupa (namun berbeda
juga), yaitu konsep taqwa yang secara umum diartikan takut, menjaga dan
memelihara. Muttaqin, dalam pengertian eksistensialis, dapat diartikan sebagai
orang yang mampu mengendalikan rasa takut, orang yang mampu menjaga,
memelihara.
Dengan
menggeser pertanyaanya non-produtif menuju pertanyaan-pertanyaan produktif bagi
kehidupan berbangsa dan bernegeri, maka keislaman kita niscaya menjadi jalan
lurus nan asyik (nikmat) untuk bertuhan, berbangsa, berbudaya dan berperadaban.
Untuk menjadi bangsa yang makmur, adil dan beradab, bangsa Indonesia tidak bisa
berkaca atau meniru bangsa lain. Ia harus mengenali jatidirinya dari masa lalu,
agar bisa melangkah mantap menuju masa depan. Sebuah peradaban tidak muncul
dalam satu masa saja, ia merupakan lanjutan dari peradaban masa-masa
sebelumnya. Jika bangsa ini menghendaki kemakmuran semata, maka bisalah berkaca
dari negara-negara berideologi liberal. Jika bangsa ini menghendaki keadilan
semata, maka bisalah berkaca dari negara-negara berideologi komunis. Namun jika
bangsa Indonesia bersikukuh mewujudkan suatu bangsa yang makmur, adil dan
beradab, maka kita harus menuntaskan kegelisahan akan peradaban bangsa ini
sebelumnya, lalu bergerak ke tengah mensinergikan seluruh energi anak bangsa
untuk maju menuju kemakmuran dan keadilan dalam waktu bersamaan.
Lalu
tebak, dengan apa dan bagaimana kita bisa mengawali semua itu ?
Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari GTK
Madrasah yang mempromosikan sikap moderat dalam pendidikan madrasah.
Kegelisahan-kegelisahan di dalamnya dimaksudkan untuk secara produktif
mempersatukan energi anak-anak bangsa, agar mampu mewujudkan kehidupan bangsa
Indonesia yang beradab, adil dan makmur. Semoga bermanfaat.
Sumber : Buku Moderasi Beragama di Indonesia Jilid 4 : Upaya Rekonstruksi Melalui Pendidikan. 2020 Bandung : Azkiya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar diharapkan bersifat membangun dalam rangka pengembangan keilmuan Bimbingan dan Konseling. Kami sampaikan terima kasih