Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Ketua Komisi Bidang kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
Dalam konteks masyarakat majemuk, seperti halnya di
Indonesia, berpikir moderat dan lapang dada dalam beragama menjadi sebuah
keniscayaan jika kita merindukan suasana penuh ketenangan dan harmoni
sebagaimana dicita-citakan dalam ajaran Islam, menjadi rahmat bagi seluruh
alam. Sikap moderat hanya dapat dicapai jika kita mampu melihat persoalan dari
beragam sudut pandang atau sering disebut dengan interdisciplinary,
multidisciplinary, transdisciplinary, dan cross-disciplinary.
Perspektif ini menuntut kita untuk mengesampingkan atau menghilangkan pola
berpikir ad hoc, fragmental atau ego sektoral. Kita tidak bisa lagi
memaksakan sudut pandang kita dalam melihat persoalan, apalagi menganggap pihak
lain salah dan harus dilenyapkan. Perspektif ini menuntut sikap open-minded,
lapang dada, toleran, humble, dan respect others. Sikap ini
relevan dengan paradigma pendidikan abad ke-21 yaitu critical thinking and
problem solving, creativity, collaboration dan communication.
Pendidikan merupakan alat paling ampuh untuk
memecahkan problem realitas dalam masyarakat majemuk. Pendidikan seharusnya
mampu melakukan proses transformasi diri dan transformasi sosial bagi semua
peserta didik. Hanya saja, faktanya, sebagaimana disinyalir oleh SETARA
Institute, praktik pendidikan mempunyai andil terbentuknya sikap intoleran bagi
sebagian masyarakat di Indonesia. Jika hal ini tidak segera dicermati dan
diselesaikan segera, maka akan berdampak panjang bagi masa depan bangsa,
terutama umat beragama. Karena itu, saatnya praktik pendidikan [agama]
melakukan paradigm shift dari pola eksklusif menjadi inklusif, dari
model uniformity menjadi multiformity, dan indoktrinatif menuju critical
thinking. Saatnya mengembalikan spiritualitas pendidikan, bahwa the
heart of education is education of the heart, inti pendidikan adalah
pendidikan hati. Pendidikan yang menekankan dimensi kognitif-formalis sudah
tidak relevan dan tidak cukup lagi. Pendidikan harus mampu membiasakan setiap
peserta didik engaged dalam memecahkan problem realitas.
Berdasarkan pemikiran di atas, harus ada perubahan
pendekatan dan strategi pembelajaran dalam konteks masyarakat majemuk agar
sikap moderat dalam beragama dapat diwujudkan. Paling tidak ada lima pendekatan
yang perlu ditekankan dalam pembiasaan sikap moderat peserta didik di lembaga
pendidikan khususnya madrasah. Pendekatan pertama adalah keteladanan.
Keteladanan menjadi yang terpenting dalam pembiasaan sikap moderat dalam
beragama. Peserta didik membutuhkan role model yang moderat, yang dilihat
setiap hari, sebab moderasi bukan untuk sekedar dibicarakan secara diskursif,
namun harus benar-benar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Keteladanan yang paling penting adalah dari orang tua dan guru, sebab peserta
didik setiap hari bersama mereka. Moderate values are caught, not taught.
Nilai-nilai moderat itu dimodelkan, dicontohkan, dipraktikkan dan diamalkan
secara langung, bukan diajarkan.
Pendekatan kedua adalah dialogis, argumentatif dan
kritis. Peserta didik harus dibiasakan berdialog. Dialog hanya dapat dilakukan
jika kita mengakui bahwa ada entitas lain yang berbeda dengan kita. Setiap
orang mempunyai ego dan kebiasaan berbeda. Hal ini antara lain disebabkan oleh
pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki berbeda sehingga mempunyai ‘urf
yang berbeda. Karena itu kita perlu li-ta’arafu, saling mengenal dan
memahami ‘urf setiap orang yang kita hadapi. Ketika berdialog setiap
peserta didik perlu dibiasakan memberikan argumen dan reasoning yang
tepat, tidak asal berbicara tanpa data dan fakta. Pola berpikir pokoke
sangat tidak relevan. Pola berpikir argumentatif ini mensyarakatkan budaya
literasi yang cukup, setiap peserta didik harus dibiasakan membaca secara
kritis. Mereka perlu memiliki higher order thinking skills (HOTS), bukan
lower order thinking skills (LOTS). mereka harus mempunyai critical
consciousness, bukan naive consciousness apalagi magical
consciousness. Kesadaran kritis ini akan mengantarkan setiap peserta didik
aktif memberikan solusi dari setiap persoalan yang ada, menjadi problem
solver, bukan part of the problem apalagi trouble maker.
Pendekatan ketiga yang perlu ditekankan dalam proses
pendidikan adalah multi-references dan multi-perspectives. Hal
ini mengingatkan pandangan Ziba-Mir-Hossaini dan Howard Gardner tentang multiple
layers dan multiple intelligences. Menurut Hossaini, setiap orang
mempunyai lapisan diri yang majemuk. Hal ini dapat dilihat dari aspek
fisikalnya seperti wajah, kulit, rambut, tinggi badan maupun berat badan. Selain
aspek fisik ada dimensi jenis kelamin, kondisi geografis, ekonomi, sosial,
budaya, agama, dan politik. Jika berbagai lapisan yang melekat dalam diri
setiap orang ini tidak kita sadari dan pahami dapat menimbulkan masalah di
masyarakat. Pandangan Gardner tentang kecerdasan majemuk mengingatkan kita
tentang jenis kecerdasan yang dimiliki setiap orang berbeda. Kita tidak mungkin
mengukur kehebatan seseorang hanya dari satu sudut pandang saja sebab hal ini
sama saja tidak menghargai keunikan dan keistimewaan tiap orang. Kedua ilmuwan
tersebut menekankan pentingnya mempunyai perspektif yang beragam dalam melihat
persoalan. Pendekatan ini perlu dibiasakan kepada setiap peserta didik. Tradisi
membaca banyak sumber atau literatur perlu ditekankan di lembaga pendidikan.
Dalam konteks studi agama, peserta didik perlu dibiasakan membaca agama dari
banyak perspektif, melalui cross-reference dan multi-reference,
bukan hanya dari sudut pandang Islam tapi juga dari agama lain.
Pendekatan keempat yang perlu dibiasakan kepada
semua peserta didik di lembaga pendidikan terutama madrasah adalah perspektif
plural, multikulktural dan interkultural. Ketiga pola berpikir tersebut penting
sebab kita hidup dalam konteks masyarakat yang majemuk, terlebih saat ini kita
berada pada global village, borderless world, di mana setiap
orang tidak bisa lagi menutup diri dari perjumpaan dan pergaulan dengan budaya
lain. Revolusi industri 4.0 menjadikan kita sebagai global citizen yang
harus siap mental hidup bersama orang lain yang beragam identitas. Revolusi dalam
bidang teknologi informasi dan komunikasi menjadikan kita terhubung dengan
siapa pun melalui internet of things dan internet of people,
semua serba internet. Mau tidak mau kita harus siap hidup bersama, secara
virtual, dengan identitas budaya dan agama yang beragam. Yang diperlukan adalah
sikap mental untuk menerima (accepting) fakta keragaman tersebut. Tidak
sekedar menerima, kita juga harus mampu mengelola (managing) dan bahkan
merayakan (celebrating) keragaman tersebut menjadi rahmat dan positif
bagi kehidupan. Dengan sikap ini kita mampu menjadi driver bukan passsanger,
menjadi positive trendsetter, bukan follower.
Pendekatan pembelajaran terakhir yang perlu
dibiasakan kepada peserta didik adalah reshaping behavior. Pendekatan
ini sangat relevan dengan problem-based learning, discovery learning dan
contextual teaching and learning. Melalui pendekatan ini setiap peserta
didik dibiasakan untuk melakukan self-awareness dan self-regulation,
bahkan self-leadership. Kemampuan menyadari diri sendiri dan mengelola
diri ini penting dimiliki setiap peserta didik agar mereka mampu melakukan self-mapping
dan aktif mencari solusi dari setiap persoalan yang dia hadapi. Ketika mereka
mampu memecahkan setiap persoalan yang dihadapi diharapkan mereka dapat menjadi
model atau teladan positif bagi sekitar sehingga dapat menularkan kemampuan
tersebut ke lingkungan sekitar. Mereka harus dibiasakan menjadi agen penggerak
perubahan positif yang menularkan nilai-nilai moderasi. Indonesia saat ini
membutuhkan banyak agen penggerak perubahan melalui pendidikan. Jika proses
pendidikan dapat membiasakan peserta didik sebagai agen moderasi beragama, maka
mereka dapat diandalkan sebagai calon pemimpin masa depan sebab tantangan
bangsa Indonesia semakin complicated dan sophisticated yang
membutuhkan pemimpin kritis, kreatif dan humanis yang mampu creating new
positive values untuk bangsa dan dunia.
Terbitnya buku moderasi beragama yang dibuat oleh
para praktisi pendidikan di madrasah ini layak diapresiasi. Karya ini
memberikan banyak perspektif tentang moderasi beragama meskipun disampaikan
secara singkat. Paling tidak buku ini mengingatkan kita bahwa harus ada yang
berinisiatif memulai perubahan dengan menawarkan gagasan yang dapat memberikan
kontribusi dalam menyelesaikan problem masyarakat majemuk. Sebagai sebuah
lontaran awal tentu buku ini harus dijadikan sebagai triger yang perlu
pendalaman dan elaborasi lebih jauh, terutama ketika dipraktikkan di lembaga
pendidikan sebab setiap tempat mempunyai problem dan tantangan berbeda. Menghadapi
problem masyarakat majemuk tidak ada resep atau solusi tunggal yang dapat kita
berikan. Karena itu, semakin banyak gagasan ditawarkan ke publik semakin banyak
inspirasi yang akan dapat diambil. Semoga madrasah dapat menjadi pelopor
perubahan dalam moderasi beragama. Hal ini hanya dapat dilakukan jika para guru
madrasah menjadi living moderate and inclusive model.
sumber : Buku Moderasi Beragama Jilid 4 : Upaya Rekonstruksi Melalui Pendidikan. 2020. Bandung : Azkiya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar diharapkan bersifat membangun dalam rangka pengembangan keilmuan Bimbingan dan Konseling. Kami sampaikan terima kasih