Minggu, 04 Juli 2021

PROLOG PENDEKATAN MODERASI BERAGAMA DALAM PENDIDIKAN

 

Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah

Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Ketua Komisi Bidang kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)

 

Dalam konteks masyarakat majemuk, seperti halnya di Indonesia, berpikir moderat dan lapang dada dalam beragama menjadi sebuah keniscayaan jika kita merindukan suasana penuh ketenangan dan harmoni sebagaimana dicita-citakan dalam ajaran Islam, menjadi rahmat bagi seluruh alam. Sikap moderat hanya dapat dicapai jika kita mampu melihat persoalan dari beragam sudut pandang atau sering disebut dengan interdisciplinary, multidisciplinary, transdisciplinary, dan cross-disciplinary. Perspektif ini menuntut kita untuk mengesampingkan atau menghilangkan pola berpikir ad hoc, fragmental atau ego sektoral. Kita tidak bisa lagi memaksakan sudut pandang kita dalam melihat persoalan, apalagi menganggap pihak lain salah dan harus dilenyapkan. Perspektif ini menuntut sikap open-minded, lapang dada, toleran, humble, dan respect others. Sikap ini relevan dengan paradigma pendidikan abad ke-21 yaitu critical thinking and problem solving, creativity, collaboration dan communication.

Pendidikan merupakan alat paling ampuh untuk memecahkan problem realitas dalam masyarakat majemuk. Pendidikan seharusnya mampu melakukan proses transformasi diri dan transformasi sosial bagi semua peserta didik. Hanya saja, faktanya, sebagaimana disinyalir oleh SETARA Institute, praktik pendidikan mempunyai andil terbentuknya sikap intoleran bagi sebagian masyarakat di Indonesia. Jika hal ini tidak segera dicermati dan diselesaikan segera, maka akan berdampak panjang bagi masa depan bangsa, terutama umat beragama. Karena itu, saatnya praktik pendidikan [agama] melakukan paradigm shift dari pola eksklusif menjadi inklusif, dari model uniformity menjadi multiformity, dan indoktrinatif menuju critical thinking. Saatnya mengembalikan spiritualitas pendidikan, bahwa the heart of education is education of the heart, inti pendidikan adalah pendidikan hati. Pendidikan yang menekankan dimensi kognitif-formalis sudah tidak relevan dan tidak cukup lagi. Pendidikan harus mampu membiasakan setiap peserta didik engaged dalam memecahkan problem realitas.

Klik

Berdasarkan pemikiran di atas, harus ada perubahan pendekatan dan strategi pembelajaran dalam konteks masyarakat majemuk agar sikap moderat dalam beragama dapat diwujudkan. Paling tidak ada lima pendekatan yang perlu ditekankan dalam pembiasaan sikap moderat peserta didik di lembaga pendidikan khususnya madrasah. Pendekatan pertama adalah keteladanan. Keteladanan menjadi yang terpenting dalam pembiasaan sikap moderat dalam beragama. Peserta didik membutuhkan role model yang moderat, yang dilihat setiap hari, sebab moderasi bukan untuk sekedar dibicarakan secara diskursif, namun harus benar-benar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Keteladanan yang paling penting adalah dari orang tua dan guru, sebab peserta didik setiap hari bersama mereka. Moderate values are caught, not taught. Nilai-nilai moderat itu dimodelkan, dicontohkan, dipraktikkan dan diamalkan secara langung, bukan diajarkan.

Pendekatan kedua adalah dialogis, argumentatif dan kritis. Peserta didik harus dibiasakan berdialog. Dialog hanya dapat dilakukan jika kita mengakui bahwa ada entitas lain yang berbeda dengan kita. Setiap orang mempunyai ego dan kebiasaan berbeda. Hal ini antara lain disebabkan oleh pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki berbeda sehingga mempunyai ‘urf yang berbeda. Karena itu kita perlu li-ta’arafu, saling mengenal dan memahami ‘urf setiap orang yang kita hadapi. Ketika berdialog setiap peserta didik perlu dibiasakan memberikan argumen dan reasoning yang tepat, tidak asal berbicara tanpa data dan fakta. Pola berpikir pokoke sangat tidak relevan. Pola berpikir argumentatif ini mensyarakatkan budaya literasi yang cukup, setiap peserta didik harus dibiasakan membaca secara kritis. Mereka perlu memiliki higher order thinking skills (HOTS), bukan lower order thinking skills (LOTS). mereka harus mempunyai critical consciousness, bukan naive consciousness apalagi magical consciousness. Kesadaran kritis ini akan mengantarkan setiap peserta didik aktif memberikan solusi dari setiap persoalan yang ada, menjadi problem solver, bukan part of the problem apalagi trouble maker.

Pendekatan ketiga yang perlu ditekankan dalam proses pendidikan adalah multi-references dan multi-perspectives. Hal ini mengingatkan pandangan Ziba-Mir-Hossaini dan Howard Gardner tentang multiple layers dan multiple intelligences. Menurut Hossaini, setiap orang mempunyai lapisan diri yang majemuk. Hal ini dapat dilihat dari aspek fisikalnya seperti wajah, kulit, rambut, tinggi badan maupun berat badan. Selain aspek fisik ada dimensi jenis kelamin, kondisi geografis, ekonomi, sosial, budaya, agama, dan politik. Jika berbagai lapisan yang melekat dalam diri setiap orang ini tidak kita sadari dan pahami dapat menimbulkan masalah di masyarakat. Pandangan Gardner tentang kecerdasan majemuk mengingatkan kita tentang jenis kecerdasan yang dimiliki setiap orang berbeda. Kita tidak mungkin mengukur kehebatan seseorang hanya dari satu sudut pandang saja sebab hal ini sama saja tidak menghargai keunikan dan keistimewaan tiap orang. Kedua ilmuwan tersebut menekankan pentingnya mempunyai perspektif yang beragam dalam melihat persoalan. Pendekatan ini perlu dibiasakan kepada setiap peserta didik. Tradisi membaca banyak sumber atau literatur perlu ditekankan di lembaga pendidikan. Dalam konteks studi agama, peserta didik perlu dibiasakan membaca agama dari banyak perspektif, melalui cross-reference dan multi-reference, bukan hanya dari sudut pandang Islam tapi juga dari agama lain.

Pendekatan keempat yang perlu dibiasakan kepada semua peserta didik di lembaga pendidikan terutama madrasah adalah perspektif plural, multikulktural dan interkultural. Ketiga pola berpikir tersebut penting sebab kita hidup dalam konteks masyarakat yang majemuk, terlebih saat ini kita berada pada global village, borderless world, di mana setiap orang tidak bisa lagi menutup diri dari perjumpaan dan pergaulan dengan budaya lain. Revolusi industri 4.0 menjadikan kita sebagai global citizen yang harus siap mental hidup bersama orang lain yang beragam identitas. Revolusi dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi menjadikan kita terhubung dengan siapa pun melalui internet of things dan internet of people, semua serba internet. Mau tidak mau kita harus siap hidup bersama, secara virtual, dengan identitas budaya dan agama yang beragam. Yang diperlukan adalah sikap mental untuk menerima (accepting) fakta keragaman tersebut. Tidak sekedar menerima, kita juga harus mampu mengelola (managing) dan bahkan merayakan (celebrating) keragaman tersebut menjadi rahmat dan positif bagi kehidupan. Dengan sikap ini kita mampu menjadi driver bukan passsanger, menjadi positive trendsetter, bukan follower.

Pendekatan pembelajaran terakhir yang perlu dibiasakan kepada peserta didik adalah reshaping behavior. Pendekatan ini sangat relevan dengan problem-based learning, discovery learning dan contextual teaching and learning. Melalui pendekatan ini setiap peserta didik dibiasakan untuk melakukan self-awareness dan self-regulation, bahkan self-leadership. Kemampuan menyadari diri sendiri dan mengelola diri ini penting dimiliki setiap peserta didik agar mereka mampu melakukan self-mapping dan aktif mencari solusi dari setiap persoalan yang dia hadapi. Ketika mereka mampu memecahkan setiap persoalan yang dihadapi diharapkan mereka dapat menjadi model atau teladan positif bagi sekitar sehingga dapat menularkan kemampuan tersebut ke lingkungan sekitar. Mereka harus dibiasakan menjadi agen penggerak perubahan positif yang menularkan nilai-nilai moderasi. Indonesia saat ini membutuhkan banyak agen penggerak perubahan melalui pendidikan. Jika proses pendidikan dapat membiasakan peserta didik sebagai agen moderasi beragama, maka mereka dapat diandalkan sebagai calon pemimpin masa depan sebab tantangan bangsa Indonesia semakin complicated dan sophisticated yang membutuhkan pemimpin kritis, kreatif dan humanis yang mampu creating new positive values untuk bangsa dan dunia.

Terbitnya buku moderasi beragama yang dibuat oleh para praktisi pendidikan di madrasah ini layak diapresiasi. Karya ini memberikan banyak perspektif tentang moderasi beragama meskipun disampaikan secara singkat. Paling tidak buku ini mengingatkan kita bahwa harus ada yang berinisiatif memulai perubahan dengan menawarkan gagasan yang dapat memberikan kontribusi dalam menyelesaikan problem masyarakat majemuk. Sebagai sebuah lontaran awal tentu buku ini harus dijadikan sebagai triger yang perlu pendalaman dan elaborasi lebih jauh, terutama ketika dipraktikkan di lembaga pendidikan sebab setiap tempat mempunyai problem dan tantangan berbeda. Menghadapi problem masyarakat majemuk tidak ada resep atau solusi tunggal yang dapat kita berikan. Karena itu, semakin banyak gagasan ditawarkan ke publik semakin banyak inspirasi yang akan dapat diambil. Semoga madrasah dapat menjadi pelopor perubahan dalam moderasi beragama. Hal ini hanya dapat dilakukan jika para guru madrasah menjadi living moderate and inclusive model.

sumber : Buku Moderasi Beragama Jilid 4 : Upaya Rekonstruksi Melalui Pendidikan. 2020. Bandung : Azkiya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar diharapkan bersifat membangun dalam rangka pengembangan keilmuan Bimbingan dan Konseling. Kami sampaikan terima kasih