Membicarakan sekilas tentang perkembangan Moderasi Beragama di Indonesia setidaknya tujuan utama yang mendasari program hadir untuk menciptakan kerukunan umat beragama di Indonesia dengan memahami makna agama pada masing-masing pemeluknya secara mendalam dan luas, sehingga dapat dijadikan sebagai bagian modal untuk membangun negara kesatuan Indonesia, dalam kerangka eksistensialis mempertegas keyakinan, bahwa agama bukanlah instrumen persaingan, melainkan instrumen kepeloporan. Agama yang hanif, meneruskan kebijakan-kebijakan perennial yang menghubungkan anak tangga peradaban. Dengan menggeser perilaku tidak produktif menuju produktif bagi kehidupan berbangsa dan bernegeri, maka keIslaman kita niscaya menjadi jalan lurus dalam landasan bertuhan, berbangsa, berbudaya dan berperadaban tanpa perlu meniru bangsa lain melainkan harus mampu mengenali jati diri bangsa dari masa lalu, agar bisa melangkah mantap menuju masa depan.
Usaha mencapai Indonesia yang maju dalam peradaban dunia agar menjadi kenyataan, maka perlu mengembangkan jati diri bangsa yang kuat dan salah satunya usaha yaitu mengembangkan kebudayaan yang bernilai luhur serta religius. Tentu dalam hal ini diperlukan sinergi segenap komponen bangsa dalam proses pembangunan dan sikap bangsa Indonesia yang bangga terhadap identitas budaya nasional yang dimiliki karena Indonesia memiliki kekhasan budaya yang beraneka ragam (plural). Kemajemukan budaya yang ada di Indonesia dapat diarahkan menjadi kekuatan besar serta wajib untuk diperhitungkan sebagai modal atau potensi pembangunan bangsa, baik hal tersebut mencakup perbedaan suku, ras, agama, dan sebagainya. Fakta ironis tentang lemahnya ketahanan budaya yang sedang dihadapi bangsa Indonesiia seringkali menjadi kendala hambatan dalam pembangunan nasional. Perbedaan budaya justru dijadikan bahan untuk memperpecah bangsa, pertikaian antar suku, percecokan antar agama, dan lain-lain. Maka hendaknya perlu mengembangkan kemampuan sinergi kebersamaan dalam membangun keluasan berpikir yang matang, jernih, rasional serta tidak mudah terprovokasi adanya berita hoaks yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Kemampuan dalam memperkuat filter budaya dari luar Indonesia yang bersifat negatif sangat diperlukan dan kematangan pertimbangan dalam mengadopsi nilai-nilai universal yang luhur dengan mengedepankan sikap adaptif-kritis terhadap budaya negatif serta memiliki kemampuan lebih dalam mengadopsi budaya positif-produktif yang dibentuk untuk menjadi pondasi kuat pada peserta didik.
Klik
Konsep moderasi beragama dibangun sebenarnya mengedapankan ranah berpikir memahami agama bukan dalam artian sempit ataupun sebaliknya terlalu bebas, Dalam kehidupan bernegara, memelihara prinsip moderasi beragama sangat penting karena pada hakikatnya menjaga negara tetap kondusif. Sebab kecenderungan pengamalan ajaran agama yang berlebihan atau melampau batas, seringkali menyisakan klaim kebenaran secara sepihak. Moderasi beragama bukan pula diartikan secara bebas dengan dalih mengedepankan toleransi semaunya. Sikap saling menghormati antar pemeluk agama yang berlainan dan hidup berdampingan dalam masyarakat yang majemuk dalam hal ini tidak mencampuradukan hal-hal yang berkaitan dengan i’tiqadiyah atau akidah.
Di Indonesia sendiri konsep membangun kerukunan bangsa melalui program Tri kerukunan yang meliputi meliputi tiga kerukunan, yaitu: Kerukunan intern umat beragama, Kerukunan antar umat beragama, dan Kerukunan antara umat beragama dan pemerintah. Menipisnya semangat nasionalisme bangsa juga sebagai akibat dari lemahnya kemampuan bangsa dalam mengelola keragaman (pluralitas) yang menjadi ciri khas obyektif bangsa Indonesia. Hal tersebut tersebut tercermin dari menguatnya kohesifitas kelompok, etnik, dan agama, yang terkadang berujung pada konflik sosial dan bahkan disintegrasi bangsa. Sebagai akibatnya terjadi suatu proses degradasi terhadap semangat kejuangan dan pengorbanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal yang diperlukan dalam merubah tatanan melalui pemberdayaan tentang nilai (value) yaitu bagaimana manusia diperlukan sebagai “whole human being” (manusia hakiki) yang dapat berafiliasi pada nilai-nilai positif dan bukan hanya bersifat hitam dan putih ansich. Merujuk pada pedoman umat Islam maka perlu adanya strategi khusus dalam pengembangan kepribadian muslim sebagai bagian usaha secara sadar yang dilakukan individu untuk memaksimalkan daya-daya insaninya, agar manusia mampu merealisasikan dan mengaktualisasikan diri menjadi lebih baik untuk memperoleh kualitas hidup yang bermanfaat demi kepentingan dunia maupun di akhirat. Pembentukan kepribadian yang memiliki porsi seimbang dengan nilai-nilai spritual pada dasarnya bertujuan sebagai upaya untuk mengubah sikap ke arah implementasi nilai-nilai keislaman. Perubahan sikap, tentunya tidak terjadi secara spontan, semuanya berjalan pada tataran proses yang panjang dan berkesinambungan. Salah satu bagian proses tersebut dapat diwujudkan melalui perubahan yang menghubungkan antara obyek, wawasan, peristiwa atau ide (attitude have referent) dan perubahan sikap harus dipelajari (attitude are learned) sehingga diharapkan adanya keterpaduan dalam hubungan-hubungan tersebut. Manusia terpadu (integratad) Keterpaduan ini merupakan hasil kearifan dan belajar yang berkesinambungan dari pengalaman individu yang mampu menyatukan semua segi kehidupannya dalam satu kesatuan yang utuh, pikiran, perasaan, dan tindakan.
B. Ketahanan Budaya, Ketahanan Nasional Serta Makna Moderasi Agama Dalam Pembangunan Peradaban Bangsa Indonesia
Moderasi beragama atau Islam yang rahmatan lil `alamîn menekankan pentingnya toleransi dan kebebasan beragama dalam kehidupan bersama, belajar dari kehidupan sosial-politik Nabi Muhammad SAW, yang menakjubkan adalah pengalaman kehidupan bersama komunitas Madinah yang plural, dengan kesepakatan dalam dokumen Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) yang sering disebut sebagai dokumen tertulis pertama di kalangan umat manusia yang mengakui kebebasan beragama. Eksperimen Madinah itu, menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial politik yang dibangun atas dasar nir-kekerasan, perdamaian dan toleransi, dengan mengenalkan model pendelegasian wewenang dan kehidupan berkonstitusi.
Ide pokok eksperimen Madinah ialah adanya suatu tatanan sosial politik yang diperintah tidak oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama; tidak oleh prinsip-prinsip ad hoc yang dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip-prinsip yang dilembagakan dalam dokumen yang disepakati oleh semua anggota masyarakat, yang dewasa ini biasa disebut dengan “konstitusi.” Dokumen itu antara lain, memuat tentang “wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama.
Dalam mengimplementasikan nilai-nilai kesatuan wilayah, persatuan bangsa, dan kemandirian bersumber dari NKRI yang dapat meningkatkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara melalui beberapa tataran nilai Islam Washatiyyah (Niswa) antara lain Tawassuth berarti sikap seperti wasit yang mampu menyelesaikan persoalan berdasarkan rule of the game yang disepakati.. Tawazun artinya kemampuan bersikap secara seimbang, tidak berat sebelah. Nilai ini terkait dengan tawassuth. Ketika dihadapkan pada persoalan kita menggunakan beragam sudut pandang atau perspektif, terlebih persoalan yang melibatkan kita secara personal.
Nilai Tasamuh terkait dengan kemampuan bersikap toleran dan menghargai terhadap keragaman. Nilai ini mampu menempatkan kita sebagai pribadi yang menerima kemajemukan sebagai sebuah fakta yang taken for granted dari Allah sehingga perlu dikelola dan dirayakan secara positif. Secara sosial, kita hidup dalam konteks masyarakat yang beragam sebab masyarakat terdiri dari kumpulan individu yang unik dan berbeda. Kita tidak mungkin menyamakan mereka sesuai dengan sudut pandang kita. Dalam unit sosial terkecil pun, yakni keluarga, anggota keluarga kita mempunyai keragaman yang harus kita pahami. Setiap orang mempunyai multiple identities yang perlu dilihat secara utuh menurut mereka. Munculnya banyak prasangka, konflik, ketegangan, dan kerusuhan lebih disebabkan adanya “the clash of ignorances”, benturan ketidaktahuan, kita belum mengenal dan memahami identitas yang dimiliki orang lain.
Nilai Musawah terkait dengan “equal before God”, sama di hadapan Allah. Setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Allah. Yang paling membedakan satu orang dengan orang lain, menurut QS al-Hujurat ayat 13, adalah kualitas ketaqwaannya, “the best in conduct”. Rasulullah pernah mengingatkan dalam sabdanya, “sesungguhnya Allah tidak akan melihat kamu dari wajah dan fisik namun Allah melihat kamu sekalian dari hati dan amal.”. Di dalam hadist lain Rasulullah pernah bersabda, “bukanlah disebut orang kaya yang banyak hartanya, namun yang disebut dengan orang kaya adalah yang kaya hati”. Dengan nilai musawah, kita akan mampu memperlakukan orang lain secara egaliter. Kita tidak mungkin bersikap diskriminatif apalagi menindas pihak lain. Nilai ini berkaitan dengan Ishlah. Dengan ishlah kita mampu melakukan perbaikan, mendamaikan berbagai pihak yang sedang berkonflik, dan melakukan reformasi terhadap berbagai persoalan khususnya pendidikan. Melalui nilai ishlah, kita selalu meningkatkan kualitas diri menjadi lebih baik dan positif. Orang yang mempunyai nilai ini lebih senang membangun daripada merusak.
Nilai Syura terkait dengan kemampuan bersikap demokratis terhadap perbedaan dan keragaman pandangan. Setiap menghadapi persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dilakukan dengan cara musyawarah, menghargai pendapat dan gagasan orang lain terhadap persoalan tersebut. Orang yang mempunyai nilai ini tidak akan bersikap egois apalagi arogan. Nilai ini mendorong kita untuk lebih mendengar dan memahami orang lain yang berbeda. Nilai syura ini berhubungan dengan nilai I’tidal, yaitu kemampuan menempatkan sesuatu pada tempatnya, adil. Bersikap tegak lurus merupakan ciri lain dari i’tidal, tidak melenceng dari tujuan dan arah yang telah disepakati. Orang yang keluar dari kesepakatan bersama akan menimbulkan persoalan sosial. Nilai ini berkaitan dengan tahadlur, mempunyai keadaban publik (public civility).
Nilai Tahadlur mendorong kita sebagai positive trendsetter sehingga diikuti oleh orang lain. Kita mampu membuat perubahan di tengah masyarakat, sebagai change agent, bukan part of the problem, apalagi trouble maker. Nilai selanjutnya yang sangat penting diterapkan dalam kehidupan adalah Aulawiyyah. Orang yang mempunyai nilai ini antara lain ditandai oleh kemampuan membuat prioritas dalam bersikap. Dia mampu membuat peta dan skala prioritas tentang mana yang harus didahulukan dan mana yang tidak. Nilai ini mendorong kita mempunyai sense of urgency dan sense of crisis.. Nilai ini hanya dapat diwujudkan jika kita mempunyai tujuan hidup sebab dengan tujuan tersebut kita akan melangkah sesuai dengan rencana yang telah dibuat, tidak asal melangkah.
Nilai ini sangat relevan dengan Ibtikar dan Tathawwur. Ibtikar terkait dengan pentingnya kreatifitas dan inovasi. Orang yang mempunyai mimpi dan tujuan jelas, akan banyak melakukan terobosan kreatif. Dia tidak akan pantang menyerah karena kegagalan yang dialami. Hidup dia akan dinamis (tathawwur). Nilai tathawwur menjadikan kita mampu menghadapi setiap persoalan dan tantangan hidup secara kreatif. Nilai selanjutnya yaitu Muwathanah yang kurang lebih berarti nasionalisme. Nilai tersebut sangat diperlukan saat ini sebagai identitas bangsa. Di saat kita menghadapi kontestasi dan benturan antar identitas, nilai ini menjadi “faktor pembeda” kita dengan identitas bangsa lain, sebab bangsa Indonesia mempunyai keunikan dan keistimewaan. Nilai ini mendorong kita mempunyai kesadaran konstitusional, ketika melangkah dalam konteks kebangsaan yang dikedepankan adalah kepentingan bangsa, bukan individu atau kelompok. Yang menjadi payung bersama adalah konstitusi yang telah disepakati bersama. Pancasila menjadi common ground bagi setiap warga bangsa. Terahkir tentang nilai Qudwatiyyah terkait dengan kepeloporan atau uswatun hasanah. Bangsa Indonesia membutuhkan banyak teladan yang dapat dijadikan sebagai contoh dan acuan dalam melangkah.
Pada hakikatnya cinta tanah air merupakan merupakan konsepsi pembangunan nasional dalam pencapaian tujuan dan cita-cita bangsa yang berisi ketangguhan serta keuletan dan kemampuan bangsa untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala macam dan bentuk ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan baik yang datang dari dalam maupun luar, yang mengancam dan membahayakan integritas, identitas serta kelangsungan hidup bangsa dan negara.
Nasionalisme, tidak dapat terlepas dari bayang-bayang pengaruh perpecahan dengan melihat berbagai perbedaan atau kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri suku, agama, dan budaya sehingga perlu membangung konsep keseimbangan dan saling keterkaitan antar satu dengan lainnya serta membangun system ketahanan yang bersifat kesemestaan, mencerminkan adanya keterhubungan yang kuat antara kondisi-kondisi tersebut (agama dan budaya) dengan ketahan nasional secara menyeluruh.
Kerukunan umat beragama akan terbangun dan terpelihara dengan baik apabila mampu memahami agama secara luas dan tidak sempit. Wacana penguatan kearifan lokal dalam mengatasi pergeseran nilai-nilai budaya dan agama, bukanlah sesuatu hal yang baru dalam mengatasi problematika keseharian masyarakat. Indonesia sebagai salah satu negara terbesar yang memiliki warisan kebudayaan memiliki peran yang cukup penting dalam memindahkan unsur-unsur kebudayaan dari generasi ke generasi guna memelihara identitas dan melawan pengaruh dari luar yang mengandung kekerasan maupun kebebasan tanpa memperhatikan norma kesantunan.
Dengan adanya kearifan local maka bangsa Indonesia dikenal dengan bangsa yang ramah, rukun, damai, dan saling menghargai perbedaan satu sama lainnya akan tetap terjaga. Nilai kearifan lokal akan memiliki makna apabila tetap menjadi rujukan dalam mengatasi setiap dinamika kehidupan sosial, lebih-lebih lagi dalam menyikapi berbagai perbedaan yang rentan menimbulkan konflik. Keberadaan nilai kearifan lokal justru akan diuji ditengah-tengah kehidupan sosial yang dinamis sehingga menjadi aset utama dalam menciptakan ketahanan nasional.
Hubungan tergambar dalam istilah dimasyarakat pada umumnya, bahwa agama adalah produk langit dan budaya adalah produk bumi. Agama dengan tegas mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia. Sementara budaya memberi ruang gerak manusia untuk senantiasa mengembangkan cipta, rasa, karsa dan karyanya. Terpenting diketahui agama maupun budaya memiliki tujuan yang sama, yakni untuk menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan , peradaban masyarakat yang baik dan berkeadilan.
Menjadi pahlawan bangsa, terutama dalam bertindak maupun bersikap dilandasi moderasi beragama seperti proaktif, goalsetting, prioritas, menang bersama, mendahulukan menghargai orang lain, sinergi, dan mengasah diri terus-menerus sangat penting dibutuhkan dalam membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar. Terpenting diketahui bahwa radikalisme beragama bukanlah monopoli sebuah agama tertentu. Dalam semua agama, hampir bisa dipastikan ada kelompok yang cara beragamanya secara radikal atau sebaliknya Liberal penuh kebebasan semaunya sendiri,
Ideologisasi, identifikasi dan legitimasi memang sangat mungkin menimbulkan kerentanan perpecahan bangsa. Oleh karenanya dibutuhkan tali pengikat yang mampu menyatukannya, salah satu strategi yang bisa digunakan adalah dengan menumbuhkan kesadaran dan memupuk rasa cinta kepada tanah air, atau apa yang kemudian disebut sebagai nasionalisme. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, ada banyak pihak yang seharusnya terlibat dalam implementasi moderasi beragama di Indonesia seperti keluarga, sekolah/madrasah, pemerintah, tokoh masyarakat dan agama, instasi pemerintah, dll. Sinergi berarti kemampuan seseorang dalam membangun kebersamaan dan melihat orang lain dari aspek kelebihan. Dalam sinergi kelemahan dapat diubah sebagai kelebihan selanjutnya kelebihan dan potensi yang miliki tersebut kemudian diolah menjadi sebuah kekuatan bersama membangun peradaban bangsa dan negara Indonesia.
Moderasi beragama yang saat ini dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa dan masyarakat global mensyaratkan perspektif beragam dalam memahami ajaran agama. Munculnya pemahaman yang cenderung menganggap kelompoknya paling benar dan menganggap pihak lain sebagai salah merupakan cermin perspektif tunggal yang digunakan kelompok tersebut dalam melihat persoalan, jika dibiarkan begitu saja secara berulang terjadi maka akan memunculkan benturan antar perspektif dalam kehidupan berbangsa. Sedangkan ketika perbedaan sudut pandang hadir dilandasi spirit untuk belajar dengan berbagai pihak yang mempunyai sudut pandang beragam serta tidak hanya menganggap dirinya paling benar, maka hal tersebut perlu diapresiasi, karena sikap tersebut akan menghasilkan wawasan berbangsa yang dinamis dan harmonis.
Jika dikembalikan pada nilai tertinggi dari ajaran Islam, yakni rahmatan-lil-‘alamin mensyaratkan kemampuan mengendalikan diri dan menghargai beragam pendapat. Kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain, patut kita renungkan dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari terutama ketika kita hidup di ruang publik yang heterogen. Dalam konteks masyarakat majemuk kita perlu lebih memahami ajaran Islam dari berbagai pendekatan sehingga ketika menghadapi persoalan, jawaban dan cara kita memecahkannya tidak terjebak pada model binary opposition, hitam putih semata, sebab ada banyak variabel yang harus kita gunakan dalam melihat persoalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar diharapkan bersifat membangun dalam rangka pengembangan keilmuan Bimbingan dan Konseling. Kami sampaikan terima kasih