Dr. Triyono, M.Pd (Dosen Pascasarjana BK UM)
Kita
semua terbiasa dengan siswa-siswa yang tidak mereaksi terhadap prosedur
pendisiplinan secara tradisional. Kali ini kita dihadapkan pada cara atau pendekatan non-aversif [1]
yakni melalui (1) menghindari pengaruh sisi negatif sehubungan dengan stimulus
aversif [2]
dan (2) meningkatkan tingkahlaku sosial yang dapat dikembangkan melalui
intervensi non-aversif.
Respon-respon
yang tidak menyenangkan tertentu dari beberapa siswa tidak dengan mudah dan
cepat dapat diubah dengan menggunakan metode non-aversif. Dalam hal ini, punishment seringkali cepat efektif
untuk menyelesaikan tingkahlaku merusak atau berbahaya, namun tidak efektif
untuk menyelesaikan masalah lainnya (Matson dan DiMorenso (1984). Di samping
itu ada peringatan dari Cooper, dkk (1987) bahwa “jangan menggunakan punishment, terutama dalam situasi dimana prosedur
lain telah dicoba dan tidak berhasil, padahal yang sebenarnya prosedur lain itu
efektif, hanya saja situasinya klien dalam keadaan bingung dan tidak bahagia”.
Dalam sejumlah
catatan lain ditunjukkan bahwa seringkali prosedur punishment itu menyakitkan dan kalau prosedurnya kurang instruktif,
maka hasilnya akan kurang berpengaruh terhadap perilaku; di samping itu metode
aversif seringkali tidak praktis dan tidak etis.
A. DOKTRIN ALTERNATIF SEDIKIT PEMBATASAN
Filosofi efektif
yang mengatur pemilihan metode aversif atau nonaversif untuk mengurangi masalah
tingkahlaku dikemukakan dalam “doktrin alternatif sedikit pembatasan”.
Doktrin
tersebut berupa hirarki pembatasan sebagai berikut:
1.
Gunakan pendekatan
reinforcement diferensial.
2. Pendekatan reinforcement
diferensial yang memberikan reinforcement secara bertahap dalam waktu yang
relatif lama sehingga respon-respon merusak tidak muncul.
3. Prosedur time-out yang tidak
ekslusi yang didalamnya semua sumber reinforcement menyertai respon merusak dihindarkan.
4. Time-out ekslusi dimana siswa
diisolasi dalam ruang yang terhindar dari stimulasi dan kontak interpersonal.
5. Overkoreksi, yang melaluinya
siswa-siswa membentuk
pembatasan-pembatasan menyertai tingkahlaku sosial yang merusak dan secara
berulang-ulang melakukan alternatif tingkahlaku sosial yang positif.
6. Terakhir, menampilkan
konsekuensi aversif yang didalamnya unsur bahaya yang menyertai tingkahlaku
yang merugikan ditunjukkan.
B. PENGERTIAN PUNISHMENT
Definisi teknis
tentang punishment berbeda dari definisi yang berlaku pada masyarakat pada
umumnya. Umumnya, punishment
diartikan secara sederhana melalui memberikan konsekuensi yang tidak memuaskan
menyertai tingkahlaku yang salah.
Definisi teknik
mencakup setiap stimulus yang dipersepsi oleh punisher menyenangkan atau tidak
menyenangkan. Secara lebih jelas punishment diartikan sebagai berikut:
Punishment is the reduction
of a target behavior following the contingent presentation of a stimulus. A
stimulus that consistently result in the
reduction of a target behavior is said
to punish that behavior.
(Punishment merupakan
pengurangan tingkahlaku sasaran yang
menyertai munculnya suatu stimulus. Stimulus yang terus menerus menghasilkan
pengurangan tingkahlaku sasaran disebut peristiwa menghukum tingkahlaku
tersebut).
Perbedaan
definisi umum dan definisi teknis tentang
punishment penting bagi guru atau konselor agar menemukan metode yang
efektif untuk mengurangI tingkahlaku yang
merusak. Hanya menggunakan definisi yang populer akan menyebabkan Anda
mengekspos siswa ke dalam kondisi belajar yang tidak menyenangkan tanpa ada
pengaruh positifnya.
Definisi teknis
akan membawa akibat mengurangi tingkahlaku yang tidak diinginkan. Cara-cara
seperti menegur, mencegah, dan isolasi hanya digunakan bila dapat mengurangi
timbulnya tingkahlaku sasaran.
C. KLASIFIKASI PUNISHMENT
Pada
bagian sebelumnya telah dibahas bahwa kejadian-kejadian aversif
diklasifikasikan menjadi dua yaitu kejadian yang terkondisi dan tidak
terkondisi. Matson dan DiLorenso mengemukakana tiga bentuk umum sstimulasi aversif yang digunakan dalam
merancang program punishment yaitu (1) menarik kejadian-kejadian yang
menimbulkan kepuasan, (2) punishment berdasarkan hukuman dan usaha, (3)
menampilkan stimulus aversif.
1. Menarik Kejadian-Kejadian Yang Menimbulkan
Kepuasan
Pendekatan ini
berupa menjauhkan stimulus yang diinginkan dari individu. Pendekatan umum dari
program ini adalah (1) exclusion and
nonexclusion time-out, yakni semua
sumber kepuasan ditarik dari dekat individu, dan (2) response cost, yakni stimulus yang diinginkan seperti makanan,
waktu santai, mainan, uang diukur berdasarkan respon sasaran.
2. Punishment Berdasarkan Hukuman Dan Usaha
Kategori
punishment ini dimaksudkan untuk mengikat individu dalam penggunaan fisik menyertai respon sasaran, yaitu yang
mengurangi kekuatan respon sasaran untuk
waktu mendatang. Untuk itu digunakan overkoreksi restitusional dan praktik
positif (overcorrection restitution and
positive practice).
3. Menampilkan Stimulus Aversif.
Kategori
punishment ini mencakup menghasilkan stimulus berbahaya (note: gibeng, gibas, dll) menyertai
tingkahlaku sasaran. Pendekatan umum dari kategori punishment ini adalah (1)
menempatkan tetesan limun pada lidah seseorang, (2) menempatkan individu seolah
bernafas dalam amonia, (3) mendayung ataua paddling,
dan (4) menyemprotkan kabut air (biasanya polisi ya
saat ada demo) pada individu.
Pendekatan-pendekatan
dari ketiga kategori punishment di atas dapat dijelaskan pada bagian berikut.
Setiap pendekatan dibahas tentang hakekat dan bagaimana merancang programnya.
D. HARGA RESPON (RESPONSE
COST)
1. Hakekat Harga Respon
Harga respon (response cost) diartikan sebagai
penarikan sejumlah reinforcer [3]
yang menyertai tingkahlaku sasaran dengan hasil mengurangi kemungkinan respon
tersebut muncul lagi di hari-hari kemudian. Pendekatan ini selalu dipasangkan
dengan prosedur modeling dan reinforcement dalam mengembangkan tingkahlaku
sosial yang diharapkan.
Kegiatan yang
dapat dikelompokkan ke dalam pendekatan ini:
(1) mencegah muncul-nya rangsang-rangsang yang tajam, (2) menjauhkan
aktivitas-aktivitas yang potensial men-datangkan kepuasan, (3) membatasi pertimbangan-pertimbangan yang
mengangkat nilai suatu aktivitas, (4) menahan hadiah yang dapat diperoleh dari
item-item kegiatan.
2. Merancang Dan Mengimplementasikan Program Harga Respon
Perencanaan
program ini diawali dengan melakukan analisis sebagai dasar kegiatan. Dalam
analisis harus menemukan bahwa (1) metode-metode yang bersifat kurang
membatasi telah dicoba dan ditemukan
tidak efektif dalam mengurangi
tingkahlaku yang merugikan; (2) analisis harus menunjukkan tujuan-tujuan program
yang masuk akal dan pengertian tingkahlaku yang hendak dikurangi secara tepat;
dan (3) analisis harus menunjukkan pengaturan
urutan penyelesaian masalah (baca: belajar tingkahlaku baru) yang secara
potensial efektif.
Untuk itu penting
untuk diketahui: (1) jabaran tingkah laku secara rinci perlu dibuat; (2) siswa
harus diberitahu mengenai urutan tingkahlaku yang akan dipelajari; (3) guru
atau konselor/konselor harus yakin akan keseimbangan yang efektif antara
reinforcer potensial dan penahanan reinfor-cer
tersebut (sebagai contoh: anak akan sulit untuk tidak tertarik atau menghindar
dari hadiah atau sesuatu yang merangsang kalau yang merangsang itu selalu ada
di depan mata); (4) rasio antara
tingkahlaku yang nyata dan harga dapat dikembangkan melalui coba-coba (trial and error), dalam hal ini mulailah
dengan level yang lebih rendah dan berangsur-angsur meningkat sampai pada
kondisi yang paling kuat; (5) gunakan cara-cara penahanan reinforcer secara
moderat melalui negosiasikan kondisi harga respon dan ajarkan urutan
tingkahlaku yang digunakan dalam program ini; (6) hindari kemungkinan munculnya
kesempatan program harga respon ini malah menghadiahi tingkahlaku yang merusak;
dan (7) guru atau konselor/konselor harus menyiapkan diri untuk mendukung program harga respon melalui memperhatikan
reaksi-reaksi siswa.
E. MENGHENTIKAN PENGUATAAN
POSITIF (TIME-OUT)
1. Hakekat Menghentikan Penguataan Positif
(Time-Out)
Menghentikan
penguataan positif (time-out from
positive reinforcement) meliputi memindahkan individu dari semua sumber
penguatan yang menyertai tingkahlaku yang tidak tepat. Elemen kegiatan ini
terdiri atas: (1) harus dibedakan antara
reinforcement selama “time-out” dan dalam kondisi “time-in”. Siswa yang
diisolasi dari semua sumber reinforcement harus benar-benar bebas dari
kemungkinan adanya reinforcer; (2) konsekuensi time-out harus memungkinkan
terjadinya tingkahlaku sasaran yang dikehendaki, bukan kondisi dimana siswa
tidak melakukan apa-apa; (3) time-out harus memungkinkan pengurangan tingkahlaku
sasaran yang tidak dikehendaki.
Ada dua jenis
time-out yaitu time-out non-eksklusi dan time-out eksklusi. Masing-masing jenis
time-out memiliki kelebihan dan kekurangan.
a. Time-out non-eksklusi. Time-out ini
meliputi menarik semua sumber yang menimbulkan kepuasan dan perhatian bagi
siswa tanpa membatasi lingkungannya. Cara ini meliputi kombinasi tiga
pendekatan yaitu (1) siswa dicegah dari semua media dan material yang dapat
me-reinforce (misalnya: televisi, radio, tape, krayon, kertas, pensil, buku);
(2) siswa dijauhkan dari aktivitas yang secara potensial menimbulkan kepuasan
(seperti: bermain, berpartisipasi dalam diskusi); (3) siswa dihambat dari
sumber-sumber perhatian orang dewasa atau temannya.
b.
Time-out eksklusi. Time-out ini mencakup
menarik siswa secara fisik dari lingkungan yang secara potensial me-reinforce.
Ruang yang digunakan untuk mengisolasi siswa tidak perlu dirancang secara
khusus, namun demikian disarankan memakai ruang yang tetap menjamin keamanan.
Kriteria ruang: (1) ruang harus memiliki luas dan penerangan yang memadai; (2)
ruang harus memiliki penerangan dan ventilasi yang memadai; (3) ruang hedaknya
tidak terkunci dengan berbagai alat mekanik yang dapat menghambat kemungkinan
orang dewasa melakukan supervisi; (4) harus memungkinkan guru atau konselor/konselor
memonitor siswa tanpa perlu hadir di ruang itu; (5) ruang harus bebas dari
obyek-obyek yang membahayakan; (6) jika siswa senang berperilaku agresif,
sebaiknya lantai dan dinding diberi karpet; (7) pintu harus cukup lebar untuk
mengantisipasi keamanan kalau sewaktu-waktu siswa agresif dimasukkan ke dalam
ruang itu; dan (8) walaupun tidak
berkaitan dengan arsitektur, siswa tidak ditarik dari kebutuhan fisik dasar
seperti makanan kecil, air, dan ruang untuk membasuh diri.
Petunjuk umum
untuk program time-out yang efektif: (1) ruang harus terhindar dari semua
sumber timbulnya reinforcement; (2) supervisi harus diberikan melalui pintu
terbuka; (3) hendaknya ruang kedap suara sehingga orang lain atau siswa lain
tidak dapat menggambarkan apa yang terjadi dalam ruang itu; (4) semua respon
yang dapat digambarkan guru atau konselor ke dalam ruang harus dapat
diantisipasi; dan (5) ruang harus menyenangkan orang untuk memakaianya.
2. Merancang dan Mengimplementasikan Program
Time-Out
Sebagaimana
intervensi lainnya, program time-out juga diawali dengan analisis. Hasil
analisis dirumuskan menjadi tujuan yang berupa pengurangan tingkahlaku yang
tidak dikehendaki. Tujuan lainnya mencakup pengembangan respon-respon sosial
yang dikehendaki. Prosedur yang dipakai mencakup modeling, behavioral
rehearsal, dan reinforcement.
F. OVERKOREKSI
1. Hakekat Overkoreksi
Overkoreksi (Overcorrection) merupakan sederet
prosedur yang mencakup beberapa strategi belajar sosial. Ada dua macam overcorrection yaitu overkoreksi
restitusional dan overkoreksi praktik positif.
Overkoreksi
restitusional dimaksudkann bahwa siswa yang bertingkahlaku tidak dike-hendaki
mengoreksi semua hasil-hasil tingkahlakunya yang salah melalui mengembalikan
lingkungan semula ke kondisi awal yang sebenarnya. Sebagai contoh, anak yang
melemparkan makanan waktu makan siang diminta untuk membersihkan lantai kembali
bersih seperti semula.
Overkoreksi
praktik positif dimaksudkan bahwa siswa
diikat ke dalam respon alternatif yang tepat, dan diharapkan memiliki efek
pendidikan. Siswa diharapkan menggunakan respon alternatif itu untuk mengatasi
tingkahlakunya yang tidak dikehendaki. Sebagai contoh: anak diminta untuk
mengerjakan tes setelah ia merobek-robeknya. Anak diharapkan belajar bahwa
mengerjakan tes lebih baik daripada merusaknya. Contoh lain, anak diminta untuk
berjalan dalam menaiki tangga setelah ia ketahuan lari-lari. Anak diharapkan
belajar bahwa berjalan lebih enak ketimbang lari-lari.
2. Merangcang dan Mengimplementasikan
Overkoreksi
Program
overkoreksi dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a.
Anda harus mendasarkan program
overkoreksi atas analisis yang cermat terhadap siswa.
b.
Spesifikasikan tujuan program
overkoreksi.
c. Analisis juga harus mengarahkan
apakah diperlukan aktivitas overkoreksi restitusional atau overkoreksi praktik
positif.
d. Untuk memaksimalkan fungsi
replacement aktivitas praktik positif Anda harus memadukan dengan prosedur
reinforcement.
e.
Anda harus menidentifikasi
prosedur pendamping jika siswa menolak
untuk mengikuti aktivitas overkoreksi.
f. Untuk mengimplementasikan
rencana, Anda harus memberi informasi kepada siswa tentang aturan overkoreksi.
G. MEMPERTUNJUKKAN STIMULUS
AVERSIF
1. Hakekat Stimulus Aversif
Stimulus aversif
pada umumnya berupa pandangan, suara, senyuman, rasa, atau sensasi-sensasi
fisik. Stimulus-stimulus tersebut: (1) dapat menjadi hukuman jika hasilnya mengurangi tingkahlaku sasaran, (2) menjadi
reinforcer negatif jika memperkuat tingkahlaku yang seharusnya dihentikan, dan
(3) menjadi netral kalau tidak berpengaruh apa-apa terhadap tingkahlaku.
Stimulus aversif diklasifikasikan menjadi dua yaitu stimulus aversif yang tidak
terkondisi dan stimulus aversif yang dikondisikan.
a.
Stimulus Aversif Yang Tidak Terkondisi. Kejadian-kejadian aversif yang tidak
terkondisi yang tidak menyenangkan akan mempengaruhi tingkahlaku yang telah
dipelajaari sebelumnya. Kejadian-kejadian itu misalnya: temperatur yang
ekstrim, penncegahan makanan atau minuman, rangsangan fisik (rasa pedas, msalnya),
aktivitas fisik, trauma fisik, makanan yang sudah basi.
b. Stimulus Aversif Yang Dikondisikan. Kejadian-kejadian
aversif yang terkondisi memperoleh makna emosional negatif melalui pengalaman
siswa. Sebagai contoh: teriakan. Umumnya, stimulus tidak terkondisi
digunakan dalam keadaan aversif yang
tidak terkondisi pula.
Ada
beberapa keterbatasan menggunakan prosedur stimulus aversif, antara lain:
a. Stimulus aversif merupakan hal
yang tidak menyenangkan baik bagi murid maupun bagi guru atau konselor.
b.
Sebagai konsekuensi kondisi
yang tidak menyenangkan, siswa (mungkin juga guru atau konselor) terdorong
untuk menghindar darti setting ini.
c.
Stimulus aversif seringkali
menghasilkan keadaan negatif secara emosional.
d.
Pengaruh stimulus aversif dapat bersifat sementara.
e.
Pengaruh stimulus aversif dapat
sangat tinggi.
f.
Profesional dapat terdorong
untuk menggunakan stimulus aversif secara berlebihan.
g.
Stimulus aversif tidak efektif
bagai siswa yang memiliki beberapa gangguan tingkahlaku.
h.
Stimulus aversif tidak mencakup
komponen pendidikan.
Bagaimanakah
meningkatkan daya efektivitas stimulus aversif, berikut ini ada beberapa saran:
a.
Gunakan secara hati-hati dan
hanya kombinasi dengan prosedur reinforcement diferensial.
b.
Tentukan keuntungan yang bakal
diperoleh dari penggunaan stimulus aversif.
c.
Ajarkan kepada siswa aturan dan
konsekuensi dari stimulus aversif.
d. Identifikasi tingkahlaku
alternatif yang diharapkan dapat mengganti tingkahlaku yang akan diubah.
e.
Yakinlah bahwa siswa menyadari
atas tingkahlakunya.
f.
Terapkan aturan stimulus
aversif secara konsisten.
g.
Keadaan perubahan perilaku
akibat stimulus aversif harus dapat diadministrasikan setiap saat.
h.
Tunjukkan konsekuensi aversif
pada tingkatan yanag diharapkan.
i. Yakinkan bahwa
kejadian-kejadian aversif yang tidak dihaarapkan sebagai hasil dari tingkahlaku
yang salah.
j.
Hindari ancaman atau peringatan
akan tingkahlaku yang bakal timbul dari latihan aversif ini.
k.
Monitor tingkahlaku sasaran.
l.
Hindari kemungkinan melarikan
dari dari kejadian aversif.
m.
Hentikan stimulus aversif jika hasilnya
tidak meyakinkan.
n. Jika apengaruh pengurangannya
hanya saat dalam setting punishment, maka gunakan cara ini dalam setting lain
saja.
o.
Sebisa mungkin gunakan prosedur
ini dalam setting edukasional.
[1] Non-aversif berarti pendekatan yang tidak menimbulkan keadaan yang
tidak menyenangkan.
[2] Aversif berarti sesuatu
keadaan yang tidak menyenangkan, enggan melakukan sesuatu. Stimulus aversif berarti rangsangan-rangsangan tingkahlaku yang
tidak menyenangkan.
[3] Reinforcer merupakan hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang
menimbulkan kepuasan, seperti rokok, pujian, uang, permainan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar diharapkan bersifat membangun dalam rangka pengembangan keilmuan Bimbingan dan Konseling. Kami sampaikan terima kasih