Jumat, 08 Juli 2016

MENGURANGI TINGKAH LAKU YANG TIDAK TEPAT DENGAN MENGGUNAKAN PUNISHMENT

Dr. Triyono, M.Pd (Dosen Pascasarjana BK UM)

Kita semua terbiasa dengan siswa-siswa yang tidak mereaksi terhadap prosedur pendisiplinan secara tradisional. Kali ini kita dihadapkan pada cara  atau pendekatan non-aversif [1] yakni melalui (1) menghindari pengaruh sisi negatif sehubungan dengan stimulus aversif [2] dan (2) meningkatkan tingkahlaku sosial yang dapat dikembangkan melalui intervensi non-aversif.


Respon-respon yang tidak menyenangkan tertentu dari beberapa siswa tidak dengan mudah dan cepat dapat diubah dengan menggunakan metode non-aversif. Dalam hal ini, punishment seringkali cepat efektif untuk menyelesaikan tingkahlaku merusak atau berbahaya, namun tidak efektif untuk menyelesaikan masalah lainnya (Matson dan DiMorenso (1984). Di samping itu ada peringatan dari Cooper, dkk (1987) bahwa “jangan menggunakan punishment, terutama dalam situasi dimana prosedur lain telah dicoba dan tidak berhasil, padahal yang sebenarnya prosedur lain itu efektif, hanya saja situasinya klien dalam keadaan bingung dan tidak bahagia”.

Dalam sejumlah catatan lain ditunjukkan bahwa seringkali prosedur punishment itu menyakitkan dan kalau prosedurnya kurang instruktif, maka hasilnya akan kurang berpengaruh terhadap perilaku; di samping itu metode aversif seringkali tidak praktis dan tidak etis.
 
A.  DOKTRIN ALTERNATIF  SEDIKIT PEMBATASAN

Filosofi efektif yang mengatur pemilihan metode aversif atau nonaversif untuk mengurangi masalah tingkahlaku dikemukakan dalam “doktrin alternatif sedikit pembatasan”.
Doktrin tersebut berupa hirarki pembatasan sebagai berikut:

1.     Gunakan pendekatan reinforcement diferensial.
2.  Pendekatan reinforcement diferensial yang memberikan reinforcement secara bertahap dalam waktu yang relatif lama sehingga respon-respon merusak tidak muncul.
3.   Prosedur time-out yang tidak ekslusi yang didalamnya semua sumber reinforcement  menyertai respon merusak dihindarkan.
4.   Time-out ekslusi dimana siswa diisolasi dalam ruang yang terhindar dari stimulasi dan kontak interpersonal.
5. Overkoreksi, yang melaluinya siswa-siswa  membentuk pembatasan-pembatasan menyertai tingkahlaku sosial yang merusak dan secara berulang-ulang melakukan alternatif tingkahlaku sosial yang positif.
6.  Terakhir, menampilkan konsekuensi aversif yang didalamnya unsur bahaya yang menyertai tingkahlaku yang merugikan ditunjukkan. 


B.  PENGERTIAN PUNISHMENT

Definisi teknis tentang punishment berbeda dari definisi yang berlaku pada masyarakat pada umumnya. Umumnya, punishment diartikan secara sederhana melalui memberikan konsekuensi yang tidak memuaskan menyertai tingkahlaku yang salah.

Definisi teknik mencakup setiap stimulus yang dipersepsi oleh punisher menyenangkan atau tidak menyenangkan. Secara lebih jelas punishment diartikan sebagai berikut:

Punishment is the reduction of a target behavior following the contingent presentation of a stimulus. A stimulus  that consistently result in the reduction of a target behavior  is said to punish that behavior.
(Punishment merupakan pengurangan tingkahlaku sasaran  yang menyertai munculnya suatu stimulus. Stimulus yang terus menerus menghasilkan pengurangan tingkahlaku sasaran disebut peristiwa menghukum tingkahlaku tersebut).

Perbedaan definisi umum dan definisi teknis  tentang punishment penting bagi guru atau konselor agar menemukan metode yang efektif  untuk mengurangI tingkahlaku yang merusak. Hanya menggunakan definisi yang populer akan menyebabkan Anda mengekspos siswa ke dalam kondisi belajar yang tidak menyenangkan tanpa ada pengaruh positifnya.

Definisi teknis akan membawa akibat mengurangi tingkahlaku yang tidak diinginkan. Cara-cara seperti menegur, mencegah, dan isolasi hanya digunakan bila dapat mengurangi timbulnya tingkahlaku sasaran.

C.  KLASIFIKASI PUNISHMENT

Pada bagian sebelumnya telah dibahas bahwa kejadian-kejadian aversif diklasifikasikan menjadi dua yaitu kejadian yang terkondisi dan tidak terkondisi. Matson dan DiLorenso mengemukakana tiga bentuk umum  sstimulasi aversif yang digunakan dalam merancang program punishment yaitu (1) menarik kejadian-kejadian yang menimbulkan kepuasan, (2) punishment berdasarkan hukuman dan usaha, (3) menampilkan stimulus aversif.

1.  Menarik Kejadian-Kejadian Yang Menimbulkan Kepuasan

Pendekatan ini berupa menjauhkan stimulus yang diinginkan dari individu. Pendekatan umum dari program ini adalah (1) exclusion and nonexclusion time-out,  yakni semua sumber kepuasan ditarik dari dekat individu, dan (2) response cost, yakni stimulus yang diinginkan seperti makanan, waktu santai, mainan, uang diukur berdasarkan respon sasaran.

2.  Punishment Berdasarkan Hukuman Dan Usaha

Kategori punishment ini dimaksudkan untuk mengikat individu dalam penggunaan  fisik menyertai respon sasaran, yaitu yang mengurangi  kekuatan respon sasaran untuk waktu mendatang. Untuk itu digunakan overkoreksi restitusional dan praktik positif (overcorrection restitution and positive practice).

3.  Menampilkan Stimulus Aversif.

Kategori punishment ini mencakup menghasilkan stimulus berbahaya (note: gibeng, gibas, dll) menyertai tingkahlaku sasaran. Pendekatan umum dari kategori punishment ini adalah (1) menempatkan tetesan limun pada lidah seseorang, (2) menempatkan individu seolah bernafas dalam amonia, (3) mendayung ataua paddling, dan (4) menyemprotkan kabut air (biasanya polisi ya saat ada demo) pada individu.

Pendekatan-pendekatan dari ketiga kategori punishment di atas dapat dijelaskan pada bagian berikut. Setiap pendekatan dibahas tentang hakekat dan bagaimana merancang programnya.

D.  HARGA RESPON (RESPONSE COST)

1.  Hakekat Harga Respon

Harga respon (response cost) diartikan sebagai penarikan sejumlah reinforcer [3] yang menyertai tingkahlaku sasaran dengan hasil mengurangi kemungkinan respon tersebut muncul lagi di hari-hari kemudian. Pendekatan ini selalu dipasangkan dengan prosedur modeling dan reinforcement dalam mengembangkan tingkahlaku sosial yang diharapkan.

Kegiatan yang dapat dikelompokkan ke dalam pendekatan ini:  (1) mencegah muncul-nya rangsang-rangsang yang tajam, (2) menjauhkan aktivitas-aktivitas yang potensial men-datangkan kepuasan, (3)  membatasi pertimbangan-pertimbangan yang mengangkat nilai suatu aktivitas, (4) menahan hadiah yang dapat diperoleh dari item-item kegiatan.
  
2.  Merancang Dan Mengimplementasikan  Program Harga Respon

Perencanaan program ini diawali dengan melakukan analisis sebagai dasar kegiatan. Dalam analisis harus menemukan bahwa (1) metode-metode yang bersifat kurang membatasi  telah dicoba dan ditemukan tidak efektif  dalam mengurangi tingkahlaku yang merugikan; (2) analisis harus menunjukkan tujuan-tujuan program yang masuk akal dan pengertian tingkahlaku yang hendak dikurangi secara tepat; dan (3) analisis harus menunjukkan pengaturan  urutan penyelesaian masalah (baca: belajar tingkahlaku baru) yang secara potensial efektif.

Untuk itu penting untuk diketahui: (1) jabaran tingkah laku secara rinci perlu dibuat; (2) siswa harus diberitahu mengenai urutan tingkahlaku yang akan dipelajari; (3) guru atau konselor/konselor harus yakin akan keseimbangan yang efektif antara reinforcer  potensial dan penahanan reinfor-cer tersebut (sebagai contoh: anak akan sulit untuk tidak tertarik atau menghindar dari hadiah atau sesuatu yang merangsang kalau yang merangsang itu selalu ada di depan mata); (4)  rasio antara tingkahlaku yang nyata dan harga dapat dikembangkan melalui coba-coba (trial and error), dalam hal ini mulailah dengan level yang lebih rendah dan berangsur-angsur meningkat sampai pada kondisi yang paling kuat; (5) gunakan cara-cara penahanan reinforcer secara moderat melalui negosiasikan kondisi harga respon dan ajarkan urutan tingkahlaku yang digunakan dalam program ini; (6) hindari kemungkinan munculnya kesempatan program harga respon ini malah menghadiahi tingkahlaku yang merusak; dan (7) guru atau konselor/konselor harus menyiapkan diri untuk mendukung  program harga respon melalui memperhatikan reaksi-reaksi siswa.

E.  MENGHENTIKAN PENGUATAAN POSITIF (TIME-OUT)

1.  Hakekat Menghentikan Penguataan Positif (Time-Out)

Menghentikan penguataan positif (time-out from positive reinforcement) meliputi memindahkan individu dari semua sumber penguatan yang menyertai tingkahlaku yang tidak tepat. Elemen kegiatan ini terdiri atas: (1)  harus dibedakan antara reinforcement selama “time-out” dan dalam kondisi “time-in”. Siswa yang diisolasi dari semua sumber reinforcement harus benar-benar bebas dari kemungkinan adanya reinforcer; (2) konsekuensi time-out harus memungkinkan terjadinya tingkahlaku sasaran yang dikehendaki, bukan kondisi dimana siswa tidak melakukan apa-apa; (3) time-out harus memungkinkan pengurangan tingkahlaku sasaran yang tidak dikehendaki.  

Ada dua jenis time-out yaitu time-out non-eksklusi dan time-out eksklusi. Masing-masing jenis time-out memiliki kelebihan dan kekurangan.

a.     Time-out non-eksklusi. Time-out ini meliputi menarik semua sumber yang menimbulkan kepuasan dan perhatian bagi siswa tanpa membatasi lingkungannya. Cara ini meliputi kombinasi tiga pendekatan yaitu (1) siswa dicegah dari semua media dan material yang dapat me-reinforce (misalnya: televisi, radio, tape, krayon, kertas, pensil, buku); (2) siswa dijauhkan dari aktivitas yang secara potensial menimbulkan kepuasan (seperti: bermain, berpartisipasi dalam diskusi); (3) siswa dihambat dari sumber-sumber perhatian orang dewasa atau temannya. 

b.     Time-out eksklusi. Time-out ini mencakup menarik siswa secara fisik dari lingkungan yang secara potensial me-reinforce. Ruang yang digunakan untuk mengisolasi siswa tidak perlu dirancang secara khusus, namun demikian disarankan memakai ruang yang tetap menjamin keamanan. Kriteria ruang: (1) ruang harus memiliki luas dan penerangan yang memadai; (2) ruang harus memiliki penerangan dan ventilasi yang memadai; (3) ruang hedaknya tidak terkunci dengan berbagai alat mekanik yang dapat menghambat kemungkinan orang dewasa melakukan supervisi; (4) harus memungkinkan guru atau konselor/konselor memonitor siswa tanpa perlu hadir di ruang itu; (5) ruang harus bebas dari obyek-obyek yang membahayakan; (6) jika siswa senang berperilaku agresif, sebaiknya lantai dan dinding diberi karpet; (7) pintu harus cukup lebar untuk mengantisipasi keamanan kalau sewaktu-waktu siswa agresif dimasukkan ke dalam ruang itu;  dan (8) walaupun tidak berkaitan dengan arsitektur, siswa tidak ditarik dari kebutuhan fisik dasar seperti makanan kecil, air, dan ruang untuk membasuh diri.    

Petunjuk umum untuk program time-out yang efektif: (1) ruang harus terhindar dari semua sumber timbulnya reinforcement; (2) supervisi harus diberikan melalui pintu terbuka; (3) hendaknya ruang kedap suara sehingga orang lain atau siswa lain tidak dapat menggambarkan apa yang terjadi dalam ruang itu; (4) semua respon yang dapat digambarkan guru atau konselor ke dalam ruang harus dapat diantisipasi; dan (5) ruang harus menyenangkan orang untuk memakaianya.

2.  Merancang dan Mengimplementasikan Program Time-Out
Sebagaimana intervensi lainnya, program time-out juga diawali dengan analisis. Hasil analisis dirumuskan menjadi tujuan yang berupa pengurangan tingkahlaku yang tidak dikehendaki. Tujuan lainnya mencakup pengembangan respon-respon sosial yang dikehendaki. Prosedur yang dipakai mencakup modeling, behavioral rehearsal, dan reinforcement.

F.  OVERKOREKSI

1.  Hakekat Overkoreksi

Overkoreksi (Overcorrection) merupakan sederet prosedur yang mencakup beberapa strategi belajar sosial. Ada dua macam overcorrection yaitu overkoreksi restitusional dan overkoreksi praktik positif.
Overkoreksi restitusional dimaksudkann bahwa siswa yang bertingkahlaku tidak dike-hendaki mengoreksi semua hasil-hasil tingkahlakunya yang salah melalui mengembalikan lingkungan semula ke kondisi awal yang sebenarnya. Sebagai contoh, anak yang melemparkan makanan waktu makan siang diminta untuk membersihkan lantai kembali bersih seperti semula.

Overkoreksi praktik positif  dimaksudkan bahwa siswa diikat ke dalam respon alternatif yang tepat, dan diharapkan memiliki efek pendidikan. Siswa diharapkan menggunakan respon alternatif itu untuk mengatasi tingkahlakunya yang tidak dikehendaki. Sebagai contoh: anak diminta untuk mengerjakan tes setelah ia merobek-robeknya. Anak diharapkan belajar bahwa mengerjakan tes lebih baik daripada merusaknya. Contoh lain, anak diminta untuk berjalan dalam menaiki tangga setelah ia ketahuan lari-lari. Anak diharapkan belajar bahwa berjalan lebih enak ketimbang lari-lari.   

2.  Merangcang dan Mengimplementasikan Overkoreksi

Program overkoreksi dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal berikut:

a.      Anda harus mendasarkan program overkoreksi atas analisis yang cermat terhadap siswa.
b.     Spesifikasikan tujuan program overkoreksi.
c.  Analisis juga harus mengarahkan apakah diperlukan aktivitas overkoreksi restitusional atau overkoreksi praktik positif.
d.  Untuk memaksimalkan fungsi replacement aktivitas praktik positif Anda harus memadukan dengan prosedur reinforcement.
e.      Anda harus menidentifikasi prosedur  pendamping jika siswa menolak untuk mengikuti aktivitas overkoreksi.
f.     Untuk mengimplementasikan rencana, Anda harus memberi informasi kepada siswa tentang aturan overkoreksi.

G.  MEMPERTUNJUKKAN STIMULUS AVERSIF

1.  Hakekat Stimulus Aversif

Stimulus aversif pada umumnya berupa pandangan, suara, senyuman, rasa, atau sensasi-sensasi fisik. Stimulus-stimulus tersebut: (1) dapat menjadi hukuman jika hasilnya  mengurangi tingkahlaku sasaran, (2) menjadi reinforcer negatif jika memperkuat tingkahlaku yang seharusnya dihentikan, dan (3) menjadi netral kalau tidak berpengaruh apa-apa terhadap tingkahlaku. Stimulus aversif diklasifikasikan menjadi dua yaitu stimulus aversif yang tidak terkondisi dan stimulus aversif yang dikondisikan.

a.      Stimulus Aversif Yang Tidak Terkondisi.  Kejadian-kejadian aversif yang tidak terkondisi yang tidak menyenangkan akan mempengaruhi tingkahlaku yang telah dipelajaari sebelumnya. Kejadian-kejadian itu misalnya: temperatur yang ekstrim, penncegahan makanan atau minuman, rangsangan fisik (rasa pedas, msalnya), aktivitas fisik, trauma fisik, makanan yang sudah basi.
b.    Stimulus Aversif Yang Dikondisikan. Kejadian-kejadian aversif yang terkondisi memperoleh makna emosional negatif melalui pengalaman siswa. Sebagai contoh: teriakan. Umumnya, stimulus tidak terkondisi digunakan  dalam keadaan aversif yang tidak terkondisi pula.

Ada beberapa keterbatasan menggunakan prosedur stimulus aversif, antara lain:

a.     Stimulus aversif merupakan hal yang tidak menyenangkan baik bagi murid maupun bagi guru atau konselor.
b.     Sebagai konsekuensi kondisi yang tidak menyenangkan, siswa (mungkin juga guru atau konselor) terdorong untuk menghindar darti setting ini.
c.      Stimulus aversif seringkali menghasilkan keadaan negatif secara emosional.
d.     Pengaruh  stimulus aversif  dapat bersifat sementara.
e.      Pengaruh stimulus aversif dapat sangat tinggi.
f.      Profesional dapat terdorong untuk menggunakan stimulus aversif secara berlebihan.
g.     Stimulus aversif tidak efektif bagai siswa yang memiliki beberapa gangguan tingkahlaku.
h.     Stimulus aversif tidak mencakup komponen pendidikan.

Bagaimanakah meningkatkan daya efektivitas stimulus aversif, berikut ini ada beberapa saran:

a.      Gunakan secara hati-hati dan hanya kombinasi dengan prosedur reinforcement diferensial.
b.     Tentukan keuntungan yang bakal diperoleh dari penggunaan stimulus aversif.
c.      Ajarkan kepada siswa aturan dan konsekuensi dari stimulus aversif.
d.   Identifikasi tingkahlaku alternatif yang diharapkan dapat mengganti tingkahlaku yang akan diubah.
e.      Yakinlah bahwa siswa menyadari atas tingkahlakunya.
f.      Terapkan aturan stimulus aversif secara konsisten.
g.     Keadaan perubahan perilaku akibat stimulus aversif harus dapat diadministrasikan setiap saat.
h.     Tunjukkan konsekuensi aversif pada tingkatan yanag diharapkan.
i.      Yakinkan bahwa kejadian-kejadian aversif yang tidak dihaarapkan sebagai hasil dari tingkahlaku yang salah.
j.       Hindari ancaman atau peringatan akan tingkahlaku yang bakal timbul dari latihan aversif ini.
k.     Monitor tingkahlaku sasaran.
l.       Hindari kemungkinan melarikan dari dari kejadian aversif.
m.   Hentikan stimulus aversif jika hasilnya tidak meyakinkan.
n.   Jika apengaruh pengurangannya hanya saat dalam setting punishment, maka gunakan cara ini dalam setting lain saja.
o.     Sebisa mungkin gunakan prosedur ini dalam setting edukasional.




[1]   Non-aversif berarti pendekatan yang tidak menimbulkan keadaan yang tidak menyenangkan.
[2]  Aversif berarti sesuatu keadaan yang tidak menyenangkan, enggan melakukan sesuatu. Stimulus aversif berarti rangsangan-rangsangan tingkahlaku yang tidak menyenangkan.
[3]  Reinforcer merupakan hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang menimbulkan kepuasan, seperti rokok, pujian, uang, permainan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar diharapkan bersifat membangun dalam rangka pengembangan keilmuan Bimbingan dan Konseling. Kami sampaikan terima kasih