Kemana
larinya Bimbingan dan konseling Dalam Kurikulum 2013
Dwi
Atmaja, S.Pd, M.Psi
(Ketua
Bid BK APKS PGRI Prov Jatim)
Menteri
Pendidikan Prof Muhadjir dalam diskusi di Group WA Forum Rembuk BK mengharapkan
Bimbingan dan Konseling berkenan membantu terlaksananya program yang beliau
gagas membangun karakter kejujuran dan mencegah kecurangan, awal tema yang
menarik dan bersambut dukungan dari Prof Sunaryo Guru Besar BK di UPI menyampaikan
dukungan bahwa prestasi Akademik yg dicapai bersatu padu dan lumat dengan karakter yang tengah kita
gulirkan. Visi Akademik dan perkembangan/
karakter menjadi keutuhan. Ucapan terima kasih disampaikan oleh Mendikbud atas
dukungan civitas baik akademisi maupun praktisi dalam group jejaring sosial tersebut.
Prof Sunaryo
menguraikan tantangan yang amat luar biasa menumbuhkan sikap kerja keras pada
generasi muda. Membangun perilaku damai sebagai bangsa, Semoga Pengembangan Pendidikan
Karakter (PPK) terus bergulir membangun generasi berprestasi dalam proses dan kehidupan aman serta damai.
Secara pribadi saya mulai tertarik untuk mendengarkan argument beliau, sejalan
dg kebijakan Bapak Menteri tentang PPK,
ABKIN sebagai organisasi profesi Bimbingan
dan Konseling pada saat ini ingin
mengawal semua itu, sehingga lebih proaktif dan berorientasi pengembangan
perilaku jangka panjang, bukan hanya
menangani perilaku bermasalah. Dari sinilah mulai muncul bahasan menarik ketiga
anggota group menyampaikan pada menteri, target utama untuk menumbuhkan
kejujuran dan memerangi kecurangan dalam UN berhasil, meskipun ada fenomena
baru, yaitu motivasi belajar yang menurun.
Tidak terhenti
di satu titik permasalahan, ada juga anggota yang menyampaikan apapun kebijakan
yang diambil untuk memperbaiki kinerja bimbingan dan konseling di indonesia
tetap harus memperhatikan suasana
kebatinan di lembaga pendidikan yang sedang terjadi, baik di Paud, Dikmen dan Dikti. Selama ini pantauan saya hanya terjebak pada administratif
semata, sedikit sekali yang menyentuh substansi, Dr Suhudi
selaku Dekan FIP Undar Jombang. Sempat pula dibahas kasus update terbaru,
pemberitaan siswa di salah satu kota di Jawa Timur yang bunuh diri, karena
masalah penentuan Zonasi.
Berangkat dari
sekilas uraian di atas, terasa sekali sebenarnya peran guru Bimbingan dan
Konseling harus lebih memaksimalkan peran, sedikit disinggung perlukah regulasi
agar Bimbingan dan Konseling bermetomorfosa menjadi matapelajaran (mapel) yang
terstruktur dalam kurikulum 2013, mengingat beberapa tinjauan fakta yang
terjadi dilapangan salah satunya anggapan ketentuan jumlah siswa asuh 150 siswa
setara 24 jam beban kerja sudah cukup dianggap langkah terbaik mengakomodir
peran BK dapat maksimal di sekolah. Tetapi dibalik ketentuan tersebut ada
beberapa fakta krusial yang perlu dipertimbangkan, sekolah menjadi kurang ideal
dari kuantitas personel guru BK, jumlah siswa melebih beban kerja tentu saja
hal ini membuat guru BK kesulitan
memanajerial waktu pelayanan jika dilakukan per individu siswa, atau sebaliknya
dibeberapa sekolah guru BK kekurangan jam dengan jumlah siswa terlalu
sedikit ahkirnya mencoba tambal sulam
dengan kegiatan yang jauh dari
tupoksi BK itu sendiri. Lalu bagaimana dari keefektifan layanan BK
dari sudut pandang penanganan siswa, hampir terjadi di keseluruhan sekolah,
dari 150
siswa asuh juga tidak semua terlayani oleh layanan Bimbingan dan
Konseling dan fakta lebih parah
lagi pemahaman sekolah terkait fungsi dan peran BK
masih kurang. Sehingga perubahan wacana perubahan Bimbingan dan
Konseling menjadi Mapel diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan dilapangan,
tidak batasan pada jumlah siswa tetapi pada
lingkup rombel. Guru BK dapat leluasa untuk memberikan patokan baku layanan
klasikal (tatap muka dikelas), sasaran pembelajaran dapat tercapai, dan materi
pembelajaran sendiri terukur secara terstandar nasional. Kenyataan berkembang dilapangan ketika proses tatap muka dikelas, justru yang terjadi beragam warna-warni versi
materi yang dikemas oleh guru
BK, dan semua di sesuai dengan hasrat dan keinginan personal guru
masing-masing.
Lebih jauh
diharapkan proses prioritas dalam
layanan lebih banyak pada Bimbingan,
akan tetapi jajak pendapat dikalangan praktisi masih menimbulkan pro dan
kontra, polemik yang muncul hendak dikemanakan unsur konseling dalam layanan BK
itu sendiri jika Bimbingan dan Konseling berubah menjadi Mapel, Faktor utama
bimbingan (layanan klasikal) lebih mendekati pada alternative cara maksimal
dalam pencapaian sasaran pembeentukan karakter peserta didik, maka solusi
jawaban arah konseling itu sendiri dapat dijadikan sebagai unsur penunjang
kinerja guru BK, notabene dalam layanan
konseling juga menimbulkan permasalahan tersendiri, belum tentu semua siswa
menggunakan fitur ini, anggapan guru BK adalah satpam sekolah atau polisi
sekolah masih melekat erat diparadigma pemikiran siswa dan masyarakat, adanya
rasa malu untuk datang ke ruangan BK bahkan lebih eksterimis jika datang kee
ruang BK takut di anggap anak nakal, kurangnya kepercayaan pada guru BK, dan dan
dari versi guru BK sendiri sulit membedakan konseling dengan penanganan kasus bahkan diklaim sebagai konseling, kondisi
malpraktek demikian masih banyak terjadi, tanpa mengesampingkan keprofesionalan
guru BK itu sendiri karena penyebab kasus tersebut terjadi diakibatkan posisi pekerjaan
guru BK di sekolah dipegang oleh sarjana yang tidak berbasis keilmuan Bimbingan
dan Konseling. Belum lagi jika ada guru mapel yang kuwalahan menghadapi anak
didiknya, cepat tanggap langsung kirim ke BK, dan yang menyedihkan guru BK
sendiri ikut larut dalam arus yang demikian.
Bapak Menteri
Mendikbud dalam awalan diskusi tersebut, menyebutkan itu gagasan bagus secara teknis akademis walaupun secara jujur
beliau menyampaikan kurang paham teknis prosedur layanan Bimbingan dan
Konseling, tetapi menurut beliau semacam general diagnosis sangat diperlukan (opini BK menjadi mapel).
Perlu ada classmeet ke-BKS-an, tanpa harus menjadi mapel. Beliau juga
menegaskan justru mestinya PPK itu menjadi domain utama guru Bimbingan dan Konseling.
Diskusi semakin menarik ketika muncul pertanyaan dalam pendidikan karakter di
lingkup keluarga apakah menjadi tugas Bimbingan
dan Konseling, beliau menyampaikan pendidikan keluarga terlalu jauh dari jangkauan negara maka peran Bimbingan dan Konseling
dapat menjjadi salah satu alternatif
membantu mencapai proses tersebut. Dalam konsep PPK, sekolah sebagai bagian utama dari ekosistem pendidikan proses
pendidikan dalam keluarga di luar sekolah (masyarakat) seharusnya bisa
dikontrol oleh sekolah dengan
menggunakan School Base Management of Education. SBME mengasumsikan bahwa seluruh aktivitas
belajar anak baik ketika di sekolah, di luar sekolah, maupun dalam keluarga
harus di manajemen oleh sekolah. Oleh sebab itu kepala sekolah harus bisa
memainkan peran sebagai seorang manajer pendidikan, penyelenggaraan pendidikan
berbasis zonasi menjadi pilihan strategis SBME di era digital.
Menggaris bawahi
makna domain utama, hendak lari kemanakah Bimbingan dan Konseling dalam pencapaian target di Kurikulum 2013. Mari kita uraiankan permasalahan yang perlu
disikapi bersama untuk mengatasinya. Pertama adalah kepekaan kita sebagai
pendidik dalam membaca tuntutan zaman dan problem kid era now hingga bahaya
yang selalu mengancam mereka. Ambil contoh diera digital sekarang ini
komunikasi tidaklah terbatas ruang dan waktu. Secara teknis, Sekolah dapat "mengikat" emosional wali
siswa melalui WA. Strategi ini berpeluang membangun kesamaan perspektif
dan visi untuk mengawal karakter anak
antara sekolah dengan wali siswa. Karena tanggung jawab mendidik ada pada kita
semua, termasuk tokoh politik maupun tokoh publik lainnya yang berpotensi
menjadi role model siswa. Kepekaan lain yakni pendampingan pada siswa pada
tayangan media, hal ini adalah bagian contoh pencegahan dampak buruk kemrosotan
moral bangsa, seperti himbauan menonton televisi sesuai batasan umur mutlak membutuhkan
perhatian serius, sinetron yang jauh dari nuansa edukatif, film vulgar dan
kekerasan, dsb. Mengingat tayangan mempengaruhi
cara berfikir dan gaya hidup remaja, pergaulan bebas, tawuran pelajar, hilangnya
rasa kesopanan pada guru dan orang yang lebih dewasa, dll.
Kepekaan selain terkait
kasus atas, ada pula yang urgent diperhatikan yakni peredaran narkoba dikalangan
pelajar, sasaran modus kejahatan seperti ini biasanya menyasar pada siswa keluarga broken home, kurang perhatian
orangtua, dan keluarga ekonomi lemah. Mereka diajak pakai narkoba gratis setelah
kecanduan di suruh mengedarkan dengan imbalan narkotika untuk dipakai sendiri.
Sehingga tidak
lain tugas guru BK hendaknya perlu memacu kepekaan (tanggap) terhadap
permasalahan yang terjadi pada siswa, pondasi kepekaan akan menjadi langkah
awal pecegahan dampak kerusakan yang diakibatkan pada generasi bangsa Indonesia.
Salah satu usaha untuk memacu kepekaan adalah memaksimalkan pertemuan antara
guru dan siswa (proses tatap muka dikelas), dengan asumsi sederhana tidak kenal maka tidak sayang, bagaimana
mungkin tahu permasalahan jika sama sekali tidak ada komunikasi, bagaimana juga
akan muncul kepercayaan dari siswa jika tidak mengenal guru BK nya.
Kedua
adalah penguatan payung hukum kebijakan, dalam ketentuan PP 74 tahun 2008 pasal
54 (7) tentang beban kerja guru BK di
satuan pendidikan. Secara teknis penjabaran kinerja guru BK seperti apa
dalam PP 74 tahun 2008 belum ada, lalu
menyusul pada kebijakan baru Permeendikbud 81A tahun 2013 tentang Implementasi
Kurikulum Pedoman Umum Pembelajaran, terdapat angina segar untuk perkembangan
Bimbingan dan Konseling, karena dalam hal ini tercakup konsep dan strategi
layanan Bimbingan dan Konseling. Yang menarik dan meenjadi polemik pengakuan
jam masuk bimbingan dan konseling terdapat pada hal 51 poin 3 (a) Waktu dan
Posisi Pelaksanaan Layanan. Semua
kegiatan mingguan (kegiatan layanan dan/atau pendukung bimbingan dan konseling)
di selenggarakan di dalam kelas (sewaktu jam pembelajaran berlangsung) dan/atau
diluar kelas (diluar jam pembelajaran) bunyi dan/atau
dalam ketentuan di atas dapat menjadikan alas an tersendiri sekolah tidak
memberikan jam masuk sekolah pada guru BK, alternatif lain hanya sebatas
pengisi jam kosong jika ada guru maple berhalangan. Seiring waktu mulai muncul
pencerahan, selang satu tahun 81 A dilansir
Permendikbud khusus membahas Bimbingan dan Konseling yakni Permnedikbud
No. 111 tahun 2014 hadir, sebuah penantian dalam sejarah yang terhitung sejak
lama meenjadikan BK mendapatkan landasan yuridis formal yang lebih kokoh, dan
menjawab polemic yang ada sebelumnya tentang ketentuan masuk kelas, ketentuan
dipasal 6 (4) Layanan Bimbingan dan
Konseling sebagaimana dimaksud di ayat (3) yang diselenggarakan di dalam kelas
dengan ketentuan belajar 2 (dua) jam. Permendikbud ini juga mempertegas
kesalahan linieritas profesi dimana seorang guru BK harus berbasis Sarjana BK
bukan sarjana pendidikan yang lainnya, fakta dilapangan sangat ironis seorang
yang menempuh sarjana pendidikan, karena dalam transkip nilai ada makul BK (du
asks) sudah dianggap menguasai BK.
Permendikbud no
111 tahun 2014 walaupun secara teknis sudah mengupas detail tentang kinerja
bimbingan dan konseling, pada tahun 2016 muncul kembali penguatan bimbingan dan
Konseling dalam struktur kurikulum, kado terindah pertengahan tahun yaitu
Panduan Operasional Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling (POP BK) oleh
Dirjen GTK Kemdikbud. POP BK mencangkup keseluruhan jenjang pendidikan dari SD, SMP, SMA dan SMK. Tidak lepas pula bahasan
BK mengikat masuk kelas dan unsur linier akademik personal guru.
Sedikit
mengernyitkan dahi, saat ada pengakuan dari seorang guru BK Dorothea (Papua) mengatakan, Implementasi BK di SMA di kabupaten
MERAUKE yang dapat jam mengajar hanya
beberapa SMA saja dari 12 SMA. Yang lainnya kami tidak dapat jam mengajar. Setuju untuk diadakan tim khusus yang langsung
ketemu dengan kepala sekolah dan kepala dinas. Dampak dari guru BK tidak ada
jam mengajar untuk siswa di pulau jawa
sosialisasinya beda dengan siswa papua yang masih perlu banyak waktu untuk
penyesuaian diri dengan lingkungan sekolah. Sehingga ketika mereka ada masalah
biasanya mereka maluu untuk ketemu guru BK. Guru BK baru tahu pada saat sudah
terjadi masalah sehingga mau di dampingi sudah terlambat. Akibat dari guru BK
tidak ada jam mengajar di kelas. Sangat setuju kalau guru BK ada jam mengajar
di kelas karena langsung tatap muka dengan siswa sehingga siswa yang punya
masalah langsung di tangani segera.
Problem yang
muncul sebenarnya tidak hanya di Papua saja, keluhan juga ada dari beberapa
tempat yang lainnya, termasuk di sekolah yang ada di pulau Jawa. Yang menarik
dan menjadi pertanyaan, ada apakah sebenarnya dengan Bimbingan dan Konseling
ini, secara nyata sudah terdapat payung hukum, tetapi riil dilapangan masih ada
kendala yang dijumpai. Agar tidak ambiqu
dengan istilah mengajar, saya akan gunakan istilah yang disampaikan oleh Prof
Sunaryo, bahwa Bimbingan dan Konseling masuk kelas bukan untuk mengajar, tapi
untuk memberikan Layanan Bimbingan. Jangan sampai terjebak pada pembelajaran
dan terjadi mispersepsi bahwa Guru BK mengajar walaupun mungkin Guru BK
menggunakan proses inquiry/discovery/dialog kreatif tapi tetap dalam kerangka kerja Bimbingan. Saya lebih cenderung
menggunakan istilah Bimbingan klasikal sebagaimana ditegaskan dalam Permendikbud
no 111 tahun 2014, bukan mengajar.
Alokasi Jam
masuk kelas bukan berarti BK harus jadi (semi) mapel, karena BK dalam seting
kelas memerlukan proses yang akan
menyangkut penstrukturan, pengembangan transaksi psikososiokultural-spritual,
rewards dan reinforcement. Semua itu
terarah kepada upaya pengembangan ragam
aspek perkembangan baik akademik, pribadi, sosial, maupun Karir. Jika ya maka Layanan klasikal itu diekuivalensikan
dengan kegiatan mengajar tapi tetap tidak disebut mengajar. Ini persoalan
teknis. Untuk istilah mengajar untuk guru BK disebut Layanan klasikal. Masalah
sekarang adalah persoalan implementasi regulasi tetang alokasi waktu 2
jam/minggu yang belum terlaksana
sebagaimana mestinya.
Justru untuk
mendukung pendidikan berkarakter misi
akademik dan misi perkembangan siswa harus diintegrasikan. Akademik dan
karakter bukan hal yang dikotomis tapi satu keutuhan. Oleh karena itu misi
akademik dan perkembangan siswa harus terintegrasi, Bimbingan dan
Konseling ada di dalamnya. Tapi kita tak
boleh menabrakan diri dengan konteks tugas yang bukan konteks tugas Guru BK,
kalau ditarik ke mengajar itu akan kembali pada persoalan kurikulum KTSP 2006
yang menempatkan Bimbingan dan Konseling hanya sebagai bagian dari pengembangan
diri. Karena tugas Guru BK diseret ke wilayah pembelajaran. Jangan hal itu diulang, kondisi penataan saat
ini justru bertolak, karena Guru BK
pernah diseret ke konteks tugas yang tidak semestinya dan sekarang sudah
kembalikan pada relnya justru itu yang harus kita perjuangkan ke pemerintah.
Berharap ada kebijakan atau dukungan dari Mendikbud untuk solusi ini yang
menegaskan Guru BK dialoksikan masuk kelas 2 Jam/minggu. Tanpa dukungan
langsung Mendikbud rasanya masalah ini
sulit terpecahkan segera.
Terkait koreksi
istilah Layanan dasar, ketika konsep ini
muncul 22 tahun yang lalu dalam ke BK an di Indonesia istilah awalnya adalah Guidance Curricullum (Kurikulum
Bimbingan). Saat itu istilah Kurikulum Bimbingan tidak digunakan, karena
khawatir BK dianggap mapel dan bisa rancu dengan istilah Kurikulum BK sebagai
kurikulum prodi BK. Jika saat ini
istilah Kurikulum Bimbingan dianggap lebih
pas, Saya lebih setuju menggunakan istilah itu dan Layanan Klasikal menjadi bagian dari implementasi Kurikulum
Bimbingan.
Pelengkap
pernyataan Prof Sunaryo diatas, Ketua Umum ABKIN Dr Farozin, juga menambahkan pemberian
layanan bimbingan klasikal dilaksanakan atas dasar need asesmen (kebutuhan
peserta didik) dan arah kebijakan pendidikan nasional dan disiapkan dalam
bentuk RPL Bimbingan Klasikal. Untuk mencapai layanan profesional, perlu
diusulkan penyusunan materi BK yang terstandar nasional.
Ada pula problem
menarik dari kebijakan yang baru dilansir yaitu PP 19 tahun 2017 sebagai bentuk
berubahan PP 74 tahun 2008, saat ditunjuk oleh PGRI sebagai salah satu tim sebelas membahas dan menuangkan
rekomendasi dari pasal per pasal secara detail dan jelas terhadap aspek
kekurangan maupun kelebihan dalam kebijakan yang tertuang di PP No. 19 tahun
2017 di acara Rapat Koordinasi Nasional PGRI di selenggarakan di Jakarta pada
tanggal 19 hingga 20 juni 2017 di Hotel Fave Jakarta. Temuan menari pada pasal
52 yang tidak menyebutkan ranah Bimbingan dan Konseling yang telah di atur
dalam ketentuan di PP 74. Koreksi bersama, sepertinya perumusan kebijakan perlu
hadir duduk bersama dari perwakilan unsur Bimbingan dan Konseling. Usai selang
satu tahun, muncul lagi kebijakan pada Permendikbud No. 15 tahun 2018 untuk
menguraikan bab teknis dari PP 74, ketentuan dalam pasal 4 yang terkatub dalam
permendikbud 15/2018 (4) pelaksanaan
pebimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipenuhi oleh oleh Guru
Bimbingan dan Konseling atau Guru Teknologi informasi dan Komunikasi dengan
membimbing paling sedikit 5 (lima) rombongan belajar pertahun. Ketentuan
ini mengundang pertanyaan, jumlah siswa asuh atau rombel sebagai penentuan
beban kerja guru BK.
Dalam hal ini
partisipasi keorganisasian profesi Bimbingan dan Konseling meliputi ABKIN,
HSBKI, APKS PGRI, dan Asosiasi MGBK Nasional untuk duduk bersama menelaah dan
ikut serta dalam perumusan kebijakan pemerintah dalam merumuskan produk
kebijakan, sehingga tidak menimbulkan masalah krusial di lapangan.
Hal lain yang
perlu diperhatikan ketiga, Hindari Malpraktek
Kinerja Guru BK. Masih adanya anggapan guru BK sebagai polisi sekolah,
satpam sekolah, dll seharusnya menjadikan kita lebih intropeksi diri. Sebelum
lebih jauh melangkah pada uraian malpraktek, sedikit mengingatkan pada pesan Mendikbud,
Prof Muhadjir saat memperingati Hari Guru
Nasional yang bertepatan dengan hari
kelahiran PGRI pada tanggal 25 November 2017, Prof Muhadjir mengingatkan
profesi guru adalah pekerjaan yang mulia. Mendikbud menekankan peran guru dalam
sejarah bangsa Indonesia sangat besar dan menjadi penentu dimasa depan. Pada
waktu penjajahan, guru menanamkan harga diri sebagai bangsa, menanamkan
semangat nasionalisme. Dan guru merupakan peran strategis dalam menentukan
keberhasilan pendidikan sebagai dasar kemajuan bangsa.
Jika kita
cermati, pesan dari mendikbud tersebut seharusnya menjadikan motivasi bagi kita
sebagai seorang guru yang hidup di era zaman kemerdekaan, sudah saatnya mengisi
kemerdekaan ini dengan wujud nyata yaitu mencerdaskan anak bangsa, tentu saja
hal ini tidak semudah membalikan tangan begitu saja, seluruh komponen
kompetensi guru perlu dikembangkan. Melihat aspek penting keberadaan dan peran
guru maka pengembangan diri perlu dimaksimalkan, untuk itulah malpraktek perlu
dihindarkan untuk mencapaai sasaran guru professional.
Dalam diskusi
Prof Muhadjir sedikit menyentil tupoksi guru BK, penting bagi BK untuk memberi
pencerahan kepada koleganya, para guru, mengenai tugas dan perannya agar tidak
disalah pahami. Menurut saya semua guru pada dasarnya juga harus bisa melakukan
tugas BK. Tanggung jawab guru BK adalah membimbing dan melatih mereka agar bisa
melakukan peran itu. Ibarat dokter, guru
BK itu dokter sup spesialis. Tidak semua persoalan harus di handle oleh guru
BK. Hanya yang tergolong parah saja. Kalau yang ringan-ringan cukup para guru
non BK di bawah arahan guru BK. Karena itu di dalam Permendikbud No 15 2018
tugas pembimbingan adalah termasuk beban
kerja guru. Ibaratnya, kalau cuma flu ringan, pegal linu, masuk angin tidak perlu berobat ke
dokter, apalagi dokter sup spesialis.
Permasalahan
yang muncul justru sekarang banyak guru BK
yang kurang menyadari perannya, bertindak seperti petugas tatib di sekolah
misalnya. Jika hal ini terjadi maka bukan salah siswa memunculkan image bahwa guru BK adalah satpam sekolah, hantu sekolah, atau
konotasi lainnya yang menggambarkan sosok jahat mengancam siswa.
Bukan berarti
disini BK anti ketertiban, tetapi subtansi penempatan peran yang perlu
diperhatikan, semisal di sekolah berlaku penerapan point pelanggaran, guru
mapel atau kesiswaan menemukan siswa yang melanggar dan kemudian dikirim
keruang BK untuk mendapatkan point atau sangsi, disini lah letak kesalahan
manajemen sekolah yang terjadi. Peran guru BK yang diharapkan oleh bapak
Mendikbud “memberi pencerahan kepada
koleganya, para guru, mengenai tugas dan perannya agar tidak disalah pahami”
sangat diharapkan, dalam tim tatib BK bukan pemberi point melainkan memberikan
pembinaan atau pemahaman siswa tentang kesalahan yang diperbuat dengan tujuan
tidak ada pengulangan tindakan.
Fakta lain,
dalam rapat kenaikan kelas misalnya ketika bersiteru rapat dewan guru
menentukan masa depan siswa berlanjut naik ke kelas lebih tinggi atau tinggal
di kelas, kadang fungsi advokasi BK pada siswa kurang atau bahkan tidak muncul
sama sekali, notabene diharapkan ada pembelaan malah justru guru BK mengumbar
aib siswa, guru yang tidak tahu jadi tahu sederhananya seperti itu jika kita
pahami. Guru yang tahu semakin mantab
pula memberikan vonis pada siswa karena mendapat dukungan dari guru BK.
Teringat cerita
bapak Drs H. Syamsul Bahri, M.PdI Kakanwil Kemenag Provinsi Jawa Timur saat membuka bimtek guru BK tingkat MTs dan MA se Jawa
Timur. Durasi hampir satu jam beliau menyampaikan paparan konsep pendidikan,
tiba-tiba tertunduk menangis dan terbata-bata ketika berbicara. Dulu beliau
dikategorikan sebagai anak super, semua guru kompak memberikan vonis tidak
lulus, tetapi dengan usapan teduh dan pembelaan dari Kepala sekolah dan guru BK
berhasil melalui vonis tersebut, bahkan pebimbingan dan konsultasi masih
berlanjut ketika usai lulus sekolah, beliau sempatkan kirim doa untuk guru
tercintanya tersebut saat itu juga . Cerita beliau setidaknya bisa memberikan
pencerahan buat kita seberapa buruk atau baik tindakan pasti akan terkesan
dihati murid kita, tidak selamanya karakter nakal akan selalu menjadi nakal
atau sebaliknya, maka jauhlah kita dari tindakan menghakimi.
Jika kita telaah
bersama sebenarnya sumber malpraktek tidak berangkat dari pribadi guru BK itu
sendiri, kemungkinan juga bisa berangkat dari system tata kelola sekolah, guru
BK dipaksa bertindak diluar tupoksinya, guru BK dianggap sebagai pelengkap
administrasi, asal ada guru BK tidak masalah latar belakang pendidikannya di anggap
sudah cukup menyelesaikan masalah. Berbau mirip-mirip misalnya berlatar
belakang psikologi sah menjadi guru BK, atau ada jurusan BK Islam yang
sasarannya mengarah pada konsultasi perkawinan di KUA juga sah menjadi guru BK
karena ada kemiripan nama, padahal dari gelar kesarjanaan sudah berbeda.
Melihat kondisi yang demikian hendaknya perlu menjadi perhatian bersama,
pemangku jabatan dalam lingkup kecil di sekolah (Kepala sekolah) dan Kepala
Dinas perlu mengkaji kebijakan yang tegas terhadap linieritas keilmuan. Sedang pihak
Eksternal yang diharapkan ikut campur tangan memberikan bantuan mencegah
malpraktek dalam hal ini, adalah Badan Akreditasi Nasional, selain unsur jumlah
guru, ruang sarana prasarana, kelengkapan administrasi yang terpenting lagi
perlu ditambahkan point penilaian skor terbesar adalah linieritas pendidikan
guru BK. Lalu bagaimana solusi bagi kondisi “kata terlanjur” istilah menuntut
ilmu tanpa batasan umur masih berlaku hingga sekarang, S 1 kedua adalah alternatif
penyelesaian masalah.
Langkah ke
empat yakni Pengembangan Keprofesionalan Guru BK, tuntutan
guru dalam pengembangan diri, guna meningkatkan layanan pendidikan di
sekolah/madrasah tidak terlepas dari tujuan peningkatan mutu pendidikan.
Sehingga perlu memperhatikan aspek pendukung, antara lain mencapai standar
kompetensi profesi, memutahkirkan kompetensi, berkomitmen melaksanakan tugas,
serta mengangkat citra harkat juga martabat profesi guru itu sendiri.
Dalam ketentuan
pasal 11 ayat c Permeneg PAN dan RB Nomer 19 tahun 2009, pengembangan diri
merupakan salah satu aspek yang penting dalam komponen penilaian kinerja
berkelanjutan, terwujud dalam bentuk diklat fungsional atau kegiatan kolektif
guru. Diklat fungsional bagi guru adalah kegiatan mengikuti pendidikan atau
latihan yang bertujuan untuk meningkatkan keprofesionalan guru yang
bersangkutan dalam kurun waktu tertentu, adapun kegiatannya dapat berupa;
kursus, pelatihan, penataran maupun berbagai bentuk diklat yang lainnya.
Sedangkan kegiatan kolektif guru adalah kegiatan guru dalam mengikuti kegiatan
pertemuan ilmiah atau mengikuti kegiatan bersama yang dilakukan guru bertujuan
untuk meningkatkan keprofesian guru yang bersangkutan.
Hal ini juga
menjawab permintaan Mendikbud saat hadir di Konkernas PGRI ke V di Batam, pesan
Mendikbud kepada Ketua Umum PGRI Bunda Unifah, agar PGRI turut serta membantu
pemerintah sebagai mitra dalam meningkatkan keprofesionalan guru yang handal
dan mumpuni demi mencapai tujuan pendidikan nasional.
Tidak ada
istilah jawaban tidak untuk hal tersebut, Selaku Ketua APKS PGRI Provinsi Jawa
Timur, Drs Didiek Budihardjo, M.M optimis ke depan APKS akan menjadi salah satu motor penggerak
peningkatan keprofesionalan guru di Indonesia, bisa jadi pesan Mendikbud adalah
debut lanjutan APKS PGRI Provinsi Jawa Timur berkarya. Dengan dukungan keanggotaan pengurus dari guru-guru terpilih
(berprestasi dan potensial) menjadi modal utama keberhasilan gerak APKS menjadi
terdepan. APKS juga tidak menutup
kemungkinan bekerjasama dengan mitra dari penggiat atau institusi pendidikan
lainnya, selama tidak lepas dari koridor pencapaian tujuan pendidikan nasional
APKS siap menjalin hubungan harmonis bersinergi.
Kembali pada
bahasan pengembangan diri, guru harus dapat mengambil langkah sigap, karena
dalam forum rembuk nasional yang tidak kunjung selesai adalah jumlah dan mutu
kualitas guru. Sudah saatnya peningkatan mutu dan keprofesionalitas guru menjadi fokus utama, senada yang
disampaikan oleh Kementerian Agama melalui Direktorat Guru dan Tenaga
Kependidikan (GTK) Madrasah, menekankan peningkatan kualitas pendidikan di
Indonesia harus mulai dari peningkatan kualitas guru setelah itu peningkatan
dilakukan pada aspek lain seperti kurikulum, sarana dan lainnya.
Melirik sekilas
pada Undang-undang No. 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen, pada pasal 10
ayat 1 menyebutkan kompentesi guru ada 4 yakni pendadogik, kepribadian, sosial dan
keprofesionalan. Bicara tentang kompetensi keprofesionalan, dapat difinisikan adalah penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi
kurikulum mata pelajaran di sekolah dan subtansi keilmuan yang menaungi
materinya serta penguasaan terhadap struktur dan metodelogi keilmuaannya.
Lingkup luas lagi yaitu menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir
keilmuan yang mendukung pelajaran yang diampu.
Secara teknis
dapat diuraikan, penguasaan standar kompetensi dan kompetensi dasar bidang yang
diampu, mampu mengembangkan materi pembelajaran, mengasah keprofesionalan
secara berkelanjutan, dan sesuai tuntutan zaman yaitu mampu menguasai teknik
informatika dalam proses pembelajaran.
Untuk mencapai
tujuan di atas, perlu adanya peran maksimal organisasi profesi guru berkiprah.
Khusus di Bimbingan dan Konseling, selain APKS Bidang BK terdapat ABKIN
(Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia), AMGBK Nasional (Asosiasi
Musyarawah Bimbingan dan Konseling), dan HSBKI (Himpunan Sarjana Bimbingan dan
Konseling). Sedangkan organisasi yang bersifat teknis milik pemerintah, yakni
MGBK SMP/MTs dan SMA/SMK/MA di lingkup batasan tingkat Kota dan Provinsi.
Penutup dalam penulisan intisari
diskusi dalam forum rembuk adalah apresiasi dan kebanggaan pada sikap terbuka Mendikbud Prof Muhadjir, beliau memerlukan
masukan mengenai tugas, peran dan fungsi guru BK. Seiring dengan adanya beberapa
nomen klatur yang baru, antara lain tentang komite sekolah, beban kerja guru, termasuk
program PPK. Pernyataan bapak Mendikbud, memberikan angin segar untuk perubahan
peradaban dunia Bimbingan dan Konseling.
Dalam jawaban singkat, penuh makna
Prof Sunaryo selaku sesepuh di forum rembuk BK, ada peran BK yang perlu
diperankan oleh guru mapel terutama dalam membangun dampak pengiring
pembelajaran yang bisa mengembangkan soft skills. BK pun bergeser orientasi dari kuratif ke perkembangan sehingga layanan Bimbinga
dan Konseling untuk semua dan tidak lagi hanya untuk siswa bermasalah. Yang
harus dibangun sekarang dalam pemahaman saya adalah kolaborasi Guru BK dan Guru
mapel secara equal dalam memfasilitasi perkembangan peserta didik.
Tanpa mengurangi sedikitpun
pernyataan dari Mendikbud, saya tuliskan pesan beliau dalam pengujung diskusi “BK itu pekerjaan panggilan jiwa. Anggap saja
bagian dari ibadah Ramadhan. Pahalanya besar loh” dan “Nah itu yang saya
maksud. Guru BK jaman Now harus berubah”. Insyallah kami siap bersama mewujudkannya,
semoga bapak Mendikbud berserta jajaran berkenan hadir dalam Rakernas ABKIN di
Jogja pada tanggal 10 s/d 11 Juli 20118, bahasan dalam diskusi akan menjadi
tema menarik dalam moment tesebut.
Masalah studi lanjut yaitu untuk pendaftaran di perguruan tinggi dimana kami dituntut untuk melayani siswa sangat menguras waktu kami khususnya masalah yang bersifat administrasi yaitu entry nilai semua siswa dimana masing2 jenis pendaftaran perguruan tinggi mempunyai pola yang tidak sama sehingga pelayanan bk juga banyak yang terkuras dengan hal2 yang sifatnya administrasi yang menjadi beban juga untuk guru bk tingkat sma/smk.
BalasHapusAlhamdulillah....
BalasHapusTak kasih jempol double Ndoro