Minggu, 24 Juni 2018

Kemana Larinya Bimbingan dan Konseling Pengembangan Pendidikan Karakter Peserta Didik


Kemana larinya Bimbingan dan konseling Dalam Kurikulum 2013
Dwi Atmaja, S.Pd, M.Psi
(Ketua Bid BK APKS PGRI Prov  Jatim)

Menteri Pendidikan Prof Muhadjir dalam diskusi di Group WA Forum Rembuk BK mengharapkan Bimbingan dan Konseling berkenan membantu terlaksananya program yang beliau gagas membangun karakter kejujuran dan mencegah kecurangan, awal tema yang menarik dan bersambut dukungan dari Prof Sunaryo Guru Besar BK di UPI menyampaikan dukungan bahwa prestasi Akademik yg dicapai bersatu padu dan  lumat dengan karakter yang tengah kita gulirkan. Visi  Akademik dan perkembangan/ karakter menjadi keutuhan. Ucapan terima kasih disampaikan oleh Mendikbud atas dukungan civitas baik akademisi maupun praktisi dalam group jejaring sosial tersebut.
Prof Sunaryo menguraikan tantangan yang amat luar biasa menumbuhkan sikap kerja keras pada generasi muda. Membangun perilaku damai sebagai bangsa, Semoga Pengembangan Pendidikan Karakter (PPK) terus bergulir membangun generasi berprestasi  dalam proses dan kehidupan aman serta damai. Secara pribadi saya mulai tertarik untuk mendengarkan argument beliau, sejalan dg kebijakan Bapak Menteri tentang  PPK, ABKIN sebagai organisasi profesi  Bimbingan dan Konseling  pada saat ini ingin mengawal semua itu, sehingga lebih proaktif dan berorientasi pengembangan perilaku  jangka panjang, bukan hanya menangani perilaku bermasalah. Dari sinilah mulai muncul bahasan menarik ketiga anggota group menyampaikan pada menteri, target utama untuk menumbuhkan kejujuran dan memerangi kecurangan dalam UN berhasil, meskipun ada fenomena baru, yaitu motivasi belajar yang menurun.

Tidak terhenti di satu titik permasalahan, ada juga anggota yang menyampaikan apapun kebijakan yang diambil untuk memperbaiki kinerja bimbingan dan konseling di indonesia tetap harus  memperhatikan suasana kebatinan di lembaga pendidikan yang sedang terjadi, baik di Paud,  Dikmen dan Dikti.  Selama ini pantauan saya hanya  terjebak  pada  administratif  semata,  sedikit  sekali yang menyentuh substansi, Dr Suhudi selaku Dekan FIP Undar Jombang. Sempat pula dibahas kasus update terbaru, pemberitaan siswa di salah satu kota di Jawa Timur yang bunuh diri, karena masalah penentuan Zonasi.
Berangkat dari sekilas uraian di atas, terasa sekali sebenarnya peran guru Bimbingan dan Konseling harus lebih memaksimalkan peran, sedikit disinggung perlukah regulasi agar Bimbingan dan Konseling bermetomorfosa menjadi matapelajaran (mapel) yang terstruktur dalam kurikulum 2013, mengingat beberapa tinjauan fakta yang terjadi dilapangan salah satunya anggapan ketentuan jumlah siswa asuh 150 siswa setara 24 jam beban kerja sudah cukup dianggap langkah terbaik mengakomodir peran BK dapat maksimal di sekolah. Tetapi dibalik ketentuan tersebut ada beberapa fakta krusial yang perlu dipertimbangkan, sekolah menjadi kurang ideal dari kuantitas personel guru BK, jumlah siswa melebih beban kerja tentu saja hal ini membuat guru BK  kesulitan memanajerial waktu pelayanan jika dilakukan per individu siswa, atau sebaliknya dibeberapa sekolah guru BK kekurangan jam dengan jumlah siswa terlalu sedikit  ahkirnya mencoba tambal sulam dengan kegiatan yang jauh dari  tupoksi  BK itu sendiri.  Lalu bagaimana dari keefektifan layanan BK dari sudut pandang penanganan siswa, hampir terjadi di keseluruhan sekolah, dari  150  siswa asuh juga tidak semua terlayani oleh layanan Bimbingan dan Konseling  dan fakta lebih parah lagi  pemahaman sekolah terkait  fungsi dan  peran  BK  masih kurang. Sehingga perubahan wacana perubahan Bimbingan dan Konseling menjadi Mapel diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan dilapangan, tidak batasan pada jumlah siswa tetapi  pada lingkup rombel. Guru BK dapat leluasa untuk memberikan patokan baku layanan klasikal (tatap muka dikelas), sasaran pembelajaran dapat tercapai, dan materi pembelajaran sendiri terukur secara terstandar nasional.  Kenyataan berkembang  dilapangan ketika proses tatap muka dikelas,  justru yang terjadi beragam warna-warni versi materi  yang  dikemas  oleh  guru BK, dan semua di sesuai dengan hasrat dan keinginan personal guru masing-masing.
Lebih jauh diharapkan  proses prioritas dalam layanan lebih banyak pada Bimbingan,  akan tetapi jajak pendapat dikalangan praktisi masih menimbulkan pro dan kontra, polemik yang muncul hendak dikemanakan unsur konseling dalam layanan BK itu sendiri jika Bimbingan dan Konseling berubah menjadi Mapel, Faktor utama bimbingan (layanan klasikal) lebih mendekati pada alternative cara maksimal dalam pencapaian sasaran pembeentukan karakter peserta didik, maka solusi jawaban arah konseling itu sendiri dapat dijadikan sebagai unsur penunjang kinerja guru BK, notabene dalam  layanan konseling juga menimbulkan permasalahan tersendiri, belum tentu semua siswa menggunakan fitur ini, anggapan guru BK adalah satpam sekolah atau polisi sekolah masih melekat erat diparadigma pemikiran siswa dan masyarakat, adanya rasa malu untuk datang ke ruangan BK bahkan lebih eksterimis jika datang kee ruang BK takut di anggap anak nakal,  kurangnya kepercayaan pada guru BK, dan dan dari versi guru BK sendiri sulit membedakan konseling dengan penanganan kasus  bahkan diklaim sebagai konseling, kondisi malpraktek demikian masih banyak terjadi, tanpa mengesampingkan keprofesionalan guru BK itu sendiri karena penyebab kasus tersebut terjadi diakibatkan posisi pekerjaan guru BK di sekolah dipegang oleh sarjana yang tidak berbasis keilmuan Bimbingan dan Konseling. Belum lagi jika ada guru mapel yang kuwalahan menghadapi anak didiknya, cepat tanggap langsung kirim ke BK, dan yang menyedihkan guru BK sendiri ikut larut dalam arus yang demikian.
Bapak Menteri Mendikbud dalam awalan diskusi tersebut, menyebutkan itu gagasan bagus  secara teknis akademis walaupun secara jujur beliau menyampaikan kurang paham teknis prosedur layanan Bimbingan dan Konseling, tetapi menurut beliau semacam general diagnosis  sangat diperlukan (opini BK menjadi mapel). Perlu ada classmeet ke-BKS-an, tanpa harus menjadi mapel. Beliau juga menegaskan justru mestinya PPK itu menjadi domain utama guru Bimbingan dan Konseling. Diskusi semakin menarik ketika muncul pertanyaan dalam pendidikan karakter di lingkup keluarga  apakah menjadi tugas Bimbingan dan Konseling, beliau menyampaikan pendidikan keluarga terlalu jauh dari  jangkauan  negara maka peran Bimbingan dan Konseling dapat menjjadi salah satu alternatif  membantu mencapai proses tersebut.  Dalam konsep PPK, sekolah sebagai  bagian utama dari ekosistem pendidikan proses pendidikan dalam keluarga di luar sekolah (masyarakat) seharusnya bisa dikontrol oleh  sekolah dengan menggunakan  School Base Management of  Education.  SBME mengasumsikan bahwa seluruh aktivitas belajar anak baik ketika di sekolah, di luar sekolah, maupun dalam keluarga harus di manajemen oleh sekolah. Oleh sebab itu kepala sekolah harus bisa memainkan peran sebagai seorang manajer pendidikan, penyelenggaraan pendidikan berbasis zonasi menjadi pilihan strategis  SBME di era digital.
Menggaris bawahi makna domain utama, hendak lari kemanakah Bimbingan dan Konseling  dalam pencapaian target di Kurikulum 2013.  Mari kita uraiankan permasalahan yang perlu disikapi bersama untuk mengatasinya. Pertama adalah kepekaan kita sebagai pendidik dalam membaca tuntutan zaman dan problem kid era now hingga bahaya yang selalu mengancam mereka. Ambil contoh diera digital sekarang ini komunikasi tidaklah terbatas ruang dan waktu. Secara teknis, Sekolah  dapat "mengikat" emosional wali siswa melalui WA. Strategi ini berpeluang membangun kesamaan perspektif dan  visi untuk mengawal karakter anak antara sekolah dengan wali siswa. Karena tanggung jawab mendidik ada pada kita semua, termasuk tokoh politik maupun tokoh publik lainnya yang berpotensi menjadi role model siswa. Kepekaan lain yakni pendampingan pada siswa pada tayangan media, hal ini adalah bagian contoh pencegahan dampak buruk kemrosotan moral bangsa, seperti himbauan menonton televisi sesuai batasan umur mutlak membutuhkan perhatian serius, sinetron yang jauh dari nuansa edukatif, film vulgar dan kekerasan, dsb.  Mengingat tayangan mempengaruhi cara berfikir dan gaya hidup remaja, pergaulan bebas, tawuran pelajar, hilangnya rasa kesopanan pada guru dan orang yang lebih dewasa, dll.
Kepekaan  selain  terkait kasus atas, ada pula yang urgent diperhatikan yakni peredaran narkoba dikalangan pelajar, sasaran modus kejahatan seperti ini biasanya menyasar pada siswa  keluarga broken home, kurang perhatian orangtua, dan keluarga ekonomi lemah. Mereka diajak pakai narkoba gratis setelah kecanduan di suruh mengedarkan dengan  imbalan narkotika untuk dipakai sendiri.
Sehingga tidak lain tugas guru BK hendaknya perlu memacu kepekaan (tanggap) terhadap permasalahan yang terjadi pada siswa, pondasi kepekaan akan menjadi langkah awal pecegahan dampak kerusakan yang diakibatkan pada generasi bangsa Indonesia. Salah satu usaha untuk memacu kepekaan adalah memaksimalkan pertemuan antara guru dan siswa (proses tatap muka dikelas), dengan asumsi sederhana tidak kenal maka tidak sayang, bagaimana mungkin tahu permasalahan jika sama sekali tidak ada komunikasi, bagaimana juga akan muncul kepercayaan dari siswa jika tidak mengenal guru BK nya.
Kedua adalah penguatan payung hukum kebijakan, dalam ketentuan PP 74 tahun 2008 pasal 54 (7) tentang beban kerja guru BK  di satuan pendidikan. Secara teknis penjabaran kinerja guru BK seperti apa dalam  PP 74 tahun 2008 belum ada, lalu menyusul pada kebijakan baru Permeendikbud 81A tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum Pedoman Umum Pembelajaran, terdapat angina segar untuk perkembangan Bimbingan dan Konseling, karena dalam hal ini tercakup konsep dan strategi layanan Bimbingan dan Konseling. Yang menarik dan meenjadi polemik pengakuan jam masuk bimbingan dan konseling terdapat pada hal 51 poin 3 (a) Waktu dan Posisi Pelaksanaan Layanan. Semua kegiatan mingguan (kegiatan layanan dan/atau pendukung bimbingan dan konseling) di selenggarakan di dalam kelas (sewaktu jam pembelajaran berlangsung) dan/atau diluar kelas (diluar jam pembelajaran)   bunyi dan/atau dalam ketentuan di atas dapat menjadikan alas an tersendiri sekolah tidak memberikan jam masuk sekolah pada guru BK, alternatif lain hanya sebatas pengisi jam kosong jika ada guru maple berhalangan. Seiring waktu mulai muncul pencerahan, selang satu tahun 81 A dilansir  Permendikbud khusus membahas Bimbingan dan Konseling yakni Permnedikbud No. 111 tahun 2014 hadir, sebuah penantian dalam sejarah yang terhitung sejak lama meenjadikan BK mendapatkan landasan yuridis formal yang lebih kokoh, dan menjawab polemic yang ada sebelumnya tentang ketentuan masuk kelas, ketentuan dipasal 6 (4) Layanan Bimbingan dan Konseling sebagaimana dimaksud di ayat (3) yang diselenggarakan di dalam kelas dengan ketentuan belajar 2 (dua) jam. Permendikbud ini juga mempertegas kesalahan linieritas profesi dimana seorang guru BK harus berbasis Sarjana BK bukan sarjana pendidikan yang lainnya, fakta dilapangan sangat ironis seorang yang menempuh sarjana pendidikan, karena dalam transkip nilai ada makul BK (du asks) sudah dianggap menguasai BK.
Permendikbud no 111 tahun 2014 walaupun secara teknis sudah mengupas detail tentang kinerja bimbingan dan konseling, pada tahun 2016 muncul kembali penguatan bimbingan dan Konseling dalam struktur kurikulum, kado terindah pertengahan tahun yaitu Panduan Operasional Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling (POP BK) oleh Dirjen GTK Kemdikbud. POP BK mencangkup keseluruhan jenjang pendidikan dari  SD, SMP, SMA dan SMK. Tidak lepas pula bahasan BK mengikat masuk kelas dan unsur linier akademik personal guru.
Sedikit mengernyitkan dahi, saat ada pengakuan dari seorang guru BK Dorothea (Papua) mengatakan, Implementasi BK di SMA di kabupaten MERAUKE  yang dapat jam mengajar hanya beberapa SMA saja dari 12 SMA. Yang lainnya kami tidak dapat jam mengajar.  Setuju untuk diadakan tim khusus yang langsung ketemu dengan kepala sekolah dan kepala dinas. Dampak dari guru BK tidak ada jam mengajar  untuk siswa di pulau jawa sosialisasinya beda dengan siswa papua yang masih perlu banyak waktu untuk penyesuaian diri dengan lingkungan sekolah. Sehingga ketika mereka ada masalah biasanya mereka maluu untuk ketemu guru BK. Guru BK baru tahu pada saat sudah terjadi masalah sehingga mau di dampingi sudah terlambat. Akibat dari guru BK tidak ada jam mengajar di kelas. Sangat setuju kalau guru BK ada jam mengajar di kelas karena langsung tatap muka dengan siswa sehingga siswa yang punya masalah langsung di tangani segera.
Problem yang muncul sebenarnya tidak hanya di Papua saja, keluhan juga ada dari beberapa tempat yang lainnya, termasuk di sekolah yang ada di pulau Jawa. Yang menarik dan menjadi pertanyaan, ada apakah sebenarnya dengan Bimbingan dan Konseling ini, secara nyata sudah terdapat payung hukum, tetapi riil dilapangan masih ada kendala yang dijumpai.  Agar tidak ambiqu dengan istilah mengajar, saya akan gunakan istilah yang disampaikan oleh Prof Sunaryo, bahwa Bimbingan dan Konseling masuk kelas bukan untuk mengajar, tapi untuk memberikan Layanan Bimbingan. Jangan sampai terjebak pada pembelajaran dan terjadi mispersepsi bahwa Guru BK mengajar walaupun mungkin Guru BK menggunakan proses inquiry/discovery/dialog kreatif tapi tetap dalam  kerangka kerja Bimbingan. Saya lebih cenderung menggunakan istilah Bimbingan klasikal sebagaimana ditegaskan dalam Permendikbud no 111 tahun 2014, bukan mengajar.
Alokasi Jam masuk kelas bukan berarti BK harus jadi (semi) mapel, karena BK dalam seting kelas memerlukan proses yang  akan menyangkut penstrukturan, pengembangan transaksi psikososiokultural-spritual, rewards dan reinforcement.  Semua itu terarah kepada upaya pengembangan  ragam aspek perkembangan baik akademik, pribadi, sosial, maupun Karir.  Jika ya maka Layanan klasikal itu diekuivalensikan dengan kegiatan mengajar tapi tetap tidak disebut mengajar. Ini persoalan teknis. Untuk istilah mengajar untuk guru BK disebut Layanan klasikal. Masalah sekarang adalah persoalan implementasi regulasi tetang alokasi waktu 2 jam/minggu yang  belum terlaksana sebagaimana mestinya.
Justru untuk mendukung pendidikan  berkarakter misi akademik dan misi perkembangan siswa harus diintegrasikan. Akademik dan karakter bukan hal yang dikotomis tapi satu keutuhan. Oleh karena itu misi akademik dan perkembangan siswa harus terintegrasi, Bimbingan dan Konseling  ada di dalamnya. Tapi kita tak boleh menabrakan diri dengan konteks tugas yang bukan konteks tugas Guru BK, kalau ditarik ke mengajar itu akan kembali pada persoalan kurikulum KTSP 2006 yang menempatkan Bimbingan dan Konseling hanya sebagai bagian dari pengembangan diri. Karena tugas Guru BK diseret ke wilayah pembelajaran.  Jangan hal itu diulang, kondisi penataan saat ini justru bertolak,  karena Guru BK pernah diseret ke konteks tugas yang tidak semestinya dan sekarang sudah kembalikan pada relnya justru itu yang harus kita perjuangkan ke pemerintah. Berharap ada kebijakan atau dukungan dari Mendikbud untuk solusi ini yang menegaskan Guru BK dialoksikan masuk kelas 2 Jam/minggu. Tanpa dukungan langsung  Mendikbud rasanya masalah ini sulit terpecahkan segera.
Terkait koreksi istilah Layanan dasar,  ketika konsep ini muncul 22 tahun yang lalu dalam ke BK an di Indonesia istilah awalnya adalah Guidance Curricullum (Kurikulum Bimbingan). Saat itu istilah Kurikulum Bimbingan tidak digunakan, karena khawatir BK dianggap mapel dan bisa rancu dengan istilah Kurikulum BK sebagai kurikulum prodi BK.  Jika saat ini istilah Kurikulum Bimbingan dianggap lebih  pas, Saya lebih setuju menggunakan istilah itu dan Layanan Klasikal menjadi bagian dari implementasi Kurikulum Bimbingan.
Pelengkap pernyataan Prof Sunaryo diatas, Ketua Umum ABKIN Dr Farozin, juga menambahkan pemberian layanan bimbingan klasikal dilaksanakan atas dasar need asesmen (kebutuhan peserta didik) dan arah kebijakan pendidikan nasional dan disiapkan dalam bentuk RPL Bimbingan Klasikal. Untuk mencapai layanan profesional, perlu diusulkan penyusunan materi BK yang terstandar nasional.
Ada pula problem menarik dari kebijakan yang baru dilansir yaitu PP 19 tahun 2017 sebagai bentuk berubahan PP 74 tahun 2008, saat ditunjuk oleh PGRI sebagai salah satu tim sebelas membahas dan menuangkan rekomendasi dari pasal per pasal secara detail dan jelas terhadap aspek kekurangan maupun kelebihan dalam kebijakan yang tertuang di PP No. 19 tahun 2017 di acara Rapat Koordinasi Nasional PGRI di selenggarakan di Jakarta pada tanggal 19 hingga 20 juni 2017 di Hotel Fave Jakarta. Temuan menari pada pasal 52 yang tidak menyebutkan ranah Bimbingan dan Konseling yang telah di atur dalam ketentuan di PP 74. Koreksi bersama, sepertinya perumusan kebijakan perlu hadir duduk bersama dari perwakilan unsur Bimbingan dan Konseling. Usai selang satu tahun, muncul lagi kebijakan pada Permendikbud No. 15 tahun 2018 untuk menguraikan bab teknis dari PP 74, ketentuan dalam pasal 4 yang terkatub dalam permendikbud 15/2018 (4) pelaksanaan pebimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipenuhi oleh oleh Guru Bimbingan dan Konseling atau Guru Teknologi informasi dan Komunikasi dengan membimbing paling sedikit 5 (lima) rombongan belajar pertahun. Ketentuan ini mengundang pertanyaan, jumlah siswa asuh atau rombel sebagai penentuan beban kerja guru BK.
Dalam hal ini partisipasi keorganisasian profesi Bimbingan dan Konseling meliputi ABKIN, HSBKI, APKS PGRI, dan Asosiasi MGBK Nasional untuk duduk bersama menelaah dan ikut serta dalam perumusan kebijakan pemerintah dalam merumuskan produk kebijakan, sehingga tidak menimbulkan masalah krusial di lapangan.
Hal lain yang perlu diperhatikan ketiga, Hindari Malpraktek  Kinerja Guru BK. Masih adanya anggapan guru BK sebagai polisi sekolah, satpam sekolah, dll seharusnya menjadikan kita lebih intropeksi diri. Sebelum lebih jauh melangkah pada uraian malpraktek, sedikit mengingatkan pada pesan Mendikbud, Prof Muhadjir saat memperingati Hari Guru Nasional yang bertepatan  dengan hari kelahiran PGRI pada tanggal 25 November 2017, Prof Muhadjir mengingatkan profesi guru adalah pekerjaan yang mulia. Mendikbud menekankan peran guru dalam sejarah bangsa Indonesia sangat besar dan menjadi penentu dimasa depan. Pada waktu penjajahan, guru menanamkan harga diri sebagai bangsa, menanamkan semangat nasionalisme. Dan guru merupakan peran strategis dalam menentukan keberhasilan pendidikan sebagai dasar kemajuan bangsa.
Jika kita cermati, pesan dari mendikbud tersebut seharusnya menjadikan motivasi bagi kita sebagai seorang guru yang hidup di era zaman kemerdekaan, sudah saatnya mengisi kemerdekaan ini dengan wujud nyata yaitu mencerdaskan anak bangsa, tentu saja hal ini tidak semudah membalikan tangan begitu saja, seluruh komponen kompetensi guru perlu dikembangkan. Melihat aspek penting keberadaan dan peran guru maka pengembangan diri perlu dimaksimalkan, untuk itulah malpraktek perlu dihindarkan untuk mencapaai sasaran guru professional.
Dalam diskusi Prof Muhadjir sedikit menyentil tupoksi guru BK, penting bagi BK untuk memberi pencerahan kepada koleganya, para guru, mengenai tugas dan perannya agar tidak disalah pahami. Menurut saya semua guru pada dasarnya juga harus bisa melakukan tugas BK. Tanggung jawab guru BK adalah membimbing dan melatih mereka agar bisa melakukan peran itu.  Ibarat dokter, guru BK itu dokter sup spesialis. Tidak semua persoalan harus di handle oleh guru BK. Hanya yang tergolong parah saja. Kalau yang ringan-ringan cukup para guru non BK di bawah arahan guru BK. Karena itu di dalam Permendikbud No 15 2018 tugas pembimbingan adalah termasuk  beban kerja guru. Ibaratnya, kalau cuma flu ringan,  pegal linu, masuk angin tidak perlu berobat ke dokter, apalagi dokter sup spesialis.
Permasalahan yang muncul justru sekarang banyak  guru BK yang kurang menyadari perannya, bertindak seperti petugas tatib di sekolah misalnya. Jika hal ini terjadi maka bukan salah siswa memunculkan  image bahwa guru BK  adalah satpam sekolah, hantu sekolah, atau konotasi lainnya yang menggambarkan sosok jahat mengancam siswa.
Bukan berarti disini BK anti ketertiban, tetapi subtansi penempatan peran yang perlu diperhatikan, semisal di sekolah berlaku penerapan point pelanggaran, guru mapel atau kesiswaan menemukan siswa yang melanggar dan kemudian dikirim keruang BK untuk mendapatkan point atau sangsi, disini lah letak kesalahan manajemen sekolah yang terjadi. Peran guru BK yang diharapkan oleh bapak Mendikbud “memberi pencerahan kepada koleganya, para guru, mengenai tugas dan perannya agar tidak disalah pahami” sangat diharapkan, dalam tim tatib BK bukan pemberi point melainkan memberikan pembinaan atau pemahaman siswa tentang kesalahan yang diperbuat dengan tujuan tidak ada pengulangan tindakan.
Fakta lain, dalam rapat kenaikan kelas misalnya ketika bersiteru rapat dewan guru menentukan masa depan siswa berlanjut naik ke kelas lebih tinggi atau tinggal di kelas, kadang fungsi advokasi BK pada siswa kurang atau bahkan tidak muncul sama sekali, notabene diharapkan ada pembelaan malah justru guru BK mengumbar aib siswa, guru yang tidak tahu jadi tahu sederhananya seperti itu jika kita pahami. Guru yang tahu semakin  mantab pula memberikan vonis pada siswa karena mendapat dukungan dari guru BK.
Teringat cerita bapak Drs H. Syamsul Bahri, M.PdI  Kakanwil Kemenag Provinsi Jawa Timur saat  membuka  bimtek guru BK tingkat MTs dan MA se Jawa Timur. Durasi hampir satu jam beliau menyampaikan paparan konsep pendidikan, tiba-tiba tertunduk menangis dan terbata-bata ketika berbicara. Dulu beliau dikategorikan sebagai anak super, semua guru kompak memberikan vonis tidak lulus, tetapi dengan usapan teduh dan pembelaan dari Kepala sekolah dan guru BK berhasil melalui vonis tersebut, bahkan pebimbingan dan konsultasi masih berlanjut ketika usai lulus sekolah, beliau sempatkan kirim doa untuk guru tercintanya tersebut saat itu juga . Cerita beliau setidaknya bisa memberikan pencerahan buat kita seberapa buruk atau baik tindakan pasti akan terkesan dihati murid kita, tidak selamanya karakter nakal akan selalu menjadi nakal atau sebaliknya, maka jauhlah kita dari tindakan menghakimi.
Jika kita telaah bersama sebenarnya sumber malpraktek tidak berangkat dari pribadi guru BK itu sendiri, kemungkinan juga bisa berangkat dari system tata kelola sekolah, guru BK dipaksa bertindak diluar tupoksinya, guru BK dianggap sebagai pelengkap administrasi, asal ada guru BK tidak masalah latar belakang pendidikannya di anggap sudah cukup menyelesaikan masalah. Berbau mirip-mirip misalnya berlatar belakang psikologi sah menjadi guru BK, atau ada jurusan BK Islam yang sasarannya mengarah pada konsultasi perkawinan di KUA juga sah menjadi guru BK karena ada kemiripan nama, padahal dari gelar kesarjanaan sudah berbeda. Melihat kondisi yang demikian hendaknya perlu menjadi perhatian bersama, pemangku jabatan dalam lingkup kecil di sekolah (Kepala sekolah) dan Kepala Dinas perlu mengkaji kebijakan yang tegas terhadap linieritas keilmuan. Sedang pihak Eksternal yang diharapkan ikut campur tangan memberikan bantuan mencegah malpraktek dalam hal ini, adalah Badan Akreditasi Nasional, selain unsur jumlah guru, ruang sarana prasarana, kelengkapan administrasi yang terpenting lagi perlu ditambahkan point penilaian skor terbesar adalah linieritas pendidikan guru BK. Lalu bagaimana solusi bagi kondisi “kata terlanjur” istilah menuntut ilmu tanpa batasan umur masih berlaku hingga sekarang, S 1 kedua adalah alternatif penyelesaian masalah.
Langkah ke empat  yakni  Pengembangan Keprofesionalan Guru BK, tuntutan guru dalam pengembangan diri, guna meningkatkan layanan pendidikan di sekolah/madrasah tidak terlepas dari tujuan peningkatan mutu pendidikan. Sehingga perlu memperhatikan aspek pendukung, antara lain mencapai standar kompetensi profesi, memutahkirkan kompetensi, berkomitmen melaksanakan tugas, serta mengangkat citra harkat juga martabat profesi guru itu sendiri.
Dalam ketentuan pasal 11 ayat c Permeneg PAN dan RB Nomer 19 tahun 2009, pengembangan diri merupakan salah satu aspek yang penting dalam komponen penilaian kinerja berkelanjutan, terwujud dalam bentuk diklat fungsional atau kegiatan kolektif guru. Diklat fungsional bagi guru adalah kegiatan mengikuti pendidikan atau latihan yang bertujuan untuk meningkatkan keprofesionalan guru yang bersangkutan dalam kurun waktu tertentu, adapun kegiatannya dapat berupa; kursus, pelatihan, penataran maupun berbagai bentuk diklat yang lainnya. Sedangkan kegiatan kolektif guru adalah kegiatan guru dalam mengikuti kegiatan pertemuan ilmiah atau mengikuti kegiatan bersama yang dilakukan guru bertujuan untuk meningkatkan keprofesian guru yang bersangkutan.
Hal ini juga menjawab permintaan Mendikbud saat hadir di Konkernas PGRI ke V di Batam, pesan Mendikbud kepada Ketua Umum PGRI Bunda Unifah, agar PGRI turut serta membantu pemerintah sebagai mitra dalam meningkatkan keprofesionalan guru yang handal dan mumpuni demi mencapai tujuan pendidikan nasional.
Tidak ada istilah jawaban tidak untuk hal tersebut, Selaku Ketua APKS PGRI Provinsi Jawa Timur, Drs Didiek Budihardjo, M.M optimis ke depan APKS  akan menjadi salah satu motor penggerak peningkatan keprofesionalan guru di Indonesia, bisa jadi pesan Mendikbud adalah debut lanjutan APKS PGRI Provinsi Jawa Timur berkarya. Dengan  dukungan  keanggotaan pengurus dari guru-guru terpilih (berprestasi dan potensial) menjadi modal utama keberhasilan gerak APKS menjadi terdepan.  APKS juga tidak menutup kemungkinan bekerjasama dengan mitra dari penggiat atau institusi pendidikan lainnya, selama tidak lepas dari koridor pencapaian tujuan pendidikan nasional APKS siap menjalin hubungan harmonis bersinergi.
Kembali pada bahasan pengembangan diri, guru harus dapat mengambil langkah sigap, karena dalam forum rembuk nasional  yang  tidak kunjung selesai adalah jumlah dan mutu kualitas guru. Sudah saatnya peningkatan mutu dan keprofesionalitas  guru menjadi fokus utama, senada yang disampaikan oleh Kementerian Agama melalui Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah, menekankan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia harus mulai dari peningkatan kualitas guru setelah itu peningkatan dilakukan pada aspek lain seperti kurikulum, sarana dan lainnya.
Melirik sekilas pada Undang-undang No. 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen, pada pasal 10 ayat 1 menyebutkan kompentesi guru ada 4  yakni pendadogik, kepribadian, sosial dan keprofesionalan. Bicara tentang kompetensi keprofesionalan, dapat  difinisikan adalah penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan subtansi keilmuan yang menaungi materinya serta penguasaan terhadap struktur dan metodelogi keilmuaannya. Lingkup luas lagi yaitu menguasai  materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung pelajaran yang diampu.
Secara teknis dapat diuraikan, penguasaan standar kompetensi dan kompetensi dasar bidang yang diampu, mampu mengembangkan materi pembelajaran, mengasah keprofesionalan secara berkelanjutan, dan sesuai tuntutan zaman yaitu mampu menguasai teknik informatika dalam proses pembelajaran.
Untuk mencapai tujuan di atas, perlu adanya peran maksimal organisasi profesi guru berkiprah. Khusus di Bimbingan dan Konseling, selain APKS Bidang BK terdapat ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia), AMGBK Nasional (Asosiasi Musyarawah Bimbingan dan Konseling), dan HSBKI (Himpunan Sarjana Bimbingan dan Konseling). Sedangkan organisasi yang bersifat teknis milik pemerintah, yakni MGBK SMP/MTs dan SMA/SMK/MA di lingkup batasan tingkat Kota dan Provinsi.
Penutup dalam penulisan intisari diskusi dalam forum rembuk adalah apresiasi dan kebanggaan pada sikap terbuka  Mendikbud Prof Muhadjir, beliau memerlukan masukan mengenai tugas, peran dan fungsi guru BK. Seiring dengan adanya beberapa nomen klatur yang baru, antara lain tentang komite sekolah, beban kerja guru, termasuk program PPK. Pernyataan bapak Mendikbud, memberikan angin segar untuk perubahan peradaban dunia Bimbingan dan Konseling.
Dalam jawaban singkat, penuh makna Prof Sunaryo selaku sesepuh di forum rembuk BK, ada peran BK yang perlu diperankan oleh guru mapel terutama dalam membangun dampak pengiring pembelajaran yang bisa mengembangkan soft skills.  BK pun bergeser orientasi dari  kuratif ke perkembangan sehingga layanan Bimbinga dan Konseling untuk semua dan tidak lagi hanya untuk siswa bermasalah. Yang harus dibangun sekarang dalam pemahaman saya adalah kolaborasi Guru BK dan Guru mapel secara equal dalam memfasilitasi perkembangan peserta didik.
Tanpa mengurangi sedikitpun pernyataan dari Mendikbud, saya tuliskan pesan beliau dalam pengujung diskusi  BK  itu pekerjaan panggilan jiwa. Anggap saja bagian dari ibadah Ramadhan. Pahalanya besar loh” dan “Nah itu yang saya maksud. Guru BK jaman Now harus berubah”.  Insyallah kami siap bersama mewujudkannya, semoga bapak Mendikbud berserta jajaran berkenan hadir dalam Rakernas ABKIN di Jogja pada tanggal 10 s/d 11 Juli 20118, bahasan dalam diskusi akan menjadi tema menarik dalam moment tesebut.

2 komentar:

  1. Masalah studi lanjut yaitu untuk pendaftaran di perguruan tinggi dimana kami dituntut untuk melayani siswa sangat menguras waktu kami khususnya masalah yang bersifat administrasi yaitu entry nilai semua siswa dimana masing2 jenis pendaftaran perguruan tinggi mempunyai pola yang tidak sama sehingga pelayanan bk juga banyak yang terkuras dengan hal2 yang sifatnya administrasi yang menjadi beban juga untuk guru bk tingkat sma/smk.

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah....
    Tak kasih jempol double Ndoro

    BalasHapus

Komentar diharapkan bersifat membangun dalam rangka pengembangan keilmuan Bimbingan dan Konseling. Kami sampaikan terima kasih