Kamis, 06 Juni 2019

Membentuk Karakter Peserta Didik Melalui Batu Inovasi


by
Dwi Atmaja dan Imma Laili Rahmawati

Tidak ubahnya media yang lainnya, batu sebagai pengembangan proses pembelajaran di anggap sangat menarik, selain efisien dan efektif kemudahan untuk mendapatkan bahan media sangat mudah. Beberapa fungsi batu digunakan sebagai alat pembatas garis finish waktu lari, penanda tempat lompatan, dan lain-lain saat kita berolahraga. Dalam dunia pembelajaran sendiri, lebih banyak batu dijadikan objek riset penelitian, semisal batuan metamorf adalah batuan yang terbentuk dari proses metamorfisme yang telah ada sebelumnya, kemudian proses pembelajaran dalam hal ini diarahkan pada bagaimana menjelaskan jenis-jenis batuan metamorf. Dalam konsep pembelajaran berikut maka fokus sasaran tujuan pasti terbatas pada satu pokok bahasan, peran batu sebagai objek dikatakan memiliki jangkauan terbatas dan nyaris tidak akan mungkin terjadi jika seorang pendidik menginginkan lebih luas dalam kolaborasi dengan keilmuan yang lainnya. Hal ini lah yang harusnya mendorong seorang pendidik berinovasi menempatkan batu sebagai subyek pada media pembelajaran. Diharapkan media batu menyalurkan pesan dari pendidik ke peserta didik sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan dan minat serta perhatian peserta didik sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi secara optimal sekaligus menghadirkan sentuhan yang diterima secara langsung melalui panca indera peserta didik, dan merangsang ranah kognitif, afektif, dan psikomotor untuk berkembang.

Sama akan halnya prosedur dalam penggunaan media pembelajaran, pemilihan batu inovasi sebagai media pembelajaran perlu hendaknya memperhatikan beberapa hal kaidah berikut; (1) tujuan,  penggunaan di sesuai dengan tujuan yang  terdapat dalam materi yang telah disusun atau dirumuskan sebelumnya, (2) manfaat dan keefektifan, dalam hal ini perlu pengkajian sejauh mana keefektifan media digunakan untuk mendukung metode dan tujuan pembelajaran, (3) kompetensi pendidik dan peserta didik, pertimbangan kompetensi pendidik dalam penyampaian materi menggunakan media batu, akan menjadi penentu utama pada proses pembelajaran, pendidik dituntut harus memiliki kemampuan menyampaikan pesan materi pelajaran pada peserta didik, sekaligus dapat menselaraskan pola pemikiran peserta didik yang heterogen, (4) fleksibilitas, dari ketahanan media batu bersifat tidak mudah rusak, tahan dalam segala situasi, dan tidak ada unsur resiko tidak perlu dipermasalahkan, tetapi kelenturan dalam penggunaan media batu perlu dipertimbangkan yaitu menjadikan nilai lebih tersendiri, jika media batu inovasi dapat membawa kemanfaatan ketika dikolaborasikan dengan ragam media jenis lainnya, (5) Ketersediaan dan Efisiensi, pendidik dapat menggunakan media batu yang ada di sekitar sekolah, terlebih jika pembuatan media batu dilakukan oleh peserta didik sendiri, rasa memiliki media semakin tinggi dan dari sisi efisiensi akan mengurangi kebutuhan anggaran sekolah, (6) objektifitas, pemilihan penggunaan media hendaknya mempertimbangkan aspek jangkauan lebih luas, tidak hanya sekedar menuangkan kepuasan pendidik semata melainkan mengacu pada keefektifan proses belajar mengajar. Sehingga perlu diadakan refleksi dengan menyerap masukan dari peserta didik, karena jika dalam pengunaan atau pemilihan media itu tidak memperhatikan hal tersebut maka akan banyak ditemui hambatan dalam mencapai tujuan proses belajar dan mengajar yang diharapkan.
Didalam Bimbingan dan Konseling, ada beberapa yang sudah mengembangkan batu sebagai media tetapi batasannya masih bersifat lebih alat katarsis dalam konseling. Kartasis adalah meluapkan emosi-emosi yang terpendam, akibat rasa jengkel, kecewa, sedih, marah, dan lain sebagainya, dan media batu ini dijadikan sebagai sarana mengungkapkan segala macam emosi yang mengganggunya. Pada pelaksanaan teknis di awal hampir dipastikan sama, tetapi dalam konsep selanjutnya terdapat pembedaan, antara lain  pertama terletak penekanan batu sebagai subyek media yang lebih fokus pada proses pembelajaran, kedua sasaran tidak bersifat individu atau kelompok kecil dalam situasi konseling melainkan bersifat umum dalam satu kelas atau lintas kelas dan ketiga penggunaanya tidak terbatas pada ranah bimbingan dan konseling saja, melainkan mata pelajaran yang lain dapat mengadopsi konsep ini. Secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut usai peserta didik diberikan kesempatan berkartasis, menceritakan nuansa hati dan perasaannya melalui lukisan di batu, kemudian dari batu tersebut dipilihlah menjadi bahan diskusi kelompok di kelas, dan dipecahkan secara bersama-sama. Sedangkan penjelasan dari konsep sederhana diatas, akan diperjelas pada langkah-langkap pelaksanaan teknis di bab ini.
Lalu bagaimana dengan implementasi pada bidang studi lainnya, hal inilah yang dikatakan menarik pada penggunaan media batu inovasi, pergantian proses pembelajaran dapat dilakukan di awal, tema peserta didik menjadikan batu sebagai media kartasis, dirubah menjadi sub pokok bahasan pembelajaran. Semisal mata pelajaran agama, memahami tafsir surat di Al Quran.

Gambar. 1 Karya peserta didik
Dalam penjelasan gambar ini, seorang pendidik (guru agama) dapat mengembangkan media batu inovasi menjadi sarana tujuan pembelajaran peserta didik menguasai arti terjemahandan kandungan ayat suci dalam Al Quran. Langkah awal peserta didik, diminta untuk membuat karya dengan menuliskan surat-surat yang terdapat di Al Quran pada sebuah batu. Ada pertimbangan kenapa harus dilakukan oleh peserta didik, diharapkan dalam hal ini konsep perpaduan ketiga unsur dalam pembelajaran dapat bergerak secara dinamis sehingga terjadi perubahan tingkah laku pada peserta didik, baik yang menyangkut perubahan bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor) maupun yang menyangkut nilai dan sikap (afektif). Dalam proses ini mendorong peserta didik menjadi bagian dalam proses pembelajaran tersebut, muncul keseimbangan antara pengetahuan dan keterampilan, adanya perubahan sikap dan prilaku dapat terjadi karena interaksi antara pengalaman-pengalaman yang dialami, hal ini lah yang disebut dengan difinisi belajar. Ramayulis (2002) Belajar merupakan proses penambahan ilmu pengetahuan, dimana  ilmu pengetahuan tersebut diterima oleh memory otak melalui sarana atau media yang dapat menyampaikan informasi tersebut. Pemindahan pengetahuan dilakukan oleh seseorang yang mempunyai pengetahuan (pengajar) kepada orang lain yang belum mengetahui (pelajar) melalui suatu proses belajar mengajar yang disebut sebagai pengajaran.
Sisi lain keterlibatan peserta didik, dalam pembuatan karya mengantisipasi sikap pasif peserta didik. Dalam hal ini media batu akan berguna untuk menimbulkan motivasi belajar, memungkinkan interaksi langsung antara anak didik dengan materi pembelajaran, dan memungkinkan peserta didik belajar mandiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Pertimbangan lain diharapkan adalah menciptakan kemudahan pada proses pembelajaran, antara lain yaitu pertama, mampu mengatasi hambatan-hambatan dan lebih mudah menguraikan materi pelajaran yang dianggap susah, kedua memudahkan pemahaman dan menjadikan kemasan pelajaran lebih dinamis dan menarik, ketiga merangsang psikomotor dengan aktivitas gerak dan menggerakkan naluri perasaan lebih menghayati serta penguasaan pengetahuan secara komplek terkait isi pelajaran, keempat memungkinkan terbentuknya karakter pada peserta didik, melalui curah pendapat dan tukar pikiran terhadap materi pelajaran saat pembuatan media dan terahkir, kelima memungkinkan hadirnya rasa memiliki yang kuat pada materi pelajaran tersebut, hal tersebut tentunya akan menghadirkan ingatan pengetahuan peserta didik.
Tahapan selanjutnya, dikembalikan pada pendidik untuk pengembangan diri peserta didik melalui pemilihan metode pembelajaran terkait media batu inovasi tersebut, dapat mengarahkan pada model diskusi, presentasi, dan lain sebagainya yang di anggap relevan dengan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan. Semisal penggunaan metode diskusi, maka peserta didik dalam hal ini diminta untuk menguraikan arti dan kandungan isi ayat yang telah dituliskan dalam karya mereka, selanjutnya peserta didik diminta untuk menguraikan implementasi kandungan ayat di masyarakat, dan mengarahkan pembentukan karakter positif pada peserta didik melalui tahapan proses pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit).
Dalam praktek Bimbingan dan Konseling, penggunaan media batu inovasi bisa dilakukan pada proses pembelajaran layanan klasikal. Paradigma menarik dalam layanan klasikal ini adalah mengkontradiksi konsep bahasan rasa kegalauan yang dialami individu (kartasis) menggunakan metode yang menyenangkan sehingga tercipta karakter pemahaman diri (personal) dan karakter kepedulian sosial pada peserta didik. Merumuskan formula layanan klasikal yang menyenangkan merupakan suatu keharusan yang dilakukan oleh pendidik (guru BK) karena teori dalam belajar akan efektif jika dilakukan dalam suasana seperti ini. Pada proses layanan klasikal menggunakan media batu inovasi peserta didik diajak untuk lebih berupaya menghargai apa yang ada potensi diri, mengambil hikmah dari setiap kejadian yang pernah dilalui, diajak untuk lebih fokus pada bagian yang terbaik dimiliki peserta didik dan menjadikannya sebagai pijakan dalam melakukan perubahan dalam kehidupan. Dengan demikian tujuan layanan klasikal yang di inginkan membuat peserta didik akan lebih bersikap optimis dan bergerak maju untuk bisa dapat tercapai. Sehingga akan menjadi pembiasaan peserta didik ketika berada dalam kondisi keterpurukan sekalipun, dia akan pasti mampu memanfaatkan kemampuan yang ada untuk mengatasinya. Selain itu dalam layanan klasikal batu menjerit ini juga terdapat sentuhan karakter religius, yaitu mencoba menanamkan pemahaman diri pada peserta didik tentang pesan belajar bahwa kebahagiaan itu bersumber pada manusia ketika dia bisa memaknai kehidupan, kebahagiaan adalah jalan bagi manusia untuk mengembangkan fitrah kemanusiaannya sendiri untuk menjadi manusia sempurna, dan jalan untuk mencapainya adalah senantiasa bersyukur atas apa yang telah dimiliki atau diperoleh kelak di lain hari.


Gambar.2 Media Batu Inovasi (Batu Menjerit)
Kedua gambar diatas adalah contoh bentuk kartasis peserta didik yang diluapkan dalam ekspresi seni lukis batu, dalam dunia BK khususnya dalam layanan klasikal masih terbilang baru untuk penggunaan media batu inovasi ini, maka istilah yang diberikan untuk identitas nama adalah batu menjerit, karena media ini berisikan luapan emosi negatif yang dialami oleh peserta didik yang tertuang di atas goresan batu. Tidak menutup kemungkinan batu inovasi berikut akan berubah istilah ketika terjadi perbedaan fokus arah layanan klasikal,  semisal untuk pengembangan sikap karakter positif tertentu, mendorong motivasi untuk berprestasi, dan lain sebagainya.
Konsep penggunaan media batu menjerit mengacu pada Self-determination Theory, memusatkan perhatian pada peseta didik yang mengalami permasalahan, dan fokus menjadikan pengalaman tersebut sebagai bahasan fenomena kehidupan manusia, serta menekankan pada tindakan karakteristik manusia seperti memilih, kreativitas, menilai, dan realisasi diri ketika menghadapi permasalahan. Serta memberikan perhatian khusus pada nilai harkat martabat manusia sekaligus menciptakan perkembangan potensi yang inheren pada setiap individu ketika berinteraksi dengan diri sendiri maupun dalam kelompoknya, sehingga dalam hal ini tidak sekedar transfer of knowlege tetapi transfer of value, peserta didik dapat memecahkan permasalahan hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Gambar.3 Tiga kebutuhan dasar
Sekaligus dalam penggunaan media batu menjerit berupaya untuk membangun semangat motivasi peserta didik untuk memunculkan karakter kemandirian memecahkan permasalahannya sendiri (otonomi) dan membekali peserta didik dasar pengetahuan dalam kemampuan memecahkan masalah yang dihadapi (kompetensi), serta memecahkan permasalahan bersama-sama (koneksi) melalui hubungan interaksi sosial antara peserta didik.  Konsep ini memang dipersiapkan untuk mendorong peserta didik bergerak membangun kepribadian yang kuat dan mampu menjalani kehidupan sesuai dengan tugas perkembangannya.
Secara teknis model pembelajaran dalam layanan klasikal Bimbingan dan Konseling Batu Menjerit, disajikan dalam bentuk diskusi dengan tujuan meransang proses berpikir kritis ketika mengambil sebuah keputusan dan memiliki keberanian bertanggung jawab terhadap kepetusan yang telah diambil tersebut melalui interaksi internal kelompoknya dan eksternal keseluruhan peserta didik yang ada dikelas. Proses diskusi dapat disaksikan melalui chanel youtube Media Edukasi berikut


Gambar. 4 Tampilan video Problem Solving Batu Menjerit
Sedangkan desain diskusi pada proses layanan klasikal mengacu pada teknik buzz group discussion, membentuk peserta didik menjadi kelompok kecil beranggotakan 4 atau 6 orang membicarakan 2 buah batu menjerit yang didalamnya terdapat tinjauan masalah-masalah temannya, pemilihan masalah-masalah yang diangkat berdasarkan kesepakatan bersama dalam kelompoknya. Selanjutnya kesepakatan pemecahan masalah yang didapatkan dalam diskusi kecil tersebut dibahas dalam kelompok besar. Tidak ada batasan dalam hal ini harus menggunakan model desain diatas, para pendidik dapat berinovasi melalui beberapa pengembangan desain diskusi yang lainnya seperti, Whole group, Panel discussion, Syndicate group, Brainstorming group, dll. Sebagaimana asumsi kelebihan penggunaan metode diskusi yang disampaikan oleh Subroto (2002), pokok terpenting yang perlu dipertimbangkan dalam metode diskusi layanan klasikal menggunakan media batu menjerit, diharapkan peserta didik dapat terlibat secara langsung dalam proses belajar, peserta didik dapat menguji pengetahuan dan penguasaan bahan pelajarannya masing-masing, peserta didik dapat menumbuh dan mengembangkan cara berpikir dan sikap ilmiah, peserta didik dapat mengajukan dan mempertahankan pendapatnya dalam diskusi diharapkan para siswa akan dapat memperoleh kepercayaan akan (kemampuan) diri sendiri, dan peserta didik dapat menunjang usaha-usaha pengembangan sikap sosial dan sikap demokratis para siswa.
Kerangka berpikir dalam layanan klasikal Bimbingan dan Konseling menggunakan media batu menjerit  yaitu membuat terobosan baru tentang kreatifitas dan inovasi pembelajaran, dimana merubah skema individual learning menjadi cooperative learning, knowledge-transmitted ke bentuk interaktif fokus berbasiskan pada keterampilan proses berpikir kritis, kreatif, dan kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah. Sehingga guru Bimbingan dan Konseling harus mampu mempertimbangkan beberapa kriteria, antara lain mampu merancang dan mengelola proses layanan dengan mendorong siswa untuk berperan aktif, benar-benar menguasai proses pembuatan  media batu menjerit serta kemungkinan dapat mengkolaborasikan dengan layanan lainnya di Bimbingan dan Konseling, memberikan peluang maksimal kepada peserta didik untuk mengembangkan keterampilannya serta memberikan kebebasan peserta didik untuk mengungkapkan ide atau gagasannya, mampu melihat dan menyesuaikan batas  kemampuan peserta didik, mampu mengaitkan layanan pembelajaran dengan pengalaman peserta didik sehari-hari, dan terahkir mengadakan evaluasi keefektifan layanan yang telah dilakukan.
Berbicara tentang membangun karakter peserta didik seperti; berani, percaya diri, rasa ingin tahu, disiplin, tanggung jawab, mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, religius, toleransi, jujur, demokratis, peduli lingkungan, peduli sosial, menghargai prestasi, kreatif, jujur, dan cinta damai dapat memungkinkan hampir kesemuanya dapat dibentuk melalui media batu inovasi ini, tidak hanya terbatas pada Bimbingan dan konseling saja melainkan dapat terimplementasi pada mata pelajaran lainnya. Tentu saja dalam hal ini dikembalikan pada pendidik saat mengemasnya menjadi sesuatu proses pembelajaran yang pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM).


Daftar Pustaka
Ramayulis (2002). Ilmu Penddikan Islam, Jakarta: Kalam mulia
Subroto, B. Suryo. (2002). Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar diharapkan bersifat membangun dalam rangka pengembangan keilmuan Bimbingan dan Konseling. Kami sampaikan terima kasih