by
Dwi Atmaja dan Imma Laili Rahmawati
Tidak ubahnya media yang lainnya, batu sebagai
pengembangan proses pembelajaran di anggap sangat menarik, selain efisien dan
efektif kemudahan untuk mendapatkan bahan media sangat mudah. Beberapa fungsi
batu digunakan sebagai alat pembatas garis finish waktu lari, penanda tempat lompatan,
dan lain-lain saat kita berolahraga. Dalam dunia pembelajaran sendiri, lebih
banyak batu dijadikan objek riset penelitian, semisal batuan metamorf adalah
batuan yang terbentuk dari proses metamorfisme yang telah ada sebelumnya,
kemudian proses pembelajaran dalam hal ini diarahkan pada bagaimana menjelaskan
jenis-jenis batuan metamorf. Dalam konsep pembelajaran berikut maka fokus
sasaran tujuan pasti terbatas pada satu pokok bahasan, peran batu sebagai objek
dikatakan memiliki jangkauan terbatas dan nyaris tidak akan mungkin terjadi
jika seorang pendidik menginginkan lebih luas dalam kolaborasi dengan keilmuan
yang lainnya. Hal ini lah yang harusnya mendorong seorang pendidik berinovasi
menempatkan batu sebagai subyek pada media pembelajaran. Diharapkan media batu
menyalurkan pesan dari pendidik ke peserta didik sehingga dapat merangsang
pikiran, perasaan dan minat serta perhatian peserta didik sedemikian rupa
sehingga proses belajar terjadi secara optimal sekaligus menghadirkan sentuhan
yang diterima secara langsung melalui panca indera peserta didik, dan
merangsang ranah kognitif, afektif, dan psikomotor untuk berkembang.
Sama akan halnya prosedur dalam penggunaan media
pembelajaran, pemilihan batu inovasi sebagai media pembelajaran perlu hendaknya
memperhatikan beberapa hal kaidah berikut; (1) tujuan, penggunaan di sesuai
dengan tujuan yang terdapat dalam materi
yang telah disusun atau dirumuskan sebelumnya, (2) manfaat dan keefektifan, dalam hal ini perlu pengkajian sejauh mana
keefektifan media digunakan untuk mendukung metode dan tujuan pembelajaran, (3)
kompetensi pendidik dan peserta didik,
pertimbangan kompetensi pendidik dalam penyampaian materi menggunakan media
batu, akan menjadi penentu utama pada proses pembelajaran, pendidik dituntut
harus memiliki kemampuan menyampaikan pesan materi pelajaran pada peserta
didik, sekaligus dapat menselaraskan pola pemikiran peserta didik yang
heterogen, (4) fleksibilitas, dari
ketahanan media batu bersifat tidak mudah rusak, tahan dalam segala situasi,
dan tidak ada unsur resiko tidak perlu dipermasalahkan, tetapi kelenturan dalam
penggunaan media batu perlu dipertimbangkan yaitu menjadikan nilai lebih
tersendiri, jika media batu inovasi dapat membawa kemanfaatan ketika dikolaborasikan
dengan ragam media jenis lainnya, (5) Ketersediaan dan Efisiensi, pendidik
dapat menggunakan media batu yang ada di sekitar sekolah, terlebih jika
pembuatan media batu dilakukan oleh peserta didik sendiri, rasa memiliki media
semakin tinggi dan dari sisi efisiensi akan mengurangi kebutuhan anggaran
sekolah, (6) objektifitas, pemilihan penggunaan media hendaknya
mempertimbangkan aspek jangkauan lebih luas, tidak hanya sekedar menuangkan
kepuasan pendidik semata melainkan mengacu pada keefektifan proses belajar
mengajar. Sehingga perlu diadakan refleksi dengan menyerap masukan dari peserta
didik, karena jika dalam pengunaan atau pemilihan media itu tidak memperhatikan
hal tersebut maka akan banyak ditemui hambatan dalam mencapai tujuan proses
belajar dan mengajar yang diharapkan.
Didalam Bimbingan dan Konseling, ada beberapa yang sudah
mengembangkan batu sebagai media tetapi batasannya masih bersifat lebih alat
katarsis dalam konseling. Kartasis adalah meluapkan emosi-emosi yang terpendam,
akibat rasa jengkel, kecewa, sedih, marah, dan lain sebagainya, dan media batu
ini dijadikan sebagai sarana mengungkapkan segala macam emosi yang
mengganggunya. Pada pelaksanaan teknis di awal hampir dipastikan sama, tetapi
dalam konsep selanjutnya terdapat pembedaan, antara lain pertama terletak penekanan batu
sebagai subyek media yang lebih fokus pada proses pembelajaran, kedua
sasaran tidak bersifat individu atau kelompok kecil dalam situasi konseling
melainkan bersifat umum dalam satu kelas atau lintas kelas dan ketiga
penggunaanya tidak terbatas pada ranah bimbingan dan konseling saja, melainkan
mata pelajaran yang lain dapat mengadopsi konsep ini. Secara sederhana dapat
diuraikan sebagai berikut usai peserta didik diberikan kesempatan berkartasis,
menceritakan nuansa hati dan perasaannya melalui lukisan di batu, kemudian dari
batu tersebut dipilihlah menjadi bahan diskusi kelompok di kelas, dan
dipecahkan secara bersama-sama. Sedangkan penjelasan dari konsep sederhana
diatas, akan diperjelas pada langkah-langkap pelaksanaan teknis di bab ini.
Lalu bagaimana dengan implementasi pada bidang studi
lainnya, hal inilah yang dikatakan menarik pada penggunaan media batu inovasi,
pergantian proses pembelajaran dapat dilakukan di awal, tema peserta didik
menjadikan batu sebagai media kartasis, dirubah menjadi sub pokok bahasan
pembelajaran. Semisal mata pelajaran agama, memahami tafsir surat di Al Quran.
Gambar. 1 Karya peserta didik
Dalam penjelasan gambar ini, seorang pendidik (guru
agama) dapat mengembangkan media batu inovasi menjadi sarana tujuan
pembelajaran peserta didik menguasai arti terjemahandan kandungan ayat suci
dalam Al Quran. Langkah awal peserta didik, diminta untuk membuat karya dengan
menuliskan surat-surat yang terdapat di Al Quran pada sebuah batu. Ada
pertimbangan kenapa harus dilakukan oleh peserta didik, diharapkan dalam hal
ini konsep perpaduan ketiga unsur dalam pembelajaran dapat bergerak secara
dinamis sehingga terjadi perubahan tingkah laku pada peserta didik, baik yang
menyangkut perubahan bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor)
maupun yang menyangkut nilai dan sikap (afektif). Dalam proses ini mendorong
peserta didik menjadi bagian dalam proses pembelajaran tersebut, muncul
keseimbangan antara pengetahuan dan keterampilan, adanya perubahan sikap dan
prilaku dapat terjadi karena interaksi antara pengalaman-pengalaman yang dialami,
hal ini lah yang disebut dengan difinisi belajar. Ramayulis (2002) Belajar
merupakan proses penambahan ilmu pengetahuan, dimana ilmu pengetahuan tersebut diterima oleh
memory otak melalui sarana atau media yang dapat menyampaikan informasi
tersebut. Pemindahan pengetahuan dilakukan oleh seseorang yang mempunyai pengetahuan
(pengajar) kepada orang lain yang belum mengetahui (pelajar) melalui suatu
proses belajar mengajar yang disebut sebagai pengajaran.
Sisi lain keterlibatan peserta didik, dalam pembuatan
karya mengantisipasi sikap pasif peserta didik. Dalam hal ini media batu akan
berguna untuk menimbulkan motivasi belajar, memungkinkan interaksi langsung
antara anak didik dengan materi pembelajaran, dan memungkinkan peserta didik
belajar mandiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Pertimbangan lain
diharapkan adalah menciptakan kemudahan pada proses pembelajaran, antara lain
yaitu pertama, mampu mengatasi hambatan-hambatan dan lebih mudah
menguraikan materi pelajaran yang dianggap susah, kedua memudahkan
pemahaman dan menjadikan kemasan pelajaran lebih dinamis dan menarik, ketiga
merangsang psikomotor dengan aktivitas gerak dan menggerakkan naluri perasaan
lebih menghayati serta penguasaan pengetahuan secara komplek terkait isi
pelajaran, keempat memungkinkan terbentuknya karakter pada peserta didik, melalui
curah pendapat dan tukar pikiran terhadap materi pelajaran saat pembuatan media
dan terahkir, kelima memungkinkan hadirnya rasa memiliki yang kuat pada materi
pelajaran tersebut, hal tersebut tentunya akan menghadirkan ingatan pengetahuan
peserta didik.
Tahapan selanjutnya, dikembalikan pada pendidik untuk
pengembangan diri peserta didik melalui pemilihan metode pembelajaran terkait
media batu inovasi tersebut, dapat mengarahkan pada model diskusi, presentasi,
dan lain sebagainya yang di anggap relevan dengan tujuan pendidikan yang telah
dirumuskan. Semisal penggunaan metode diskusi, maka peserta didik dalam hal ini
diminta untuk menguraikan arti dan kandungan isi ayat yang telah dituliskan
dalam karya mereka, selanjutnya peserta didik diminta untuk menguraikan
implementasi kandungan ayat di masyarakat, dan mengarahkan pembentukan karakter
positif pada peserta didik melalui tahapan proses pengetahuan (knowing),
pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit).
Dalam praktek Bimbingan dan Konseling, penggunaan media
batu inovasi bisa dilakukan pada proses pembelajaran layanan klasikal.
Paradigma menarik dalam layanan klasikal ini adalah mengkontradiksi konsep
bahasan rasa kegalauan yang dialami individu (kartasis) menggunakan metode yang
menyenangkan sehingga tercipta karakter pemahaman diri (personal) dan karakter
kepedulian sosial pada peserta didik. Merumuskan formula layanan klasikal yang
menyenangkan merupakan suatu keharusan yang dilakukan oleh pendidik (guru BK)
karena teori dalam belajar akan efektif jika dilakukan dalam suasana seperti
ini. Pada proses layanan klasikal menggunakan media batu inovasi peserta didik
diajak untuk lebih berupaya menghargai apa yang ada potensi diri, mengambil
hikmah dari setiap kejadian yang
pernah dilalui, diajak untuk lebih fokus pada
bagian yang terbaik dimiliki peserta
didik dan menjadikannya sebagai pijakan dalam
melakukan perubahan dalam kehidupan. Dengan
demikian tujuan layanan klasikal yang di
inginkan membuat peserta didik akan lebih bersikap
optimis dan bergerak maju untuk bisa dapat
tercapai. Sehingga akan menjadi pembiasaan peserta didik ketika
berada dalam kondisi keterpurukan sekalipun, dia akan pasti mampu memanfaatkan
kemampuan yang ada untuk mengatasinya.
Selain itu dalam layanan klasikal batu menjerit ini juga
terdapat sentuhan karakter religius, yaitu mencoba menanamkan pemahaman diri pada peserta didik
tentang pesan belajar bahwa kebahagiaan itu
bersumber pada manusia ketika dia bisa memaknai kehidupan, kebahagiaan adalah
jalan bagi manusia untuk mengembangkan fitrah kemanusiaannya sendiri untuk
menjadi manusia sempurna, dan jalan
untuk mencapainya adalah senantiasa bersyukur atas apa yang telah dimiliki atau diperoleh kelak di lain hari.
Gambar.2 Media Batu Inovasi (Batu Menjerit)
Kedua gambar diatas adalah contoh bentuk kartasis peserta
didik yang diluapkan dalam ekspresi seni lukis batu, dalam dunia BK khususnya
dalam layanan klasikal masih terbilang baru untuk penggunaan media batu inovasi
ini, maka istilah yang diberikan untuk identitas nama adalah batu menjerit,
karena media ini berisikan luapan emosi negatif yang dialami oleh peserta didik
yang tertuang di atas goresan batu. Tidak menutup kemungkinan batu inovasi
berikut akan berubah istilah ketika terjadi perbedaan fokus arah layanan
klasikal, semisal untuk pengembangan
sikap karakter positif tertentu, mendorong motivasi untuk berprestasi, dan lain
sebagainya.
Konsep penggunaan media batu menjerit mengacu pada
Self-determination Theory, memusatkan perhatian pada peseta didik yang
mengalami permasalahan, dan fokus menjadikan pengalaman tersebut sebagai bahasan
fenomena kehidupan manusia, serta menekankan pada tindakan karakteristik
manusia seperti memilih, kreativitas, menilai, dan realisasi diri ketika
menghadapi permasalahan. Serta memberikan perhatian khusus pada nilai harkat martabat
manusia sekaligus menciptakan perkembangan potensi yang inheren pada setiap
individu ketika berinteraksi dengan diri sendiri maupun dalam kelompoknya, sehingga
dalam hal ini tidak sekedar transfer of knowlege tetapi transfer of value,
peserta didik dapat memecahkan permasalahan hidup dan dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungannya.
Gambar.3 Tiga kebutuhan dasar
Sekaligus dalam penggunaan media batu menjerit berupaya
untuk membangun semangat motivasi peserta didik untuk memunculkan karakter
kemandirian memecahkan permasalahannya sendiri (otonomi) dan membekali peserta
didik dasar pengetahuan dalam kemampuan memecahkan masalah yang dihadapi
(kompetensi), serta memecahkan permasalahan bersama-sama (koneksi) melalui
hubungan interaksi sosial antara peserta didik. Konsep ini memang dipersiapkan untuk mendorong
peserta didik bergerak membangun kepribadian yang kuat dan mampu menjalani
kehidupan sesuai dengan tugas perkembangannya.
Secara teknis model pembelajaran dalam layanan klasikal
Bimbingan dan Konseling Batu Menjerit, disajikan dalam bentuk diskusi dengan
tujuan meransang proses berpikir kritis ketika mengambil sebuah keputusan dan
memiliki keberanian bertanggung jawab terhadap kepetusan yang telah diambil
tersebut melalui interaksi internal kelompoknya dan eksternal keseluruhan
peserta didik yang ada dikelas. Proses diskusi dapat disaksikan melalui chanel
youtube Media Edukasi berikut
Gambar. 4 Tampilan video Problem Solving Batu Menjerit
Sedangkan desain diskusi pada proses layanan klasikal
mengacu pada teknik buzz group discussion,
membentuk peserta didik menjadi kelompok kecil beranggotakan 4 atau 6 orang
membicarakan 2 buah batu menjerit yang didalamnya terdapat tinjauan masalah-masalah
temannya, pemilihan masalah-masalah yang diangkat berdasarkan kesepakatan
bersama dalam kelompoknya. Selanjutnya kesepakatan pemecahan masalah yang
didapatkan dalam diskusi kecil tersebut dibahas dalam kelompok besar. Tidak ada
batasan dalam hal ini harus menggunakan model desain diatas, para pendidik
dapat berinovasi melalui beberapa pengembangan desain diskusi yang lainnya
seperti, Whole group, Panel discussion, Syndicate group, Brainstorming
group, dll. Sebagaimana asumsi kelebihan penggunaan metode diskusi yang
disampaikan oleh Subroto (2002), pokok terpenting yang perlu dipertimbangkan dalam
metode diskusi layanan klasikal menggunakan media batu menjerit, diharapkan peserta
didik dapat terlibat secara langsung dalam proses belajar, peserta didik dapat
menguji pengetahuan dan penguasaan bahan pelajarannya masing-masing, peserta
didik dapat menumbuh dan mengembangkan cara berpikir dan sikap ilmiah, peserta
didik dapat mengajukan dan mempertahankan pendapatnya dalam diskusi diharapkan
para siswa akan dapat memperoleh kepercayaan akan (kemampuan) diri sendiri, dan
peserta didik dapat menunjang usaha-usaha pengembangan sikap sosial dan sikap
demokratis para siswa.
Kerangka berpikir dalam layanan klasikal Bimbingan dan
Konseling menggunakan media batu menjerit
yaitu membuat terobosan baru tentang kreatifitas dan inovasi
pembelajaran, dimana merubah skema individual learning menjadi cooperative
learning, knowledge-transmitted ke bentuk interaktif fokus berbasiskan pada
keterampilan proses berpikir kritis, kreatif, dan kemampuan peserta didik dalam
memecahkan masalah. Sehingga guru Bimbingan dan Konseling harus mampu
mempertimbangkan beberapa kriteria, antara lain mampu merancang dan mengelola
proses layanan dengan mendorong siswa untuk berperan aktif, benar-benar
menguasai proses pembuatan media batu
menjerit serta kemungkinan dapat mengkolaborasikan dengan layanan lainnya di
Bimbingan dan Konseling, memberikan peluang maksimal kepada peserta didik untuk
mengembangkan keterampilannya serta memberikan kebebasan peserta didik untuk
mengungkapkan ide atau gagasannya, mampu melihat dan menyesuaikan batas kemampuan peserta didik, mampu mengaitkan layanan
pembelajaran dengan pengalaman peserta didik sehari-hari, dan terahkir
mengadakan evaluasi keefektifan layanan yang telah dilakukan.
Berbicara tentang membangun karakter peserta didik
seperti; berani, percaya diri, rasa ingin tahu, disiplin, tanggung jawab,
mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, religius, toleransi, jujur,
demokratis, peduli lingkungan, peduli sosial, menghargai prestasi, kreatif,
jujur, dan cinta damai dapat memungkinkan hampir kesemuanya dapat dibentuk
melalui media batu inovasi ini, tidak hanya terbatas pada Bimbingan dan
konseling saja melainkan dapat terimplementasi pada mata pelajaran lainnya.
Tentu saja dalam hal ini dikembalikan pada pendidik saat mengemasnya menjadi
sesuatu proses pembelajaran yang pembelajaran aktif, inovatif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan (PAIKEM).
Daftar Pustaka
Ramayulis (2002). Ilmu Penddikan Islam, Jakarta: Kalam
mulia
Subroto, B. Suryo. (2002). Proses Belajar Mengajar di
Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar diharapkan bersifat membangun dalam rangka pengembangan keilmuan Bimbingan dan Konseling. Kami sampaikan terima kasih